Jum’at, 20 September 2019, digelar diskusi yang membahas tentang Rancangan Undang Undang Pertanahan, di Arena Prestasi Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Diskusi kali ini mendatangkan pembicara langsung dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ferry Widodo.
Ia membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang akan dirampungkan bertepatan dengan 59 tahun genapnya Hari Tani Nasional. RUU tersebut, menuai banyak kontra dari berbagai pihak. Sebab, dinilai menimbulkan asas kolonial, tidak lagi memegang prinsip Reforma Agraria sebagaimana yang menjadi semangat pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Pinsip-prinsip tersebut mengangkat semangat untuk kemaslahatan bersama. Sedangkan, pasal-pasal yang ditawarkan oleh RUU Pertanahan tidak mencirikan jaminan kesejahteraan untuk masyarakat kelas ekonomi lemah.
Salah satunya, Hak Guna Usaha (HGU) yang dapat diperpanjang hingga 90 tahun. Pasal tersebut ditenggarai mengacu kepada para pemilik modal besar yang akan memanfaatkan HGU-nya di bidang pertanian. Padahal, faktanya, menurut survei tahun 2003-2013 para petani hanya memiliki lahan 0,3-0,5 hektar. “Kalau lahan tersebut semakin sempit, maka para petani atau keturunan petani akan pergi ke perkotaan untuk mencari pekerjaan lain dan wilayah perkotaan akan semakin padat,” ujarnya.
Selain itu, akan diakomodasi bank tanah yang bersifat menyediakan tanah untuk infrasturktur. Padahal menurut Ferry, pembangunan infrastruktur adalah penyebab konflik yang angkanya semakin naik. “Masyarakat tidak sepakat tapi tidak ada pilihan lain. Pemerintah memakai kebijakan ini (pembangunan infrastruktur) sebagai kepentingan umum, salah satu pasalnya adalah kalau lu gak setuju ya gak akan berpengaruh karna sudah ada konsensi,” lanjutnya.
Ferry juga beranggapan bahwa tidak ada kejelasan pembahasan konflik agraria padahal setiap tahunnya konflik agraria semakin meningkat. Ferry Widodo mencoba memberi sampel konflik agraria yang semakin meningkat. Seperti terbitnya konsensi-konsensi perusahaan berupa HGU, Hak Guna Bangunan (HGB) yang biasanya mengambil tanah masyarakat.
“Terakhir, Gubernur Riau yang ditangkap KPK karena ia mengeluarkan izin konsensi. Jika ada daerah yang memang punya Sumber Daya Alam (SDA) yang cukup banyak, misal batu bara yang besar jumlahnya, setiap kali pemilihan Kepala Desa (Kades) itu pasti dinegosiasikan oleh perusahaan-perusahaan yang menyalonkan mereka,” ungkapnya
Ferry menambahkan, RUU Pertanahan bersifat represif bagi masyarakat kelas ekonomi lemah, khususnya para petani dan masyarakat pedesaan. Sedangkan para pemilik modal dan investor akan mendapatkan keuntungan yang besar. Pembangunan infrastruktur, konsensi-konsensi perusahaan, dan ketidakjelasan penyelesaian konflik agraria dinilai akan menggeser nilai-nilai bangsa sebagai negara yang hidup dari hasil produksi tanah nya sendiri.
“Negara Indonesia adalah negara agraris. Negara yang seharusnya peduli dari mana hasil produksinya berasal,” lanjutnya.
Ia pun menekankan, bahwa sudah seharusnya menyediakan lahan yang layak dan memadai bagi para tani nya. Petani adalah Tuhan-nya dan kuasa nya adalah nyata. Ia mengajak para mahasiswa yang hadir pada diskusi tersebut untuk menguatkan ikatan solidaritas. Agar kita bisa selalu berdampingan dengan para masyarakat yang hak nya sedang ditekan oleh pasal-pasal tersebut. “Mari refleksikan keadaan sekarang dengan semangat UUPA 1960!” ujarnya.
Penulis: Devi Sry Atmaja
Editor: M. Muhtar