Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Samarinda menangkap tiga anak jalanan yang tergabung dalam Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda (22/04/2020). Dalihnya, penangkapan ini dimaksudkan untuk pembinaan.

Pengejaran dan penangkapan ini bermula saat anak-anak tersebut sedang melakukan aktivitas sehari-hari. Beberapa sedang bermain di Sekolah Rakyat yang berada di jalan 4 Sempaja, Samarinda. Beberapa lagi sedang mengamen di tempat yang tak jauh dari Sekolah Rakyat. Sekitar pukul 17.30, Satpol Gabungan yang terdiri atas Satpol PP, 1 Polisi dan 1 TNI datang dan melakukan pengejaran menggunakan dua motor dan satu mobil.

Anak-anak jalanan yang melihat kedatangan Satpol Gabungan tersebut langsung berlarian. Menurut keterangan instagram @SekolahrakyatjalananSamarinda, anak-anak tersebut berpencar. Ada yang berlarian ke warung atau toko sekitar daerah simpang 4 Sempaja, ada yang bersembunyi di dalam semak. Dua anak ditemukan terluka di bagian kaki akibat terjatuh. Serta tiga anak lainnya (berisnisial U, S, dan I) tidak berhasil lolos dari pengejaran, sehingga berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam sel.

Tidak hanya pengejaran dan penangkapan, meja dan kursi di tempat anak-anak biasa belajar pun tak luput dirusak aparat Satpol PP.

Sekitar pukul 21.30, kawan-kawan yang tergabung dalam Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda datang ke kantor Satpol PP. Mereka mendapati ketiga anak tersebut di dalam sel penjara. Menurut keterangan salah satu anak yang ditangkap, I, ia tidak bisa berlari dari pengejaran karena, satpol PP dengan kasarnya menarik kerah baju dan melakukan pengepungan.

Samsul, Perwakilan Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda mengatakan bahwa Satpol PP mencoba mengelak saat dikonfirmasi terkait tindak kekerasan. Mereka menyatakan tidak ada tindak kekerasan, sedangkan ketiga anak yang ditangkap mengatakan telah dipukul dengan rotan.

Iklan

Satpol PP juga tidak mengakui melakukan  pemenjaraan terhadap ketiga anak tersebut. “Bilangnya itu pembinaan, bukan pemenjaraan,” tutur Samsul.

Padahal, terang Samsul, ketiga anak tersebut berada di dalam sel, tidak ada edukasi atau pembinaan sama sekali, “jangankan edukasi, makan minum aja tidak dikasih,” ujar Samsul.

Samsul menambahkan, Satpol PP juga tidak mengakui adanya oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan polisi yang ikut serta melakukan pengejaran dan penangkapan.

Perihal alasan pengejaran dan penangkapan ini, adalah Peraturan Kota Samarinda No. 7 tahun 2017 tentang pembinaan terhadap pengemis, pengamen dan gelandangan yang meminta-minta.

Menurut Samsul Peraturan Kota Samarinda ini menjadi polemik. Sebab belum bisa dibuka dan diakses publik, padahal sudah dari tahun 2017. Meski draft Peraturan Kota belum dibuka, peraturan ini kerap digunakan untuk menangkap anak jalanan.

Ia mengatakan, pemerintah kota membuat solusi tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. “Tidak akan ada anak jalanan jika kebutuhan dasarnya terpenuhi. Sebab, anak-anak jalanan hadir karena tidak punya pilihan selain turun ke jalan untuk mengamen, menjual kacang, dan koran”.

Meski begitu, ia dan kawan Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda memilih fokus saja untuk mengeluarkan anak-anak tersebut dari dalam sel. Ia mengungkapkan kepada Didaktika bahwa sebenarnya ia keberatan terhadap Peraturan Kota tersebut, namun ia tidak ingin memperpanjang masalah, “percuma, gak ada solusinya,” tutur Samsul.

Terkait proses pembebasan I, orang tuanya langsung datang ke kantor Satpol PP. Namun untuk U dan S, kawan dari Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda lah yang menjadi penjamin atas mereka. Kemudian dibuat surat pernyataan atas jaminan tersebut.

