Penggusuran tambak irigasi oleh TNI AU Lanud ATS mengakibatkan kekeringan di pertanian warga. Hal tersebut menyebabkan kemerosotan ekonomi yang cukup drastis, akibatnya warga harus bekerja serabutan untuk bertahan hidup.

Tambak irigasi yang terdapat di Desa Sukamulya secara sepihak digusur oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan-Udara (TNI AU) Atang Sanjaya (ATS) sejak 2007 silam. Tambak tersebut dialihfungsikan menjadi perumahan oleh TNI AU ATS. 

Pertanian dan perkebunan yang merupakan pekerjaan utama di Desa Sukamulya mengalami kerugian semenjak digusurnya tambak tersebut. Hal tersebut membuat warga Sukamulya harus mencari pekerjaan alternatif untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 

Salah satu penggarap sawah, Mimi Maryami mengungkapkan penggusuran tambak membuatnya mengalami kemerosotan ekonomi yang cukup drastis. Mimi mengatakan, tiadanya tambak membuatnya hanya bisa mengandalkan curah hujan untuk pertaniannya, belum lagi hasil panennya yang seringkali gagal.

“Sekarang mah pas gak ada tambak jadi susah. Panen jadinya cuman bisa dua kali, belum lagi gagal panen,” ungkap Mimi pada Sabtu (27/1). 

Mimi melanjutkan, akibat penghasilan yang menurun membuatnya harus kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun bagi Mimi, pendapatan dari kerja serabutan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia menambahkan, keuangannya lebih baik saat ia menggarap sawah dengan kondisi irigasi yang stabil.

Iklan

“Menggarap sawah mah lebih cukup buat kami yang tinggal di desa dibandingkan kerja serabutan,” ucapnya.

Permasalahan yang sama juga dialami oleh salah satu pemilik sawah di Desa Sukamulya, Martini (bukan nama sebenarnya) mengatakan setelah penggusuran tambak yang dilakukan TNI AU, ia mengalami penurunan hasil panen yang cukup drastis. Martini mengungkapkan biasanya ia bisa panen hingga tiga kali dalam tahun, namun semenjak tiadanya tambak ia hanya bisa panen dua kali dalam setahun. 

Untuk mengatasi hal tersebut, Martini akhirnya memanfaatkan bekas galian water training untuk mengairi sawahnya selama musim kemarau. Untuk memindahkan air ke pertaniannya, Martini menggunakan alat pompa air (alkon). Namun, menggunakan alkon membuat Martini harus mengeluarkan uang lebih untuk membeli bahan bakar berupa bensin. 

“Biasanya kita beli bensin sampai Rp 60.000 untuk tiga hari,” ujar Martini. 

*Bekas galian water training

Nyatanya kerugian masih harus dialami oleh Martini, Ia menyebutkan, tak jarang para prajurit melakukan latihan pesawat militer di sekitar lahan petani. Martini merasa kesal ketika pesawat yang sedang berlatih terbang terlalu rendah, hal tersebut membuat hasil panennya berkurang karena rusak. 

“Sekarang juga masih suka diresein sama mereka, kadang suka latihan deket sawah warga,” keluhnya. 

Selain itu, Martini menyebutkan penghasilannya dari menggarap sawah mengalami penurunan karena penggusuran tambak. Ia mengatakan, sebelum tambak digusur para petani dapat panen hingga tiga kali dalam setahun, biasanya pendapatan yang didapatkan Martini bisa mencapai Rp 31.500.000 per tahunnya.

Martini mengakui pendapatan tersebut kemudian menurun, saat ini pendapatannya hanya Rp 21.000.000 saja per tahunnya. Ia mengatakan hal tersebut terjadi karena saat ini, ia hanya bisa panen dua kali saja dalam setahun. 

Iklan

“Sekarang mah cuman dapat segitu, belum lagi kalau hasil panennya rusak gara-gara latihan pesawat. Itu bisa sampai lima juta saya ruginya,” tutur Martini.

Sementara itu, pekerjaan serabutan yang dilakukan oleh Mimi juga belum bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Mimi mengungkapkan ia hanya bekerja menjadi buruh cuci, dan ia hanya akan bekerja ketika mendapat panggilan saja.

Terkadang Mimi hanya bisa bekerja tiga kali dalam seminggu dengan maksimal pendapatan Rp 50.000,- setiap bekerja, namun terkadang ia juga mendapat upah dibawah 50.000 atau bahkan tidak sama sekali.

“Uang segitumah cuman bisa beli beras paling tiga liter, ga kayak menggarap sawah, bisa dapet lebih dari itu,” pungkasnya. 

Baca juga: Warga Desa Sukamulya Meminta Latihan Militer Tim Bravo Dihentikan

 

Penulis/reporter: Feandris Natasha

Editor: Anna Abellina