“Aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum),” kutipan populer ini disampaikan oleh Rene Descartes, seorang filsuf masyhur asal Prancis. Maksudnya, pernyataan ini merupakan pembuktian bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang itu sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Descartes juga mengatakan bahwa berpikir perlu meragukan semua hal, termasuk keberadaan dirinya sendiri. Dengan kata lain, meragukan diri sendiri adalah usaha untuk mencari kebenaran. Namun, keraguan itu bisa jadi membawa pemikiran yang salah. Pada hakikatnya, ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang mengarah kepada pemikiran yang salah. Descartes mengambil kesimpulan bahwa bagaimanapun pikiran mengarahkan dirinya kepada kesalahan, tetapi ia tetaplah berpikir.
Senada dengan pernyataan Descartes, dalam berpikir manusia mempunyai dua kerja otak. Keduanya adalah otak emosional dan otak rasional. Dilansir dari Pijar Psikologi, otak rasional (diwakili oleh lobus frontal) berperan dalam pengaturan proses berpikir dan pemecahan masalah, sedangkan otak emosional (diwakili oleh sistem limbik) berperan dalam menghasilkan emosi dan motivasi. Keduanya bisa selaras, bisa juga saling mendominasi.
Namun, manusia sering kali berpikir secara berlebihan. Hal inilah yang disebut dengan overthinking. Overthinking nantinya akan memunculkan pemikiran negatif dan irasional atas masalah yang pernah dialaminya secara berulang-ulang. Pemikiran negatif dan irasional ini ternyata dilandasi oleh otak emosional yang secara berulang-ulang mendominasi pikiran.
Pemikiran negatif dan irasional ini muncul dari amigdala, yaitu bagian dari otak emosional yang menyimpan kenangan. Termasuk kenangan yang pahit seperti contohnya rasa bersalah akibat menyakiti perasaan orang lain di masa lalu. Amigdala nantinya mengolah kenangan itu menjadi rasa cemas sampai berakhir dengan overthinking.
Salah satu bentuk overthinking dalam psikologi adalah ruminasi. Ruminasi merupakan sebuah bentuk refleksi diri agar tidak kembali mengalami kepahitan yang sama. Bentuknya seperti; “mengapa orang-orang menyalahkan saya atas kecelakaan yang terjadi?” atau “mengapa saya memutuskan marah kepada seseorang?” Alih-alih sebagai refleksi, ruminasi menjadikan seseorang terkungkung dalam perasaan bersalah dan tidak ingin menyelesaikan masalah tersebut.
Pikiran semacam ini yang nantinya menjadi benalu. Akibatnya, emosi negatiflah yang menguasai pribadi seseorang. Luapan atas ruminasi yang terjadi bisa berbagai macam. Ada yang menangis. Ada yang teriak untuk meredakan emosi, dan juga marah kepada orang lain. Emosi negatif inilah yang menjadikan seseorang tidak stabil.
Ruminasi menjadikan seseorang tidak punya jalan keluar atas masalah yang terjadi. Ibaratnya, ruminasi layaknya seekor hamster yang berada di roda berputar. Hanya berlari-lari saja tanpa keluar dari roda tersebut. Nah, hal itulah yang membuat seseorang lelah, karena energi terkuras untuk memikirkan sesuatu yang seharusnya selesai.
Susan Nolen-Hoeksma, seorang peneliti asal Yale University menjelaskan fenomena dari ruminasi ini. Ia menyebut bahwa ruminasi terdiri dari tiga tahapan, berdasarkan teori Response Styles Theory yang tercantum dalam risetnya bertajuk “Rethinking Rumination.”
Pertama, ruminasi akan membuat seseorang terus-menerus memikirkan masa silam yang menyakitkan sehingga memicu perasaan tertekan. Kedua, ruminasi menghalangi kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah secara efektif, yang menjadikan seseorang berpikir pesimistis dan fatalistis. Ketiga, ruminasi akan mengganggu perilaku seseorang hingga ke tahapan depresif.
