Gerakan Mahasiswa adalah kekuatan kritis tanpa tendensi-tendensi kecuali menuntut hak politik dan ekonomi mereka. Dalam buku Muridan “Penakluk Rezim Orde Baru,” gerakan mahasiswa dianalogikan sebuah keluarga yang setiap generasinya memiliki nilai perjuangan. Mulai dari perjuangan Budi Utomo pada 1908 hingga Reformasi pada 1998. Dalam konteks perlawanan memiliki sebuah andil besar dalam menghendaki sebuah perubahan, mulai dari strategi sampai hal teknis yang terjadi di lapangan. Dalam buku Muridan berjudul Penakluk Rezim Orde Baru, ia memaparkan beberapa jurnal mengenai Gerakan Mahasiswa yang sampai akhirnya menaklukan rezim orde baru yang bebal dan otoriter.

Langkah Gerakan Angkatan “66

Garis panjang sejarah gerakan mahasiswa dapat kita lihat dari perjuangan 1966 saat gerakan mahasiswa dengan militer beramai-ramai menolak rezim Orde Lama Soekarno. Dalam Gerakan meruntuhkan Orde Lama tanpa sadar Angkatan 1966 menjadi alat politik militer serta paling banyak klaimnya dalam menyelamatkan Indonesia dari cengkraman PKI dan pembentukan Politik Indonesia.

Langkah progresif pada tahun itu disebabkan rezim  Orde Lama yang cenderung sudah tidak sesuai dengan aspirasi rakyat pada saat itu. Gerakan itu menghasilkan tiga tuntutan rakyat yang berisi Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pembersihan Kabinat Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G-30-S, dan penurunan harga. Di tengah semangat gerakan mahasiswa yang semakin meluas, hal ini menjadi sebuah kesempatan besar bagi  pihak militer untuk menjadikan gerakan ini sebagai struggle of power. Kemal Idris dan Soeharto pada saat itu sebagai pihak militer mendominasi gerakan mahasiswa,  mereka menguasai keadaan saat itu untuk menjatuhkan Soekarno dengan adanya Surat Perintah Sebelas Maret. Kekuatan kritis para pemuda yang ingin mencapai perubahan berpotensi masuk kedalam satu permainan politik yang cukup strategis.

Gerakan mahasiswa telah berevolusi menjadi sebuah kekuatan yang terorganisir diantaranya HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia). Gerakan Mahasiswa yang lebih progresif muncul seiring dengan situasi rezim yang mulai memburuk pada tahun 1965. KAMI yang saat itu dibubarkan rezim Orde Lama berganti menjadi Laskar Arief Rahman Hakim.

Munculya berbagai organisasi ini mempengaruhi kegiatan di luar kampus sebagai wadah aspirasi Mahasiswa, hal in membuat kepekaan mahasiswa semakin kuat terhadap situasi negara saat itu. Kepekaan berpolitik KAMI seharusnya menjadi masa depan perpolitikan , karena di satu sisi Angkatan ‘66 mengklaim dirinya memiliki posisi khusus dalam menyelamatkan Indonesia dari cengkraman PKI. Karna PKI dianggap sebagai dalang dari pemberontakan G30S.

Iklan

Kekuatan yang Tidak Berujung

 Pasca runtuh rezim orde baru, mahasiswa merasa telah berhasil akan kekuatan sapu jagadnya  mengubah tatanan rezim yang kerap memburuk. Gerakan mahasiswa ‘66 merasa berhasil dan percaya terhadap soeharto karena telah menuntaskan tuntutan untuk membubarkan PKI pada 11 Maret 1966. Di satu sisi Orde Baru mulai  melakukan penyederhanaan undang-undang untuk melanggengkan status quo kekuasaanya, diantaranya menyederhanakan partai-partai politik (PPP, PDI, GOLKAR), pembungkaman pers, dan pengukuhan Dwifungsi Abri. Kebijakan ini dikeluarkan atas dasar antisipasi kebangkitan PKI.

 KAMI yang awalnya keras berubah menjadi pragmatis. Sebagian dari mereka yang keluar banyak yang menjadi legislatif hingga menjadi akademisi di kampus. Hal ini menjadi sebuah perdebatan bagi para aktivis yang tetap kukuh pada idealismenya. Salah satunya Adnan Buyung Nasution dan Rahman Toleng yang mengkritisi rezim Orde Baru walau pada akhirnya ia disingkirkan oleh sistem yang ada.

Kendati demikian kontroversi pragmatis dan idealis menonjol pada masa ini, klimaks perlawanan dimulai pada tahun ‘70an ditandai dengan adanya peristiwa malapetaka 15 Februari, dimana masyarakat sipil menggalami bentrok saat kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei di Jakarta (14-17 Januari 1974). Terjadinya peristiwa kerusuhan ini juga disebabkan oleh sentimen rakyat terhadap korupsi Fatimah Siti Harsinah selaku istri presiden Soeharto yang menggelapkan dana proyek TMII.

