Rakyat harus berpartisipasi dalam rangka menuntut hak atas kota, sebagai cara menghidupi ruang tersebut.
Sepanjang pertengahan tahun 2020 hingga saat ini, pemerintah Indonesia disibukkan dengan rencana pemulihan ekonomi negara akibat pandemi Covid-19. Di waktu yang sama, pembatasan mobilisasi sosial juga diterapkan guna memutus rantai penyebaran virus yang tak kunjung usai. Masyarakat pun dihadapi dilema; tetap bekerja demi menyambung hidup, namun terjadi penyempitan akses pekerjaan.
Sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan, serta dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, masyarakat kota tentu sangat merasakan dilema tersebut. Meski di tahun 2021 pemerintah telah memberikan sedikit kelonggaran mobilisasi sosial dan dibukanya pusat-pusat perbelanjaan, namun hal ini diikuti dengan naiknya harga sembako. Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat pun belum sepenuhnya pulih.
Contohnya seperti di Jakarta. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah orang miskin di Jakarta telah mencapai 502 ribu jiwa atau 4,72% dari total penduduk Ibu Kota pada Maret 2021. Sebelumnya, jumlah orang miskin di Jakarta mencapai 4,53% pada Maret 2020. Angka ini pun merupakan yang paling tinggi dalam 20 tahun terakhir.
Terlepas dari gempuran virus sejak 2020 lalu, kota memang tercipta untuk melahirkan kemiskinan. Sentralisasi ekonomi yang terjadi di kota, dirancang sejak zaman kolonial hingga saat ini. Arus migrasi ke Jakarta bahkan sudah berlangsung sejak 1920-an. Hal ini disebabkan oleh tekanan penduduk atas tanah dan menurunnya kesempatan kerja di pedesaan.
Kota, dengan mitosnya menawarkan kesejahteraan, membuat urbanisasi tak terelakkan. Mulanya, proletarisasi dan pemisahan kaum tani dari alat produksinya terjadi di desa. Perubahan kawasan pertanian menjadi industri yang ditandai dengan pembangunan pabrik secara massif, memaksa masyarakat desa bertaruh nasib ke kota.
Namun, di samping mitos tersebut, kota juga menimbulkan jurang kesenjangan yang begitu dalam. Hanya ada tiga pilihan bagi masyarakat perkotaan yang tak memiliki basis ekonomi kuat; menjual tenaganya dengan harga murah, bekerja di sektor informal dengan pendapatan tak menentu, atau menjadi pengangguran.
Maka, kota tak bisa lagi didefinisikan hanya sebagai hamparan bangunan-bangunan atau pusat perekonomian negara semata. Lebih dari itu, kota merupakan produk sosial yang di dalamnya terdapat berbagai kepentingan yang saling tarik menarik.
Baca Juga: Dari Kenari ke Luwak: Balada Toko Kopi Tengah Kota
Kota sebagai Produk Sosial
Bagi kapitalisme modern, kota adalah locus of production. Bagaimana pun, produksi kapital dikondisikan untuk terus berjalan dengan mempertahankan hubungan yang kapitalistik, yakni relasi yang timpang antara pemilik modal dengan pekerja. Di sisi lain, hal ini menciptakan semangat untuk merubah kota menjadi ruang bersama (common space) oleh berbagai elemen masyarakat kota yang terpinggirkan. Kota, sebagai suatu ruang, menjadi arena pertarungan yang tidak akan pernah selesai diperebutkan.
Dalam perebutan ruang tersebut, segala pihak yang berkepentingan akan melakukan dominasi untuk menciptakan atau mempertahankan konstruksi atas ruang tersebut. Dalam hal ini, Henri Lefebvre, seorang sosiolog Marxis asal Prancis menyebutnya dengan produksi ruang sosial, yakni basis ideologis dalam reproduksi pengetahuan mengenai ruang.

Untuk mempertahankan hubungan yang kapitalistik tersebut, Lefebvre menyebut konstruksi atas ruang harus diselaraskan dengan kepentingan kapital lewat produksi pengetahuan. Melalui institusi pendidikan dan keluarga, misalnya, kota didefinisikan hanya sebagai objek yang netral, tanpa melihat konteks sejarah perkembangan sosial di dalamnya. Maka, tak heran jika masyarakat menganggap penggusuran, kriminalitas, dan kemiskinan adalah hal yang biasa terjadi di kota.
Lefebvre mengatakan, konsekuensi logis dari tekanan-tekanan yang muncul dari upaya-upaya memiliki, menggunakan, dan merasakan dengan cara-cara hegemonik atas suatu ruang yang dihuni oleh suatu masyarakat, adalah perlawanan dari masyarakat tersebut.
Tak heran apabila muncul perlawanan-perlawanan di kota dari rakyat yang tertindas. Bentuk-bentuk perlawanannya pun beragam. Pada Agustus lalu, masyarakat mengkritik pemerintahan Jokowi-Ma’ruf lewat seni mural yang terpampang di tembok kota. Bermula ketika mural yang menggambarkan wajah mirip Jokowi dengan tulisan “404: Not Found” di Batuceper, Kota Tangerang ramai diperbincangkan. Pasalnya, tanpa penjelasan tentang apa yang salah dari mural tersebut, aparat kepolisian pun memburu si pembuat mural, serta menghapus gambar-gambar tersebut.
