Rabu (24/06),  puluhan mahasiswa Universitas Nasional (UNAS) berkumpul di gerbang kampus utama mengadakan aksi massa. Menurut Karno, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAS, selaku koordinator aksi mengatakan bahwa aksi ini merupakan kelanjutan aksi sebelumnya. Pada 10-12 Juni 2020, mahasiswa UNAS juga mengadakan aksi serupa dengan nama Unas Gawat Darurat (UGD). Karno menjelaskan bahwa tujuan aksi adalah meminta audiensi terbuka dengan pihak rektorat yang melibatkan seluruh massa aksi. ‘’Surat permohonan audiensi terbuka sudah diterima,’’ ucapnya melalui sambungan telepon.

Menurut pers rilis aksi, UGD memprotes kebijakan UNAS yang hanya memberikan potongan sebesar Rp100.000 dan Rp150.000. Potongan Rp150.000 membutuhkan lampiran bukti rekening listrik namun tidak disebutkan batas minimalnya. Oleh karena itu, mereka menuntut potongan SPP UNAS sebesar 50-65%, jaminan upah penuh dosen dan pekerja di masa pandemi, jaminan hak mahasiswa untuk bersuara dan menyatakan pendapat, penghentian intimidasi dan ancaman terhadap mahasiswa UNAS oleh komite disiplin, serta transparansi statuta secara publik.

Sebagai respon terhadap UGD, UNAS menerbitkan tulisan di website resmi ‘’Tindak tegas demo anarkis di kampus UNAS’’ pada 15 Juni 2020. Tulisan tersebut menyatakan bahwa peserta aksi UGD telah melanggar aturan internal kampus yakni Surat Keputusan rektor UNAS no. 112 tahun 2014 tentang tata tertib kehidupan kampus bagi mahasiswa di lingkungan UNAS. Jenis pelanggaran yang dapat diterapkan adalah tindakan mahasiswa melakukan pencemaran nama UNAS melalui media nasional, serta melakukan pemukulan dan perbuatan yang merugikan warga kampus.

Mustakim mengatakan bahwa tindakan mahasiswa seperti “preman tanpa menggunakan pikiran dan ilmu pengetahuan kuliah” Sejalan dengan itu, Wakil rektor bidang kemahasiswaan menyayangkan aksi anarkis mahasiswanya dan menyarankan agar diproses secara internal akademik dan hukum.  

Selain itu, Pelayanan Bantuan Hukum UNAS menyatakan bahwa akan melaporkan tindak pidana mahasiswanya dengan undang-undang no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE), Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai pengeroyokan orang atau barang, Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan, dan pasal 310 sampai dengan 321 KUHP tentang penghinaan. Melalui itu juga, mahasiswa diancam perdata melalui pasal 1365 KUHPerdata.

Sementara itu, menurut salah seorang mahasiswa FISIP UNAS sekaligus koordinator UGD yang ingin disebut DS, langkah hukum UNAS merupakan langkah intimidatif. Ia juga mengatakan bahwa tindakan intimidatif dialami oleh mahasiswa saat melakukan kampanye media dan aksi massa.

Iklan

Sebelumnya, 27 mahasiswa mendapatkan surat pemanggilan dan diminta menandatangani surat pernyataan bersalah karena postingan media. Menurut Krisna Aji, mahasiswa FISIP yang mendapatkan surat pemanggilan dia diancam dengan UU ITE jika menolak.

Merespon pemanggilan 27 mahasiswa, pada 10 Juni 2020, UGD menggelar aksi sebagai respon pemanggilan tersebut. Namun sejak awal mahasiswa dihalangi saat menggelar aksi.  Menurut Suib, mahasiswa FISIP UNAS dan korlap aksi, pada pukul 10.04, aparat keamanan UNAS mendorong massa aksi dengan tujuan membubarkan. Suib menambahkan bahwa Togi, seorang mahasiswa Universitas Bunda Mulia yang bersolidaritas dibawa pihak keamanan ke polsek Pasar Minggu. Mahasiswa kembali mengadakan aksi pukul 13.38. Aksi tersebut merupakan respon cepat terhadap penangkapan Togi. Pada pukul 14.49, akhirnya massa membubarkan diri karena Togi sudah dibebaskan.

Keesokan harinya, pada 11 Juni 2020, mahasiswa yang tergabung di UGD kembali menggelar aksi. Tujuannya juga mengawal pemanggilan mahasiswa. Thariza, mahasiswa Sastra Inggris UNAS yang berperan jadi korlap, menyebut pada pukul 16.40 negosiasi antara perwakilan UGD, petugas keamanan, dan pejabat kampus yang hendak pulang berujung buntu. Menurut Thariza, pejabat kampus menolak berdialog. Pada pukul 16.47, aksi massa membentuk border berhadapan dengan mobil yang memaksa keluar. Baru pada pukul 17.03 massa membubarkan diri. Saat ditanya mengenai tuduhan tindak kekerasan oleh UNAS, dia menjelaskan bahwa UGD meminta kejelasan audiensi namun pihak biro di dalam mobil menolak keluar.  

Tindakan UNAS dalam merespon mahasiswa dianggap terlalu berlebihan. Nelson Nikodemus Simamora, ketua advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mengatakan bahwa UNAS tidak pantas melaporkan mahasiswanya.

Nelson menjelaskan bahwa UU ITE merupakan pasal karet yang seringkali digunakan untuk membungkam kritik. Selain itu, Nelson menambahkan, bahwa UU ITE seharusnya hanya bisa digunakan oleh individu yang terdampak alih-alih sebuah institusi. Sementara itu penggunaan pasal 170 dan 351 KUHP, ungkap Nelson, seharusnya tidak digunakan ke peserta didik yang bertanggung jawab terhadap mahasiswanya. “Seharusnya kampus bisa membuka ruang dialog yang partisipatif” pungkasnya.

Penulis/Reporter: Faisal Bahri

Editor: Uly Mega S.