Regenerasi GM dimasa ini dimulai kembali saat HMI, GMNI, PMKRI melanjutkan diskusi GM dengan sebuah wada kelompok Cipayung. Kelompok Cipayung yang berdiri pada 22 Januari 1972 menyatukan ormas-ormas yang memiliki perbedaan karakteristik, usia kelompok Cipayung terbilang relatif panjang dibanding ormas-ormas gabungan lainya. Lahirnya kerjasama kelompok Cipayung adalah sebuah hal yang tidak direncanakan, melainkan masing-masing dari pemimpin ormas berkumpul dan membuat kelompok kerjasama tersebut.

Kepekaan orde baru terhadap perlawanan Gerakan mahasiswa dengan menggeluarkan kebijakan depolitisasi kampus lewat UU No 28/1974 atau NKK/BKK. Hal ini adalah bentuk kerjasama birokrat kampus dengan pemerintah pada akhirnya mahasiswa memiliki ruang gerak politik yang sempit belum lagi dengan diterbitkanya SKS (Sistem Kredit Semester) yang mengharuskan mahasiswa untuk menyelesaikan studinya tepat waktu, Kebijakan ini juga menyebabkan SM dan DPM yang tadinya setara dengan rector menjadi sebuah organ yang ada di tingkat fakultas.

Tentu dengan adanya kebijakan ini tidak menghalangi pergerakan mahasiswa untuk tetap mencari alternatif lain berkegiatan politik. Akhir tahun ‘80an mahasiswa mulai berpolitik lewat organisasi luar kampus seperti terjun ke LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), KS (Kelompok Studi), Pers Mahasiswa, Badan Kordinator. Pada akhirnya ormas-ormas ini menjadi sebuah oposisi poitik orde baru, karena ormas-ormas ini  mampu menjaga perlawanan dengan konsisten.

KS menjadi awal kebangkitan mahasiswa dibawah cengkraman NKK/BKK. KS awalnya hanya menjadi pengasah kemampuan kritis terhadap persoalan politik dengan adanya diskusi. Topik yang didiskusikan seperti kritik sosial terhadap kapitalis berlandaskan teori Marx, Freire, Ivan Illic. KS mendapatkan kritik oleh sebagian aktivis karena cenderung elitis yang hanya berafiliasi pada teori tanpa turun ke lapangan. Selain ks ada pers

LSM yang dibentuk pada sekitar dekade 1960an sampai 1970an dalam awal kemunculanya menjadi aktor pro demokrasi dengan teori radikal seperti marxisme, feminisme, islam radikal. Sebagian mahasiswa banyak yang memilih terjun ke LSM pada akhir ‘80an karena adanya depolitisasi kampus. Pada akhirnya gerakan ini menjadi awal dari perlawanan radikal terhadap orde baru (Gerakan Anti Orde Baru). Salah satu kelompok radikal yaitu SMID/PRD, Pada masa itu PRD dianggap radikal karena menantang rezim orde baru secara eksplisit.

Gerakan perlawanan terhadap Orde Baru berlanjut sampai awal tahun 1990 dengan isu yang diangkat berlandaskan kerakyatan. Pasalnya  rakyat sebagai pihak  yang paling dirugikan oleh sistem negara, pada akhirnya mahasiswa dan rakyat bersatu sebagai subjek penuntut terhadap kelalaian rezim.

Iklan

Situasi mulai memanas disaat terjadi kerusuhan 27 Juli 1996, yang disebabkan pertentangan antara dua kubu PDI yaitu PDI Megawati dan PDI Soerjadi. PRD menjadi tersangka sebagai pihak ketiga yang mendalangi kerusuhan ini, hal ini disebabkan karena adanya mimbar bebas yang diisi PRD dan MARI (Majelis Rakyat Indonesia). Setelah kejadian itu Soeharto melakukan pembersihan parpol-parpol yang melawan pemerintah dengan adanya penangkapan pimpinan parpol PRD, KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu), MARI. Pasca pembersihan parpol, MARI dan PRD bertransformasi menjadi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB). (OTB berkonotasi pada strategi komunis gaya baru karna tidak memiliki organisasi yang formal namun anggotanya disusupkan dalam berbagai organisasi yang ada di masyarakat Hlm 137) hal tersebut merupakan opini yang digiring pemerintah untuk semakin membangun sentiment terhadap PRD.

Pada dasarnya OTB dilakukan untuk menghilangkan identitas politik dengan menyusupi anggota ke berbagai organisasi di masyarakat yang dianggap aman. Polarisasi gerakan menjadi suatu keuntungan bagi jalanya perlawana terhadap Orde Baru, pasalnya semangat perlawanan mampu meluas ke berbagai daerah dengan adanya polarisasi tersebut.  Dengan adanya OTB menjadikan pergerakan semakin meluas dan meningkatnya jumlah demonstran pada tahun 1997. 

