Judul Buku: Authority and the Individual
Penulis: Bertrand Russell
Penerbit: Ircisod
Tahun: 2020
Jumlah Halaman: 164
ISBN: 978-623-7378-24-2
Isu mengenai penerapan pasal penghinaan terhadap presiden dan pemerintah. Hal barusan, direncanakan dimuat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal tersebut, yaitu Pasal 353 Ayat 1 dan Pasal 354, banyak dinilai cukup menimbulkan pertanyaan terkait kesesuaiannya dengan kebebasan berpendapat serta prinsip-prinsip demokrasi.
Adapun bunyi pasal tersebut (Pasal 353 Ayat 1) sebagai berikut: “Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
Pasal 354, yang berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
Dalam logika demokrasi ketika seseorang berdiri dan berjalan dengan kakinya sebagai pejabat publik. Maka sebenarnya, ia pantas mendapatkan komentar dan kritikan dalam bentuk apapun. Apalagi ketika lingkupnya adalah sebuah lembaga, yang dapat dikatakan sebagai benda mati. Maka, kita bisa melihat adanya kecacatan dalam pasal di atas, serta kecacatan logika berpikir pemegang kekuasaan.
RKUHP memberikan gambaran, bahwa otoritas sedang berupaya untuk menjaga atau bahkan melanggengkan status quo-nya. Namun, dalih utamanya untuk memelihara martabat dan kehormatan suatu lembaga. Padahal, bukan seperti itu cara suatu lembaga negara bisa mendapatkan martabatnya. Justru, guna mendapat penghormatan dan martabat, sebuah lembaga seharusnya bisa menerima ekspresi dalam bentuk apapun. Entah itu bersifat kritikan, pendapat, ide, atau sindiran dan ujaran kekesalan sekalipun.
Otoritas & Individual
Bertrand Russell, dalam bukunya berjudul Authority and The Individual, mengajak kita untuk melihat bagaimana otoritas, yang sampai hari ini kita anggap sebagai penanggung jawab dari kesejahteraan hidup kita. Di satu sisi memberikan ruang sebebas-bebasnya kepada setiap individu, tetapi di satu sisi juga membatasi ruang kebebasan tersebut agar tetap terpeliharanya kesejahteraan.
Dalam hal ini, Russell berbicara mengenai konsekuensi yang lebih luas terkait dampak-dampak terhadap peradaban umat manusia. Konsekuensi apapun itu, menjadi tanggung jawab pemegang kekuasaan dalam setiap kebijakannya. Bayangkan, jika akhirnya kritik dan pendapat yang ditujukan untuk sebuah lembaga, apalagi jika terkait kinerjanya, dihambat melalui sebuah pasal dengan alasan menjaga martabat dan kehormatan.
Ada apa dengan peradaban manusia? Di sini, Russell menjelaskan bahwa setiap individu memiliki inisiatif. Di mana setiap inisiatif yang ada pada diri individu tersebut dapat berpengaruh buruk ataupun tidak, tergantung dari sifat dan sikap subjek yang memiliki wewenang atas inisiatif dari individu itu sendiri.
Maksud Russell tentang inisiatif di sini, dapat dikatakan sebagai sebuah ide, inovasi, serta potensi-potensi yang memiliki pengaruh dan dampak secara luas. Misalnya, ketika seorang ilmuwan jenius dan memiliki ide cemerlang yang diberikan modal dan kebebasan penuh oleh pemerintah untuk membuat sebuah mesin canggih bertenaga nuklir, dengan kemampuan untuk menyembuhkan segala macam penyakit.
Baca Juga: Nabi Utusan Nietzche dan Ajaran Relativitas Moral Zarathustra
Nantinya, mesin ini akan dikelola oleh kementerian Kesehatan dan didistribusikan kepada setiap rumah sakit umum yang ada di negara itu. Bisa jadi ini merupakan awal baru menuju kemajuan yang positif.
Berbeda ketika proyek mesin tersebut dilarang untuk dijalankan, tetapi tenaga nuklir yang ada dimanfaatkan untuk memperoduksi bom nuklir secara besar-besaran. Akan jadi pertanyaan dari penggunaan bom nuklir tersebut, ketika akhirnya bom tersebut digunakan untuk kepentingan perang, kemudian hanya membuat pertumpahan darah, apakah hal itu masih bisa menafsirkan sebuah harapan akan kemajuan yang beradab?
Contoh tadi mungkin belum cukup untuk menggambarkan pemikiran Russell secara universal, mari kita coba menggunakan penggambaran lain. Kita tahu, ada sekolah-sekolah negeri yang dikelola oleh negara seperti perguruan tinggi negeri. Kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mana melarang setiap mahasiswa untuk menyuarakan ide, kritik dan pendapat yang bertentangan. Padahal ide, kritik, serta pendapat itu justru merupakan konsekuensi dari pendidikan yang dijalani mahasiswa itu sendiri.
Dari sini kita bisa menganggap bahwa sekolah dibuat justru untuk memproduksi serta mengembangkan inisiatif dari tiap individu, tetapi ketika inisiatif itu sendiri direpresi, maka sebetulnya ini menjadi kontradiktif.
Bukan hanya soal kebijakan yang melarang sebuah ide, bahkan ketika otoritas bertanggung jawab atas mahalnya pendidikan hari ini, sehingga aksesibilitas terhadap pendidikan semakin tidak merata, maka sebetulnya ini bisa menghambat inisiatif individu. Hal-hal semacam inilah yang diharamkan oleh Russell.
Keseimbangan
Dari sini, Russell berupaya untuk menemukan titik keseimbangan antara otoritas dan kebebasan individu. Bahkan, akan menjadi buruk juga ketika kebebasan terlalu besar melampau otoritas, seperti yang ia lihat pada negara-negara Eropa pada abad ke-19. Ketika pemerintah tidak memiliki wewenang atas perekonomian yang dijalankan oleh perusahaan swasta pada masa itu, pada akhirnya menimbulkan ketimpangan dan penindasan antar kelas.
Penindasan ini, menyebabkan pada akhirnya menyebabkan keterasingan oleh individu tersebut dari inisiatifnya, ketika kesadaran mulai muncul dari kaum tertindas ini, hal tersebut merupakan sebuah ancaman bagi otoritas atau bahkan bangsa itu sendiri.
“Masyarakat yang baik adalah sarana untuk mencapai hidup yang baik bagi anggota-anggotanya, bukan sesuatu yang sempurna di dalam hakikatnya sendiri.” -hlm. 146
Oleh karena itu, Russell meyakini bahwa kunci keseimbangan dari hubungan antara otoritas dan kebebasan individu adalah ketika para pemegang otoritas, dapat memberikan ruang kepada setiap individu untuk mengembangkan inisiatifnya tetapi tetap dalam jalur menuju kepada kemajuan yang baik.
Buku ini, pada akhirnya membuka pandangan kita mengenai hubungan antara subjek yang memiliki kebebasan dan subjek yang bertanggung jawab untuk menjaga kebebasan itu agar tetap tercipta kesejahteraan.
Maka, cara menghormati suatu lembaga adalah dengan menamparnya ketika ada ketidaksesuaian dalam kerja-kerjanya. Sebagai benda mati, maka yang harus kita lakukan sebagai subjek adalah bagaimana membuat sebuah objek bisa tetap menjelma menjadi penunjang sebuah kebutuhan dan tujuan.
Penulis: Ezra Hanif
Editor: Abdul