Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir merespon demonstrasi yang dilakukan mahasiswa (24/9/2019) dengan ancaman. Ia menyatakan akan memberikan sanksi tegas kepada rektor yang membiarkan mahasiswanya melakukan demonstrasi.

Dilansir dari Vivanews.com, Nasir memutuskan ada dua sanksi keras yang akan diberikan kepada rektor jika rektor mengerahkan mahasiswanya melakukan demonstrasi. Sanksi keras tersebut ada dua, yaitu Surat Peringatan (SP) 1 dan 2. “Kalau sampai menyebabkan kerugian pada negara dan sebagainya, ini bisa tindakan hukum,” ujar Nasir.

Dalam laman tersebut juga dijelaskan, bahwa Nasir sudah memerintahkan Dirjen Pembelajaran Kemenristekdikti, untuk melakukan monitoring. Nasir mengungkapkan bahwa ia hanya bisa memberi sanksi untuk rektor. Terkait dosen yang memberi izin demonstrasi, menurutnya hal itu urusan rektor.

Menanggapi hal ini, penulis sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah merasa ironis. Sebab seolah-olah, Menristek menihilkan aksi demonstrasi muda mudi bangsa. Padahal sejarah Indonesia telah mencatat berbagai perubahan yang nyatanya memang dibawa oleh pemuda pemudi Indonesia.

Jika konteksnya mahasiswa, tentu angkatan ’66 sangat dikenal karena menggulingkan rezim Orde Lama pimpinan Soekarno. Selanjutnya adalah angkatan ’98 yang melakukan demonstrasi besar-besaran menuntut reformasi. Bayangkan jika tak ada gerakan mahasiswa yang menuntut reformasi, mungkin rezim Orde Baru pimpinan Soeharto tidak hanya berusia 32 tahun. Melainkan lebih dari itu. Dan tentu saja kita tidak akan berkenalan dengan demokrasi, tidak akan ada kebebasan pers, tidak akan ada kebebasan dalam menulis buku, menulis puisi dan membuat lagu.

Satu lagi, jika mahasiswa pada 1998 hanya diam di bangku kuliah tanpa ada ikhtiar untuk mengubah keadaan masyarakat, mungkin kita masih berada dalam cengkraman rezim Orde Baru yang anti dengan ekspresi rakyat. Meski rakyatlah yang memilih mereka. Paradoks.

Iklan

Terjebak dalam relasi kuasa

Dalam relasi kuasa Pendidikan Tinggi, jelas bahwa Menristekdikti menempati posisi di puncak piramida. Selanjutnya adalah rektor dan jajarannya, sedangkan mahasiswa menempati posisi paling bawah. Maka wajar saja, bila Menristek, Mohamad Nasir, menyatakan bahwa urusan dosen dan mahasiswa adalah urusan rektor. Sebab dalam hal ini, terdapat relasi yang bersifat struktural. Mengapa harus sibuk-sibuk memberi peringatan kepada mahasiswa satu persatu jika bisa mengancam rektornya? Jadi, tak perlu pusing mengurus mahasiswa yang jumlahnya ribuan itu, biar kampus saja yang mengurus!

Sekilas, memang seolah-olah rektor yang akan mendapatkan kerugian karena ada ancaman hukuman berupa SP 1 dan 2. Namun, sifat relasi kuasa yang terstruktur itu belumlah berhenti pada tataran Menristek dan Rektor. Seperti yang sudah ditulis, bahwa mahasiswa menempati piramida paling bawah. Mahasiswa terancam direnggut haknya, terutama hak mengeluarkan pendapat. Mahasiswa juga seolah diupayakan agar memisahkan antara pendidikan, dan realitas sosial. Mengapa begitu?

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat 3 menyatakan bahwasannya setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini jelas menjamin kebebasan berpendapat individu sebagai Warga Negara yang mengeluarkan pendapatnya di muka umum. Sedangkan mengenai demonstrasi, hal ini pun dijamin dalam UU No 9 th 1998 pasal 9 ayat 1. Demonstrasi atau unjuk rasa termasuk ke dalam salah satu bentuk mengeluarkan pendapat di muka umum.

Namun kini, realitanya, beberapa Perguruan Tinggi bahkan sudah melarang mahasiswanya melakukan demonstrasi. Kampus-kampus seolah ketakutan, jika kedapatan mahasiswanya berdemonstrasi menggunakan almamater kampus, maka rektor akan diancam oleh Kemenristekdikti. Begitu juga yang terjadi dalam relasi mahasiswa dan rektor. Mahasiswa pun terancam, jika ia melakukan demonstrasi, maka akan di Drop Out (DO) oleh rektor.

Seperti kasus yang terjadi di Riau, Ulul Azmi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim (UIN SUSKA) diancam DO dan dipersulit administrasi kampusnya karena ia melakukan demonstrasi terkait kebakaran hutan dan lahan. Tak hanya Ulul Azmi, Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan Demokrasi (AMuKk) pun menerima 39 laporan terkait ancaman hak pendidikan dari mahasiswa dan pelajar setelah rangkaian aksi di sejumlah daerah.