Gerakan pada masa itu menghasilkan beberapa tuntutan diantaranya pelaksanaan pemilu ulang, pembebasan tahanan politik, pencabutan UU subversif dan pengapusan dwifungsi abri. Banyaknya penolakan terhadap pemilu 1997 tidak membuat Soeharto menyerah akan status kepresidenan yang dipegangnya, pemilu 1997 kembali dimenangkan Soeharto. Keunggulan tersebut melahirkan  dua kubu kelompok radikal yang anti dengan Soeharto serta kelompok moderat yang menolak sistem Orde Baru.

Harga 9 bahan pokok di Indonesia juga terbilang cukup tinggi karena kelangkaanya, hal ini membuat masyarakat menengah atas berinisiatif menimbun 9 bahan pokok tersebut dan membuat kemarahan rakyat.

Angin kencang yang dapat menggoyang kekuasaan Orde Baru terjadi pada pertengahan 1997, akibat krisis ekonomi. Harga 9 bahan pokok di Indonesia juga terbilang cukup tinggi, hal ini menjadi titik lemah rezim Orde Baru dalam menanggani permasalahan ekonomi. Tekanan dari civitas akademika semakin merambak ke berbagai universitas hingga menjadikan demonstrasi bersifat populis. Pada 21 mei 1998 kekuasaan Soeharto kandas atas kehendak rakyat. Pasca turunya Soeharto, gerakan mahasiswa diberbagai ormas semakin terombang-ambing akan kedudukan Habibie menggantikan Soeharto. Hal ini ditandai dengan perbedaaan pendapat antara gerakan yang radikal menuntut tuntaskan reformasi dengan kelompok moderat yang menerima kedudukan Habibie.

Muridan mengomentari gerakan mahasiswa pasca runtuhnya Soeharto  bahwasanya Gerakan mahasiswa menggalami disorientasi. Secara garis besar sikap mahasiswa menggalami kesinambungan akan naiknya Habibie, hal itulah yang membuat tekad mahasiswa kagok dan berakibat pada redanya Gerakan mahasiswa ’98. Konflik yang tadinya bersifat vertikal antara mahasiswa dan pemerintah telah beerganti menjadi sebuah konflik yang horizontal, dimana perpecahan idealis terjadi antara kelompok yang menolak kedudukan Habibie yang menggantikan soeharto dengan kelompok yang mendukung Habibie naik ke kursi kepresidenan.

Analisa Muridan mengenai keseinambungan Gerakan mahasiswa pada masa itu cenderung berkelanjutan hingga dewasan ini ditambah lagi dengan karut-marut permasalahan politik yang amat kompleks. Isu-isu seperti pelanggaran HAM, kebebasan berpendapat, hingga kemiskinan semakin meningkat. Gerakan mahasiswa pada masa ini menjadikan dirinya sebagai subjek yang universal, namun dalam teknisnya ada sedikit perbedaan dengan pergerakan Angkatan ’98. Yang mana pergerakan ‘98 memiliki sebuah patron seperti Megawati, Amin Rais, Emha Ainun Nadjieb. Serta pada masa ini pergerakan bersifat tidak populis hingga amat mudah dituduh ditunggangi. Menanggapi hal ini komoditas utama bagi pergerakan adalah elan perjuangan Gerakan mahasiswa yang harus tetap terjaga, hal ini dibuktikan dengan pergerakan mahasiswa yang tetap berkonsolidasi diberbagai ormasnya masing-masing.

Pergerakan pada masa kini  lebih didukung dengan adanya berbagai kebebasan berekspresi di media sosial seperti Twitter, Instagram, dll. Media sosial ini membuat mahasiswa dapat mengetahui situasi yang sedang terjadi didalam perpolitikan atau sebuah Gerakan dalam menghendaki sebuah tuntutan melalui rasionalisasi yang terbenak di pikiran mereka. Dengan munculnya berbagai macam media sosial, mahasiswa mampu mengaspirasikan pendapatnya lewat media sosial. Hal ini menjadikan media sosial sebagai wadah untuk penekanan terhadap ketidakadilan yang berbasis teknologi

Namun sayangnya di tengah kemajuan teknologi yang mempermudah pergerakan mahasiswa, masih ada saja Gerakan mahasiswa yang terpecah belah dan tidak sejalan dengan tuntutan mahasiswa. Perpecahan terjadi disebabkan pergeseran cara mahasiswa dalam merespons isu-isu aktual di tengah masyarakat. Seperti terjadinya sebuah kesinambungan BEM kampus dan fakultas Universitas Andalas yang menyatakan sikap menolak dalam pengesahan RUU PKS tanpa adanya rasionalisasi yang jelas. Pernyataan sikap yang dikeluarkan cenderung merepresentasikan sebuah kekeliruan dalam penafsiran yang didiskusikan BEM Universitas Andalas yang menganggap RUU ini cenderung menjadikan paham feminisme dan liberal sebagai landasan ideologi dan bertentangan dengan falsafah Minangkabau. Reaksi Gerakan Mahasiswa terhadap isu-isu yang ada seharusnya ditanggapi secara kritis dan memiliki konsen terhadap kepentingan orang banyak.

Penulis: Sultan Bayu Ananda

Editor: Muhammad Rizky Suryana