Judul Film : Sausage Party
Tahun Rilis : 2016
Durasi Film : 88 menit
Sutradara : Conrad Vernon dan Greg Tiernan
Genre : Animasi, Fantasi, Komedi dewasa
“FUCK YOU, GOD!” teriak kaleng mustard dari atas troli belanja sambil mengacungkan kedua jari tengahnya kepada manusia, setelah ia mengetahui kebenaran di balik Great Beyond, surga yang selama ini mereka sakralkan.
Ketika pintu supermarket Shopwell’s baru dibuka pukul tujuh pagi, semua makanan menyanyikan lagu pujian sebagai cara menghargai dewa-dewa yang akan membawa mereka ke Great Beyond. Dimulai oleh para jagung yang melafalkan lirik “Dear Gods… You’re so divine in each and every way…”, semua makanan pun akhirnya turut bernyanyi, seperti lobak, roti, lolipop, botol kecap, susu, dan lain-lain.
Nyanyian tersebut menggambarkan bahwa mereka akan mencapai kesempurnaan ketika dewa mereka -yang divisualisasikan sebagai manusia, mengambil mereka dari rak supermarket, meletakkan di troli, kemudian membawa mereka menuju Great Beyond.
Dalam aturan yang berkembang di ‘masyarakat makanan’ itu, mereka harus bersabar untuk tidak melepas segel kemasannya. Seperti para sosis yang harus meredam birahinya pada roti hotdog, dan menunggu untuk dibawa oleh ‘dewa’.
Dibalik rasa sabar itu, para makanan sangat antusias dan gembira ketika membayangkan Great Beyond. Kebanyakan dari mereka membayangkan Great Beyond sebagai tempat dimana mereka dapat melampiaskan hasrat seksual yang selama ini terbelenggu oleh segel kemasan.
Film asal Amerika Serikat berdurasi 88 menit ini diawali dengan cerita Frank (Seth Rogen) dan Brenda (Kristen Wiig), sebuah sosis dan roti hotdog yang saling jatuh cinta dan hampir dibeli oleh manusia. Namun, akibat insiden di supermarket yang memaksa mereka keluar dari kemasannya, Frank dan Brenda, serta Sammy (Edward Norton) dan Lavash (David Krumholtz), memulai petualangan untuk kembali ke rak mereka di supermarket.
Namun, di tengah perjalanannya, Frank justru dihantui kata-kata terakhir dari sebuah mustard yang jatuh dan hancur dari troli belanjaan. Para makanan menyebut si mustard tidak waras karena ia menyebut Great Beyond–yang ia baru saja kembali dari sana, sebagai mimpi buruk bagi para makanan. Dewa yang selama ini dipercaya membawa keberkahan, justru akan menuntun mereka pada kematian.
Singkat cerita, petualangan Frank dengan Brenda, Sammy dan Lavash akhirnya berbuah pada pemberontakan makanan-makanan terhadap dewa-dewa mereka di supermarket tersebut. Para makanan yang awalnya menganggap Frank tidak waras, akhirnya melepas segel kemasannya masing-masing, kemudian bersatu melawan dewa yang selama ini merenggut kebebasan mereka.
Untuk merayakan kemerdekaannya, para makanan kemudian melakukan “pesta sosis” yang juga menjadi tanda berakhirnya film.

Max Stirner dan Insureksi ala ‘Sang Sosis’
Tak seperti kebanyakan film animasi pada umumnya, Sausage Party sangat tidak disarankan untuk ditonton oleh anak-anak. Bukan hanya karena unsur pornografinya yang divisualisasikan dengan jelas, seperti penggambaran adegan ranjang, dirty talks, dan pesta seks. Unsur kekerasan dan perundungan dalam film ini juga digambarkan dengan sangat gamblang.
Selain itu, dunia yang dipenuhi berbagai konflik seperti Palestina dengan Israel, atau Hitler dengan Yahudi, juga direfleksikan dalam film besutan Greg Tiernan dan Conrad Vernon ini. Warna-warni orientasi seksual yang ada di masyarakat pun turut menjadi daya tarik bagi penonton.
Namun, dari semua makna yang terkandung dalam film tersebut, makna yang paling melekat adalah tentang bagaimana budaya dominan yang mengekang kebebasan individu. Film tersebut merepresentasikan suatu masyarakat yang hidup di bawah dogma yang sangat kuat, sehingga mereka tak punya keinginan untuk mencari tahu darimana dogma itu berasal dan mengapa harus tunduk.
Baca Juga: Konsolidasi Elite dan Preman
Ide tentang dewa-dewa dan Great Beyond awalnya berasal dari Firewater, sebuah minuman beralkohol di supermarket, yang menciptakan ide-ide itu sambil menghisap ganja. Dari sini kemudian berkembang menjadi dogma para makanan di Shopwell’s. Akibatnya, mereka tak punya kebebasan dalam bertindak.