Pernyataan dari Susan-Nolen Hoeksma, dilansir dari artikel American Psychological Association bertajuk “Probing the depression-rumination cycle” mendukung teori terhadap ruminasi:
“Mereka akan kembali frustasi, menarik diri, dan bahkan memusuhi orang yang telah mencoba membantu mereka. Mereka akan berpikir: “Kenapa orang-orang itu menelantarkan saya, kenapa mereka begitu kritis terhadap saya?”
Ruminasi akan membuat penderitanya (yang selanjutnya akan saya sebut ruminator) cenderung menyalahkan orang lain, bahkan menganggap orang lain membenci dan mengabaikan dirinya. Alhasil, luapan kemarahan dialami oleh penderita ruminasi dan menimbulkan pernyataan: “Mengapa kamu tidak mengajak saya berbicara?” atau “mengapa kamu membicarakan keburukan saya di belakang?” Ini adalah pernyataan yang bersifat magnifikasi, karena ruminator berusaha untuk memikirkan hal-hal yang irasional sampai akhirnya terdapat kesimpulan bahwa “dirinya tidak berharga di mata orang lain.”
Ruminator (penderita ruminasi) juga menjadikan kepuasan seseorang atas hal yang dilakukan begitu penting. “Jika orang lain merasa puas atas apa yang saya lakukan, maka ia tidak akan mengabaikan saya,” begitu jalan pikiran seseorang yang mengidap ruminasi. Ruminator berusaha untuk membuat orang lain bahagia dengan tindakan yang dilakukan.
Padahal, bisa jadi ruminator nantinya melakukan tindakan yang tidak murni dari hati, hanya demi membuat orang lain puas. Ketidakpercayaan terhadap diri sendiri menjadi salah satu penyebab terbesar seseorang mengalami ruminasi. Tindakan itu terjadi karena ketergantungan terhadap penilaian dan perlakuan orang lain dan ruminator merasa cemas akan hal tersebut.
Bagaimana cara menghentikannya?
Terkadang, konsultasi ke psikolog maupun psikiater tidak menjamin ruminasi hilang dari benak seseorang. Selama pemicu ruminasi masih ada, hal itu tidak akan mudah dihilangkan.
Nolen-Hoeksma bersama dengan rekannya dari Stanford University, Sonja Lyubomirsky pada 2015 meriset tentang ruminasi dan merumuskan beberapa cara untuk menguranginya. Pertama, lakukan tindakan-tindakan kecil untuk mengalihkan perhatian, seperti menarik nafas panjang untuk merasakan emosi positif atau merobek-robek kertas.
Kedua, menekan pikiran negatif serta ekspektasi berlebih terhadap sesuatu atau seseorang. Ketiga, lepaskan hasrat untuk meraih tujuan yang tidak menyehatkan atau yang tidak mungkin tercapai. Contohnya, berharap semua orang menyukai keberadaan kita. Padahal, kata “semua” adalah harapan yang muluk, karena bisa jadi ada seseorang yang tidak suka dengan keberadaan kita.
Selanjutnya, pahami apa saja pemicu yang membuat dirimu merasa tertekan dan berusaha untuk tenang ketika perasaan tersebut muncul. Terakhir, belajar dari kesalahan masa silam. Ruminasi dijadikan pembelajaran agar seseorang melepaskan diri dari kesalahan yang dilakukan di masa lalu dan lebih jeli dalam mempertimbangkan sikap terhadap orang lain.
Ruminasi bisa juga dialihkan dengan menulis. Menulis apa yang menyebabkan ruminasimu muncul di buku catatan maupun note di handphone. Bisa juga melakukan cara-cara yang mengalihkan ruminasi, seperti membaca buku, fotografi, menggambar, menonton film di bioskop, mengaji, dan lain-lain.
Ruminasi juga bisa ditekan dengan cara mengajak orang lain berbicara tentang tema bahasan terkini. Dengan kata lain, memulai pembicaraan. Karena, ruminator biasanya hanya menunggu orang lain mengajaknya berbicara, dan itulah yang memicu ruminasi. Perlu dicatat, ruminasi sering menyerang seseorang di kala sepi.
Penulis: Muhammad Rizky Suryana
Editor: Uly Mega Septiani