Prang!
Terdengar kegaduhan dari dapur.
“Bangsat, ini siapa yang gak cuci piring setelah dipake?” Rupanya Jana, sang penjaga, kos murka. Ia melempar wajan kosong untuk mencari perhatian.
Beberapa penghuni kos kaget, keluar kamar untuk melihat. Namun, tak ada yang mengaku cucian kotor itu bekas siapa. Setiap penghuni saling lempar pandangan, lalu menggeleng.
Jana geram, sebab tak ada jawaban.
“Lu kira gua babu?!” teriaknya entah pada siapa. Semuanya mendengar.
Ini bukan yang pertama kalinya Jana murka.
Sudah sering. Kalau dihitung, seminggu bisa ada lima kali.
Meski murka, ia tetap mencuci piring bekas tadi tanpa tahu siapa pelakunya.
Penghuni kos yang melihat aksinya kembali masuk kamar. Semua merasa ngeri.
***
Entah bagaimana Jana bisa dipekerjakan di sini; menjaga kos perempuan.
Satu yang saya tahu: ia selalu bersikap dingin kepada semua penghuni kos. Tak ada senyum atau sapaan ketika ia berpapasan dengan para penghuni. Jalan pun selalu menunduk seolah tak peduli dan jutek. Jadi, wajar saja kalau tak pernah ngobrol. Ia sendiri justru menghindari itu. Ia juga galak. Sedikit saja penghuni kos berbuat salah, ia berucap masam. Perkara bekas cucian piring yang tak dibersihkan hanya contoh sederhana. Sebenarnya masih banyak lagi. Jelas saja siapa pun segan padanya.
Seorang kawan, Tika, pernah berbicara sekenanya, “sebenarnya, dia bersikap dingin karena takut nafsu ngeliat kita.” Menjadi galak itu pengalihan hasrat, tambahnya lagi. Saya hanya tertawa, geli. Apa yang dibilang kawan saya, mungkin ada benarnya juga. Jana bersikap dingin untuk menghindari adanya jalinan asmara dengan penghuni kos; menghindari perselingkuhan.
Ia memang sudah menikah dan punya anak di kampungnya. Ia yang sudah lama bersetia dengan istri-anak mungkin tak sampai hati untuk berselingkuh.
Saya rasa sikap Jana ini juga didorong ketampanannya. Ia takut ketampanannya ini menarik penghuni kosan yang isinya perempuan semua. Kalau demikian, ia terlalu percaya diri. Entahlah. Saya jadi geli.
***
Hari-hari berlanjut. Jana tetap seperti biasanya: dingin dan galak. Saya sebetulnya tak acuh. Sampai suatu waktu, saya melihat ia keluar dari kamar Riri. Waktu itu, di dini hari, saya baru selesai buang air di WC, yang ada di luar kamar. Ketika tak sengaja melihat kejadian itu, saya jadi sembunyi-sembunyi masuk kamar.
Ah, seandainya saya tidak insomnia, saya tidak akan melihat kejadian tadi. Dan, pikiran saya tidak kacau begini.
Pemandangan ini sangat mengganggu pikiran saya. Saya melihat Jana keluar kamar Riri. Tingkahnya seperti habis maling. Namun, bukan. Setelah Jana keluar, saya mendengar suara pintu kamar dikunci menyusul. Ini jelas pemilik kamar, Riri, yang mengunci.
***
Belakangan, saya baru tahu kalau Riri sering kali meninggalkan cucian kotor di westafel dapur. Ia selalu berdalih lupa. Sebelum-sebelumnya, memang Riri sering kena amarah Jana.
Sebenarnya bukan hanya Riri. Semuanya juga pernah lupa. Termasuk saya. Hanya saja, memang frekuensi Riri lebih banyak daripada yang lain.
Pernah suatu waktu saya ketahuan meninggalkan bekas cucian piring. Saya dimarahi dan dibentak Jana. Saya jadi kesal. Rasanya, ingin menonjok wajah tampannya itu. Untungnya, saya berhasil tahan juga hasrat itu. Saya sudah terbiasa dimarahi Jana.
Saya akui saya memang salah sih.
***
Saya perhatikan, sejak kejadian di dini hari itu, Riri sudah tidak pernah terkena amarah Jana. Meski Jana tahu, Riri selalu jadi biang berantakan di kos.
Jejak alas kakinya yang kotor, nyala keran yang sering dilupa Riri setelah mandi, bekas cucian piring… Bukan lagi masalah bagi Jana. Jana mau-maunya membereskan yang diberantaki Riri. Namun, sikap dinginnya ini tidak pernah tanggal.
Di beberapa minggu berikutnya, saya lagi-lagi melihat kejadian yang hampir serupa. Hanya saja Jana bukan keluar dari kamar Riri, melainkan dari kamar Moni. Hari berikutnya, keluar dari kamar Gita. Kemudian dari kamar Dina. Selalu saja keluar dari kamar yang penghuninya bermasalah; yang selalu terkena omelan Jana.
Uniknya, intensitas Jana murka semakin berkurang. Ia dengan senang hati membereskan ini dan itu. Ia yang menolak jadi babu, akhirnya mau-maunya jadi babu. Ia seolah terperdaya.
Saya jadi penasaran. Saya yang sudah jengah dengan omelan Jana, jadi ingin coba tutup mulut masamnya. Kalau bisa tanggalkan kegalakannya. Malam ini, ia akan keluar dari kamar saya.
Lutfia Harizuandini