Kasus tersebut tak dapat lagi dimaknai sebagai kritik belaka, namun sebagai pemaknaan dari si pembuat mural atas ruang hidupnya. Sebab, manusia memiliki ikatan yang kuat dalam relasinya dengan sesama manusia, lingkungan atau suatu tempat. Manusia lah yang memberikan makna di dalam relasi tersebut. Maka, sebuah tempat dapat menggambarkan identitas yang melekat pada individu atau kelompok tertentu yang pernah, atau sedang hidup di dalamnya.
Dengan kata lain, estetika yang direkonstruksi oleh perancang pembangunan kota, telah dimaknai ulang oleh si pembuat mural yang mewakili kaum tertindas.
Sebagaimana pemahaman umum, kota digambarkan sebagai ruang yang di dalamnya terdapat bangunan-bangunan megah, disusun dan ditata sedemikian rupa sehingga terlihat rapi dan terstruktur. Aksi-aksi yang dianggap sebagai tindakan “merusak”, seperti vandalisme, adalah suatu kejahatan terhadap pembangunan kota. Hal ini dibuktikan dengan adanya KUHP Pasal 489 ayat (1) Pasal 406 ayat (1) yang memuat sanksi atas aksi vandalisme dan pengrusakan fasilitas umum.
Sejak tingkat sekolah dasar pun, anak-anak didisiplinkan bahwa tindakan vandalisme merupakan tindakan tak bermoral. Peraturan dan penyebaran pengetahuan melalui institusi pendidikan tersebut dapat diartikan sebagai simbol, kode, dan bahasa pemerintah untuk mendefinisikan kota.
Namun, berdasarkan pengalaman ketertindasan dan kontradiksi yang ditangkap secara indrawi oleh kaum tertindas, kota pun direpresentasikan sebagai medium menyampaikan kritik dalam bentuk mural.
Berdasarkan hal tersebut, kasus ini dapat diartikan sebagai tindakan sosial (social action) yang membentuk berkontribusi pada produksi ruang. Tindakan sosial pada akhirnya memberikan makna terhadap ruang yang dikonsepsikan oleh pihak-pihak yang menghidupi ruang tersebut.
Merebut Hak atas Kota
Mural bermuatan politis, seperti yang terjadi Agustus lalu, tak lagi dapat diartikan hanya sebatas ekspresi ketertindasan belaka. Lebih dari itu, hal ini harus diartikan sebagai bentuk kaum tertindas dalam merebut hak atas kota.
Saat ini, konsep hak atas kota masih menjadi perbincangan dalam kerangka legal-formal. Pembentukan piagam maupun perjanjian, seperti Piagam Dunia tentang Hak atas Kota yang dibentuk sejak 2001 oleh Forum Sosial Dunia Pertama, sejatinya belum menyentuh ke pemahaman kelompok marjinal kota. Pekerja sektor informal tidak pernah tahu akan adanya piagam tersebut. Di sisi lain, permasalahan-permasalahan, seperti pemukiman, pelayanan publik, keamanan, dan diskriminasi gender di kota pun masih terus meningkat.
Memperjuangkan hak atas kota dengan cara-cara diplomatis melalui kerangka legal-formal, apalagi sebatas piagam, nyatanya merupakan metode yang sudah usang. Sebab, seperangkat aturan dan perjanjian mengenai hak asasi manusia secara umum, dan hak atas kota secara khusus, memang sudah ada sebelumnya.
Bagaimanapun, keberpihakan pemerintah sudah sangat jelas. Para pemilik modal seakan diberi karpet merah olehnya. Pembangunan perkotaan disesuaikan dengan semangat neoliberalisme, seperti komersialisasi, privatisasi, monopoli, dan eksploitasi kelas pekerja di kota.
Maka dari itu, pembangunan kota mesti melibatkan rakyat sebagai subjek aktif dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar hidup mereka di kota. Sebab, rakyat itu sendiri yang merasakan ketertindasannya. Sebagaimana Lefebvre katakan, rakyat harus berpartisipasi dalam rangka menuntut hak atas kota, sebagai cara menghidupi ruang tersebut. Tak hanya menuntut kehidupan yang layak, Lefebvre juga menyebut rakyat harus turut andil dalam perancangan pembangunan kota. Perjuangan merebut hak atas kota pun mesti melalui gerakan sosial dan pengorganisiran akar rumput.
Sebagaimana neoliberalisme telah menjadi paradigma dominan dalam pembangunan perkotaan di seluruh dunia, rakyat pun harus membentuk wacana tandingan kuat dalam rangka melawan dominasi tersebut. Perkawinan antara negara dengan pemodal yang mengkonsepsikan kota sedemikian rupa, harus direpresentasikan oleh rakyat melalui kesadaran yang muncul secara organik, kemudian dimanifestasikan secara nyata. Sebab, kaum tertindas merupakan anak zaman yang lahir dari rahim ketertindasan.
Penulis: Hastomo Dwi Putra
Editor: Asbabur Riyasy
*Tulisan ini telah diterbitkan di Majalah Aspirasi edisi ke-94 dalam rubrik Opini.