Asrama Mahasiswa Papua di Jl. Kalasan No. 10, Surabaya dikepung oleh massa yang marah akibat kasus pelecehan bendera Merah Putih. Pengepungan ini, berdasarkan sumber yang didapat dari CNN Indonesia bermula dari pesan di grup WhatsApp yang berisi bendera Merah Putih dibuang ke selokan. Tentunya hal ini dibantah oleh Juru Bicara Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Dorlince Iyowau. Mereka tidak pernah merusak bendera Merah Putih. Ada orang yang sengaja menggiring opini serta memancing kemarahan massa.

Massa yang mengepung mayoritas adalah punggawa organisasi masyarakat (ormas), terutama dua ormas besar di Surabaya: Front Pembela Islam dan Pemuda Pancasila. Ditambah dengan Tentara Nasional Indonesia hadir disana untuk “katanya” mengamankan massa.

Dilansir dari tirto.id, sebanyak 42 mahasiswa ditangkap oleh pihak kepolisian ke Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya. Sebelum ditangkap, pengepungan berlangsung ricuh. Dorlince melihat 15 anggota TNI mendatangi asrama dan menggedor gerbang asrama (16/8). TNI mendobrak pintu sambil mengeluarkan kata-kata binatang kepada mahasiswa Papua yang berada di dalam asrama.

“Kami minta negosiasi, tapi TNI menolak,” tegas Dorlince. Kemudian datang secara bertahap masyarakat dan Satuan Polisi Pamong-Praja ke depan gerbang asrama. Massa yang marah ini melempari kaca asrama dengan batu.

Represifitas aparat dan masyarakat terhadap orang Papua bukan sekali ini terjadi. Di tempat yang lain, menjelang perayaan Dirgahayu Republik Indonesia, massa yang menolak New York Agreement di Ternate juga dipukul oleh aparat keamanan. Mereka dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menolak sebuah referendum yang diciptakan untuk memaksa Papua bergabung ke Indonesia. Pasal 18 dan 20 dalam New York Agreement dilanggar. Sistem referendum yang menggunakan one man, one vote, dilaksanakan dengan menggunakan sistem perwalian. Tentu, hal ini tidak adil bagi masyarakat Papua.

Adalah sebuah perayaan di tengah banyak masyarakat yang sungguh tidak merdeka. Persis seperti apa yang ditulis oleh Soewardi Soejadiningrat dalam artikel Als ik Eens Nederlander Was di surat kabar De Express.

Iklan

Dalam artikel ini, Soewardi mengkritik Pemerintahan Belanda yang merayakan seratus tahun kemerdekaannya atas Prancis di tanah jajahan. Soewardi dengan tajam menyebutkan bahwa tidak sepatutnya Belanda melakukan hal tersebut. Hindia Belanda yang terus dieksploitasi sumber dayanya, menjadi dasar bagi Soewardi untuk menulis artikel tersebut. Bahkan, ia menyebutkan bahwa kaum Bumiputera dipaksa menyumbang kepada Belanda supaya bisa merayakan kemerdekaannya.

Papua sejalan dengan artikel Soewardi. Mereka saat ini dipaksa merayakan kemerdekaan di tengah bangsa yang bertindak kolonialis. Mengutip pernyataan Soewardi dalam artikel tersebut: “Apakah dengan itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran politik?” Kemerdekaan negeri ini salah satunya dirayakan untuk memperlihatkan pemerintah sudah “tulus” untuk membangun Papua.

Eksploitasi sumber daya alam di Papua tidak hanya seputar Freeport. Di hutan Wasior, eksploitasi kayu dilakukan secara besar-besaran yang dilakukan oleh pihak militer dan beberapa perusahaan lainnya. Eksploitasi ini mengakibatkan penggusuran terhadap tanah adat masyarakat di daerah tersebut. Protes dari masyarakat adat kemudian juga berakhir dengan penembakan dan mengakibatkan 6 orang meninggal dunia. Tragedi Wasior ini terjadi dalam kurun waktu April-Oktober 2001.

Selain itu, warga Merauke juga terpaksa harus kehilangan lahannya akibat proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). MIFEE yang dimulai pada 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar merupakan bagian dari upaya pemerintah menjadikan Merauke sebagai pusat pangan. Pusat pangan? Hal yang “mulia” sekali. Namun, untuk mewujudkan tujuan yang “mulia” itu tentu harus ada yang dikorbankan. Penduduk asli Merauke lah yang merasakan ketidakadilan tersebut.

Proses untuk mewujudkan proyek MIFEE dilakukan secara tidak adil. Wawancara yang dilansir dari pusaka.or.id menyebutkan bahwa banyak kampung yang dikonversi menjadi lahan perkebunan. Terdapat 19 perusahaan yang mendapat izin selama 2011-2013, dan masih bisa bertambah. Kampung-kampung yang dikonversi menjadi lahan perkebunan di antaranya adalah Zanegi, Selil, Makaling, Domande, Okaba, Muting, Sota, Kumbe, Kurik dan Merauke. Keterlibatan aparat keamanan memaksa masyarakat melepas lahannya. Lagi-lagi, aparat keamanan menjadi alat untuk mewujudkan kepentingan para oligark di Papua.

Proyek MIFEE juga menggunakan penerbitan izin yang dilakukan secara tidak adil. Memanfaatkan masyarakat Papua yang buta huruf, perusahaan memaksa mereka menandatangani surat perjanjian. Kemudian, terbitlah izin yang membolehkan perusahaan mengonversi lahan. Segitiga harmonis nan oligarkis antara pengusaha, pemerintah lokal, dan aparat keamanan sulit untuk dipatahkan rantainya. Bukan hanya di Papua saja, di daerah lain segitiga ini tetap lestari. Mereka dipaksa untuk memakmurkan daerah pusat.

Masyarakat Papua harusnya bisa mengelola tanahnya sendiri. Memakmurkan dirinya sendiri. Namun, mereka hanya menjadi buruh kasar di tanah sendiri. Lahan perkebunan dikerjakan oleh orang-orang pendatang yang semakin menyesaki Papua. Ditambah dengan represifitas aparat keamanan terhadap masyarakat Papua. Aparat lebih memilih jalur kekerasan fisik dibandingkan harus dialog.

Masyarakat Papua tentunya sudah lelah terus dinarasikan sebagai pemberontak. Sebagai bangsa yang terus dieksploitasi sumber daya alamnya, mereka berhak menentukan nasibnya sendiri. Sa Papua, Sa sungguh tidak merdeka!  Pekikan ini seakan mewakili ketidakbebasan Papua, di negeri yang “katanya” merdeka. Mengutip kata Tan Malaka dalam buku Menuju Merdeka Seratus Persen: “Sampai kapan pun bangsa ini tidak merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan mengalami kemerdekaan.”

Penulis: M. Rizky Suryana

Editor: Faisal Bahri

Iklan

=====

Catatan redaksi: Opini diubah pada Senin (19/8), pukul 16.38 WIB untuk menghilangkan kalimat yang berisi lagu bernada ujaran kebencian yang dinyanyikan sekelompok massa.