Jumat, (14/08) sebanyak 188 orang ditangkap saat mengikuti aksi tolak Omnibus Law. Hingga Minggu, (16/08) tujuh orang belum dibebaskan.
Sekitar pukul 13.00, Noni, Kiel, dan Mei yang mengikuti aksi menolak Omnibus Law, merasa diikuti oleh beberapa orang tidak dikenal. Untuk menyiasatinya, mereka memutuskan untuk naik transjakarta arah Semanggi dari Jakarta Convention Center (JCC), Senayan. Noni menceritakan, mereka sempat bolak-balik dari semanggi ke JCC, namun masih diikuti. Akhirnya mereka naik transjakarta yang menuju ke halte Slipi. ‘’Pas di Slipi kita kena tangkap,’’ ucap Noni.
Begitu turun dari jembatan penyembarangan, mereka dihadang oleh aparat kepolisian. Saat ditanyai mengenai tujuan kedatangannya, Mei mengaku tertarik untuk ikut demonstrasi ini agar bisa menemukan bahan skripsi. Sementara Noni dan Kiel hanya mengaku mau mengikuti demonstrasi. Tidak hanya ditanya-tanya layaknya interogasi, aparat yang menghadang mereka memaksa untuk menggeledah ponsel dan tas. Selanjutnya mereka ditarik ke bawah jembatan Slipi. ‘’Di sana banyak polisi dan makin ditanyai,’’ ujar Mei saat ditanyai mengenai kronologi penangkapannya.
Selanjutnya, Mei dan Noni diangkut dengan mobil terpisah dengan Kiel. Mereka dibawa ke lapangan tembak, Senayan. Selanjutnya, ungkap Kiel, mereka disuruh kumpul dan duduk. Setelah itu, baru akhirnya ketiga orang tersebut dibawa ke Polda, kemudian dikumpulkan di sebuah aula bersama ratusan orang lainnya. ‘’Di dalam ditelantarin aja, sampai jam 8 malam,” ujar Kiel.
Kiel merasa seharusnya ia tidak ditangkap dan di bawa ke Polda. Sebab, polisi tidak memiliki alasan tepat untuk asal menangkap mereka.
Hal serupa tidak hanya dialami oleh Kiel, Noni, dan Mei. Menurut pers rilis Tim advokasi Aksi Jegal Omnibus Law, terdapat 188 orang demonstran yang ditangkap dan 186 yang dibawa ke Polda sejak 14 Agustus 2020. Aparat kepolisian menangkapi sebagian besar demonstran sebelum memasuki barisan aksi, bahkan di tempat transportasi umum. Menyikapi hal tersebut, tim Advokasi Aksi Jegal Omnibus Law menuntut agar polisi menghentikan tindak sewenang-wenang terhadap orang yang ingin menyatakan pendapat, sekaligus pembebasan mereka. Selain itu, Aliansi ini menuntut pembatalan pembahasan Omnibus Law.
Pada Sabtu 15 Agustus 2020, KABID HUMAS POLDA METRO JAYA, KOMBES Yusri Yunus menyebutkan bahwa 7 orang, sejak 14 Agustus 2020, belum dibebaskan dari 186 orang yang ditangkap saat razia. Menurut Yusri, 5 orang diantaranya merupakan bagian dari kelompok anarko. ‘’Memang ada perencanaan. Kami menemukan botol kosong yang akan diisi untuk bom,’’ ucap Yusri. Konfrensi pers ditutup dengan mengumumkan telah berhasil menangkap orang lapangan anarko.
Menyikapi pernyataan tersebut, Nelson Simamora, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang tergabung dalam Tim Advokasi Aksi Jegal Omnibus Law, menyebutkan penangkapan massa aksi oleh kepolisian tidaklah memiliki alasan pidana yang jelas. Nelson menyebutkan polisi telah berjanji jika massa aksi akan dilepas jika massa telah membubarkan diri. Namun, Nelson mengatakan, janji tersebut tidak ditepati. Nelson juga menambahkan bahwa tindakan polisi cenderung menjadikan kelompok anarko sebagai kambing hitam. ‘’Tindak pidana yang dituduhkan belum terjadi,’’ ucapnya.
Sejalan dengan itu, Yoshua Octavian, koordinasi penanganan kasus LBH Masyarakat, menegaskan bahwa barang bukti yang disajikan dalam konfrensi pers tidak berhubungan dengan tindak pidana. Ia mencontohkan pihak kepolisian yang menjadikan jaket atau kain bendera sebagai barang yang tidak ada hubungannya dengan tindak pidana.
Penulis : Faisal Bahri
Editor : Uly Mega