Meskipun alasan sebenarnya agar para makanan tak lagi takut dengan manusia, Firewater justru membuat para makanan seakan-akan menikmati penderitaan mereka sebagai makanan yang siap disantap.
Bagaimanapun, dogma yang berlaku tersebut diciptakan oleh seseorang untuk tujuan tertentu, yang berimbas pada terbelenggunya kebebasan individu. Max Stirner, filsuf asal Jerman yang juga murid Hegel mengatakan hal tersebut sebagai spook.
Lebih lanjut, spook atau ide tetap (fixed idea) diartikan sebagai konsep abstrak yang dibuat oleh masyarakat tanpa basis material yang jelas, lalu kemudian berlaku sebagai konstruksi sosial. Dalam bukunya yang paling fenomenal sekaligus membingungkan, Ego and Its Own (1845), Stirner menjelaskan kehadiran spook sebagai suatu hal yang dipercayai tanpa keraguan, dimana tiap individu enggan untuk memberontak karena dianggap sebagai sebuah keagungan.
Spook dapat dilihat dari bagaimana pola interaksi masyarakat terbentuk. Aturan-aturan, apa yang diamini dan dianggap dosa, serta nyanyian dogmatis di awal film, dapat dikatakan sebagai sebuah budaya dominan. Tak ayal, Stirner juga mengklasifikasikan budaya dominan sebagai spook, sebab hal ini membentuk masyarakat secara keseluruhan.
Konsep spook yang dicanangkan Stirner memang menyasar kepada negara. Ketertarikan Stirner terletak pada bagaimana kekuasaan negara, sebagai institusi yang menindas, memperoleh legitimasi dan mengklaim suatu kebenaran melalui sistem pengetahuan yang menjadi bagian dari budaya dominan.
Seperti pada awal cerita, para sosis tengah membicarakan Hari Merah, Putih, dan Biru, atau yang kita kenal sebagai Hari Kemerdekaan Amerika Serikat. Dengan ketidaktahuannya, mereka menganggap hari yang dirayakan tiap tahun itu, membawa berkah bagi mereka karena para ‘dewa’ berbondong-bondong ke supermarket. Seolah film ini mengisyaratkan bahwa budaya dominan saling berkelindan dengan kekuasaan negara.
Bagi Stirner, perlawanan terhadap otoritas haruslah dimulai pada level ide. Aksi-aksi revolusioner pada masa lampau mengalami kegagalan karena terperangkap dalam paradigma negara prinsip berkuasa (ruling principle), yang mana seringkali berakhir dengan pengafirmasian, pengokohan, atau pembentukan kembali otoritas. Maka dari itu, dibanding revolusi Stirner lebih memilih insureksi sebagai langkah taktis meruntuhkan dominasi.
Tidak seperti revolusi, insureksi tidak berorientasi pada pembentukan sistem baru maupun masa depan yang spesifik, tetapi untuk menciptakan kehidupan yang diinginkan setiap individu. Hal ini dimulai dari kekecewaan dan penyesalan individu karena telah melegitimasi sebuah otoritas yang mereka gantungkan selama ini. Manusia akan “terlahir kembali” menjadi manusia baru yang tak lagi melayani otoritas apapun selain dirinya sendiri.
Penggambaran tentang insureksi dapat dilihat di akhir film. Para makanan yang kecewa dengan apa yang mereka percaya selama ini, berupaya mengambil alih kehidupan mereka. Tujuannya bukan untuk menciptakan sistem baru, namun untuk dapat merealisasikan keinginan mereka selama ini, yaitu keluar dari segel dan melampiaskan hasrat seksual satu sama lain tanpa takut dosa.
Di samping berbagai keanehan yang ada dalam film Sausage Party, film ini dapat menjadi bahan refleksi untuk melihat sejauh mana kita terbelenggu oleh wacana dominan yang terus dilanggengkan demi keberlanjutan sistem sosial hari ini. Apakah kita harus terus menerima wacana bahwa sudah sewajarnya pendidikan itu mahal? Sudah sewajarnyakah mempersekusi pilihan orientasi seksual seseorang? Sudah sewajarnyakah hutan adat dihancurkan demi kepentingan korporasi?
Mungkin, masih terlalu jauh bagi kita untuk memikirkan pilihan antara revolusi atau insureksi dalam mengakhiri berbagai praktik penindasan yang terjadi hari ini. Sebab, jika dianalogikan sebagai makanan-makanan di Shopwell’s, kita tak lain adalah para makanan yang ikut menghakimi mustard dan frank tidak waras.
Penulis: Hastomo Dwi P.
Editor: Izam Komaruzaman