Jumat (8/11), bertempat di Auditorium Perpustakaan Nasional. Sahabat Tides menyelenggarakan acara yang bertajuk “Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian”, sekaligus mengenang Aristides Katoppo, seorang wartawan senior yang aktif di media Sinar Harapan. Tutup usia pada 29 September 2019, Aristides dikenal sebagai wartawan yang memiliki keberanian. Ia pun dikenal sangat teguh dalam mempertahankan prinsip jurnalisme.

Kristin Sanah, penulis/eks wartawan Sinar Harapan, mengenang ungkapan Aristides tentang tantangan jurnalisme. Tantangan jurnalisme hari ini bukanlah penyajian, tapi nilai. Jurnalisme adalah nilai mulia.

“Jurnalisme tak akan mati, jika jurnalis berbasis nalar, naluri, dan nurani,” kata Kristin Sanah, selaku moderator mengenang ucapan Aristides semasa ia hidup.

Diskusi ini pun mengundang beberapa pembicara, yaitu Abdul Manan (Ketua AJI Indonesia), Ignatius Haryatno (Pengamat Media), Bambang Harymurti (Jurnalis Harian Tempo), dan Atmadji Sumarkidjo (eks Jurnalis Sinar Harapan/Suara Pembaruan).  

Atmadji Sumarkidjo, menjelaskan tentang istilah jurnalistik ronggeng yang diungkapkan oleh Aristides Katoppo. Ia menyebutkan, itu adalah manuver yang kompromis, dan mampu bertahan menghadapi tantangan tanpa menghilangkan identitasnya.

 Atmadji mengenang Tides -panggilan Aristides- dengan istilah jurnalistik ronggengnya. “(Jurnalistik ronggeng) itu menggambarkan sikap yang mampu bertahan menghadapi tantangan, ibarat ronggeng yang dikelilingi laki-laki,” ucap Atmadji.

Iklan

Meskipun Tides sudah wafat, ia tetap memengaruhi jiwa para jurnalis yang masih aktif, seperti praktik-praktik jurnalisme investigasi. Sosok Aristides selalu menjadi influence bagi wartawan-wartawan yang masih aktif.

Tak hanya Atmadji, Bambang Harymurti pun demikian. Menurutnya, Tides adalah seorang yang membangkang, tapi penguasa mentoleransinya. “Ia selalu belajar dari pengalaman,” kenang Bambang. Berbicara perihal keteladanan dalam penulisan pun, Tides sangat disiplin. Menurut Bambang, ia bersiasat, tetapi tetap dalam prinsip-prinsip wartawan yang dipegang teguh olehnya.

Kondisi Jurnalis Saat ini

Bambang memaparkan tantangan jurnalis pada saat ini adalah sikap independensi jurnalis.  Sebab menurut Bambang, kondisi masyarakat saat ini sangat terdikotomi. Ia mencontohkan pemberitaan di masa pilpres. Berbicara politik hanya menjadi dua saja, yaitu cebong dan kampret.

Selain Bambang, Ignatius Haryanto pun turut membicarakan tentang keprihatinan terhadap kondisi jurnalis. Ia menganggap, posisi jurnalis kalah dibandingkan dengan buzzer. Hal ini adalah konsekuensi dari perkembangan teknologi. “Semua orang yang memegang gadget bisa langsung menyebarkan, apapun medianya,” ujar Ignatius.

Maka tugas jurnalis saat ini bergeser. Tugas jurnalis bukan lagi sebagai pelapor awal, tapi verifikator. Ignatius menegaskan, bahwa jurnalis harus memunculkan kejernihan dalam informasi. Selain itu, kecerdasan publik juga harus dibutuhkan dalam menghadapi hoax yang selalu bertambah.

Abdul Manan, Ketua Umum AJI Indonesia pun mengungkapkan adanya kegelisahan kualitas jurnalisme di era saat ini. Menurut Manan, keberanian wartawan dalam mewartakan berita adalah persoalan serius dalam upaya memunculkan kualitas.

Selain itu, tuntutan media online yang menyajikan kecepatan produk, juga dapat menurunkan kualitas jurnalisme. Terlebih lagi, pers saat ini hanya memunculkan sesuatu yang sensasional untuk mendapatkan keuntungan melalui klik bait saja.

Kondisi media sebagai pasar, kata Manan, turut andil dalam kondisi jurnalisme saat ini. “Pasar seperti sudah tidak butuh berita yang berkualitas, karena pers kita hanya bersandar pada iklan,” pungkas Manan.

Penulis: Ahmad Qori H.

Iklan

Editor: Imtitsal N.