Laporan kasus ini pun menjadi tanda tanya, mengapa warga negara sulit mengakses haknya? Tidak terhenti pada akses hak, mahasiswa kelak akan terbiasa jika haknya diabaikan begitu saja. Lebih jauh, mahasiswa akan sengaja menguburkan nalar kritisnya karena ancaman-ancaman kehilangan hak pendidikan tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin jika kelak mahasiswa lebih memilih bungkam, daripada mengeluarkan pendapat lantas di DO kampus.

Padahal, jika melihat aksi demonstrasi kemarin, isu 7 tuntutan itu tidak hanya dilayangkan oleh satu atau dua kampus saja. Melainkan puluhan kampus. Demonstrasi pun bukan hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan di daerah-daerah lain, seperti Jogjakarta, Bandung, Bogor, Surabaya, Makassar, dan lain-lain. Hal ini mengindikasikan suatu kondisi Negara yang memang sedang tidak baik-baik saja. Sebab itu pemuda pemudi Indonesia sepakat bergerak atas keresahan yang sama.

Beberapa hal yang paling berbahaya dari apatisnya mahasiswa adalah, pemerintah berpeluang semakin otoriter dan sewenang-wenang, rakyat semakin tercekik dengan kehadiran pasal-pasal karet. Belum lagi, korupsi-korupsi akan bertambah sebab kekuasaannya tidak digugat rakyat, khususnya muda mudi Indonesia.

Selanjutnya, penulis menyebut bahwa Menristek seolah-olah mengupayakan suatu pemisahan antara pendidikan dan realitas sosial. Mengutip Paulo Freire dalam buku Politik Pendidikan, ia menyatakan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan manusia dari apa yang membelenggunya. Lebih jauh ia menyatakan, bahwa pendidikan seharusnya bisa membawa perubahan untuk lingkungan. Untuk itu dibutuhkanlah kesadaran transformatif, kesadaran untuk mengubah lingkungan berlandaskan pendidikan. Bukan kesadaran yang bersifat magis, naif atau sebatas kesadaran kritis yang sifatnya pasif. Dalam hal ini saya sepakat dengan Paulo Freire bahwasannya fungsi pendidikan memang tidak hanya dalam tataran teori, melainkan praktik.

Iklan

Aksi demonstrasi menuntut 7 tuntutan oleh mahasiswa adalah buah dari proses pendidikan tersebut. Sebagai bukti kepedulian mahasiswa terhadap negara, terhadap masyarakat awam. Sebagai bukti kesadaran transformatif para pemuda pemudi Indonesia. Menurut penulis, justru di situlah esensi pendidikan, bahwasannya teori bukan terhenti pada tataran teori, melainkan patut diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Penulis selalu percaya bahwa sebaik-baiknya pendidikan adalah pendidikan yang kita edukasikan kembali kepada lingkungan sekitar, yaitu masyarakat.

Maka penulis merasa aneh ketika Menristekdikti menggunakan relasi kuasanya untuk membatasi ruang gerak mahasiswa, untuk membungkam nalar kritis mahasiswa. Seolah pendidikan sifatnya eksklusif, terpisah dari realita sosial. Seolah mahasiswa hanya produk yang diprogram untuk mendengarkan dikte-dikte para pemegang kuasa Pendidikan Tinggi, yaitu untuk menjadi mahasiswa yang lebih pasif meski realitanya terdapat produk hukum yang mengancam hak-hak rakyat; produk hukum yang mengancam demokrasi.

Bukankah kita sebagai mahasiswa berpegang teguh pada Tri Darma Perguruan Tinggi? Bukankah tindakan mahasiswa yang menuntut 7 hal tersebut sejalan dengan Tri Darma Perguruan Tinggi? Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat. Ataukah aksi mahasiswa yang membawa 7 tuntutan itu bukan dianggap sebagai praktik teori pendidikan dan abdi terhadap rakyat? Atau bagaimana?

Sudah seharusnya jika mahasiswa bergerak menuntut hukum yang adil. Sudah seharusnya mahasiswa bersuara menuntut penuntasan reformasi. Sudah seharusnya mahasiswa bergerak saat mendapati hasil kajian yang berlandaskan penelitian-penelitian ilmiah membuktikan bahwasannya pemerintah bersifat otoriter dan represif di Negara demokrasi.

Jika mahasiswa yang berdemonstrasi lantas di Drop Out hanya karena melakukan demonstrasi yang hukumnya pun dibolehkan Negara, lantas apa makna pendidikan dan serangkaian hak dalam Undang-Undang itu?

Juga perlu dicatat, yaitu saat Menristek menyatakan ia menyayangkan tindakan mahasiswa yang menolak dialog dengan pemerintah, perlu digarisbawahi bahwa mahasiswa tidak menuntut dialog tertutup. Mahasiswa menghendaki transparansi. Mahasiswa menghendaki cara-cara yang terbuka, di mana semua elemen masyarakat bisa menyaksikan bahwasannya tidak akan ada intervensi apapun dalam dialog antara pemerintah dan mahasiswa. Sebab, bila dialog terjadi secara tertutup, bukanlah hal yang tidak mungkin bila pemerintah pun melancarkan aksinya dengan menggunakan relasi kuasa antara pemerintah dan mahasiswa.

Penulis: Annisa Nurul H.S.

Editor: M. Muhtar