“Sekarang, ketiga anak tersebut sehat tapi masih trauma psikis,” ujar Samsul (24/4/2020). Samsul dan kawan-kawan Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda kini fokus untuk melakukan edukasi terhadap anak-anak tersebut, dan mengkampanyekan tindak represif aparat yang telah dilakukan. Ia bersyukur bahwa kerugian materi masih bisa diatasi, dan akan dibuatkan kembali meja serta kursi-kursi yang telah dirusak aparat. Sumber dana yang didapatkan kawan-kawan berasal dari donasi yang diupdate secara berkala di instagram @Sekolahrakyatjalanansamarinda.

Cacat Prosedur Aparat Penegak Hukum

Iklan

Vic (bukan nama sebenarnya), dari Sekolah Rakyat 4.0 Padang menyatakan sikapnya mengutuk keras tindakan tersebut. Sebagai sesama pegiat Sekolah Rakyat Jalanan, ia merasakan bahwa tindak represif dan intimidatif aparat kerap terjadi terhadap kawan-kawannya.

Sekolah Rakyat 4.0 Padang pun pernah mengalami tindak intimidatif yang dilakukan oleh Satpol PP, yaitu pembubaran perpustakaan jalanan atau lapak baca yang diselenggarakan 2018 silam.

Menurut Vic, Satpol PP harusnya memahami betul pengaplikasian Peraturan Kota terkait Keamanan dan Ketertiban Umum. Satpol PP tidak boleh melakukan tindak kekerasan dalam pengeksekusian Peraturan Kota seolah-olah tidak ada ruang negosiasi. “Minimal harusnya teguran dulu, kek. Atau surat peringatan. Lah ini? pokoknya bubar, pokoknya angkut. Masa ruang demokrasinya dinihilkan? Kan konyol,” tuturnya.

Deti, anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Ham Indonesia Jawa Barat (PBHI Jabar) pun merasa ironi. Ketika anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan serta jaminan kehidupan layak berupa kesehatan, tempat tinggal serta pendidikan dari negara. Kemudian mempunyai inisiatif membangun sekolah alternatifnya bernama Sekolah Rakyat Jalanan malah mengalami tindak kekerasan dari Satpol PP.

Mengutip Undang-Undang Dasar (UUD) 194 Pasal 28 B Ayat 2, dikatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Juga amanat UUD 194 Pasal 34 Ayat tentang fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. 

Atas dasar ini, Deti menyatakan seharusnya Negara bertanggung jawab atas anak-anak yang terpaksa tinggal di jalanan. Baik pemerintah pusat, atau melalui perangkat negara seperti Dinas Sosial (Dinsos). Bukan malah melakukan tindak represif seperti yang dilakukan Satpol PP terhadap anak-anak Sekolah Rakyat Jalanan Samarinda.

Rasyid Ridha, Pengacara Publik di Bidang Riset & Pusat Dokumentasi Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) pun menegaskan bahwa kewenangan satpol PP sebagai Aparat Penegak Hukum (APH) terbatas. Hanya pada penindakan non-yustisial, “bukan penegakan hukum seperti kepolisian, apalagi sampai menangkap dan menahan orang.”

Rasyid menambahkan, jika memang terjadi praktik penyiksaan oleh Satpol PP terhadap anak tersebut, maka praktik tersebut telah menyalahi ketentuan Konvensi Anti Penyiksaan, Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), dan UU Perlindungan Anak (UU PA).

APH yang melakukan penyiksaan, tambah Rasyid, dapat dilaporkan baik secara mekanisme laporan pidana di kepolisian, maupun dilaporkan secara mekanisme lembaga kode etik dalam institusinya. Selebihnya, bisa dilaporkan juga ke Ombudsman RI terkait adanya dugaan maladministrasi proses penegakan hukum dan juga dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait dugaan adanya pelanggaran HAM berupa praktik penyiksaan terhadap anak.Rasyid pun mengungkapkan masih  belum menemukan Perda Ketertiban Umum Kota Samarinda tersebut. Menurutnya, kalau memang dalam peraturan tersebut kegiatan mengamen merupakan bagian dari kegiatan yang mengganggu ketertiban umum (misalnya sama seperti larangan Pedagang Kaki Lima (PKL) berjualan di trotoar, larangan mengemis). Satpol PP bisa melakukan penertiban terhadap pengamen. “Hanya menertibkan, tidak sampai menangkap ataupun menahan,” tegasnya.

Penulis/Reporter: Annisa Nurul

Editor: M. Muhtar