Sabtu (29/2), pelataran PT. Alpen Food Industry (PT. AFI) produsen es krim Aice nampak ramai. Terlihat sebuah tenda semi permanen berdiri dengan beberapa bambu. Di bawah tenda tersebut beberapa kumpulan perempuan muda terlihat bersenda gurau, diluar tenda juga ada puluhan pria muda sedang bercengkrama atau sekadar mengobrol. Mereka adalah anggota serikat pekerja di PT AFI yang sedang melakukan mogok kerja.
Terhitung sejak Jumat (21/2), Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) melakukan aksi mogok kerja di depan pabrik PT. AFI tempat mereka bekerja. Pada 2014-2016 PT. AFI menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha (KBLI) 1520 yakni memproduksi makanan terbuat dari susu. Lalu pada tahun 2017 pihak PT. AFI mengubah KBLI es krim, terdapat penurunan upah yang tadinya upah sektor II menjadi Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Bekasi. Kalau dihitung dengan menggunakan UMK 2019 pekerja kehilangan upah sebesar Rp. 280 ribu.
“Awal 2018 kita menuntut upah yang turun karena perusahaan mengubah upah sektor 2 KBLI 1520 atau makanan terbuat dari susu ke KBLI es krim dan menjadi UMK. Terkait permasalahan kesehatan khususnya ibu hamil juga kita angkat, karena makin banyaknya kasus keguguran” jelas Fajar sebagai Pengurus SGBBI juga seorang pekerja di bagian porter di PT. AFI.
Menurut Fajar PT AFI sejak awal berdiri pada tahun 2014 tidak mempunyai struktur dan skala upah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.1 tahun 2017. Dalam peraturan menteri tenaga kerja itu dimaksud, sebuah perusahaan dapat menghitung upah seorang pekerja berdasarkan sistem jenjang karir dan kompensasi yang transparan, agar hubungan antara perusahaan dan pekerja harmonis. Bagi Fajar masalah PT AFI yang tidak mempunyai struktur dan skala upah adalah diskriminasi terkait permasalahan upah bagi pekerja.
Sebagai jalan keluar terkait penurunan upah tersebut, pihak serikat pekerja menawarkan formulasi skala upah yang dimana formula yang baru ini harus ada selisih UMK, selisih upah pokok lama dikurangi selisih upah pokok baru yang terdiri dari golongan, pendidikan, masa kerja, penilaian karya dan kompetensi yang tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker). Namun perusahaan hanya menyetujui 3 poin yaitu levelling (golongan dan jabatan), masa kerja dan pendidikan setara S1.
Serikat pekerja menekankan adanya penilaian presensi tahun berjalan untuk meningkatkan produktivitas kerja. Menurut serikat pekerja perbedaan upah harus ada penilaian seberapa sering ia masuk kerja dengan yang tidak. Pekerja menginginkan kenaikan upah apabila seorang pekerja pada tahun lalu tingkat presensi masuk kerjanya baik. Sedangkan, pihak PT. AFI memberikan upah lebih banyak kepada jabatan. Akhirnya, pekerja merasa didiskriminasi terkait masalah upah. “PT. AFI ini membedakan upah hanya kepada jabatan. Sedangkan tingkat presensi tidak. Akhirnya, banyak pekerja yang menindas pekerja lain”, terangnya.
Serikat pekerja dan pihak perusahaan sudah melalui 5 kali perundingan permasalahan gaji yang dimulai dari November 2019. Sebagai timbal balik pekerja yang merasa sudah diajak bicara bipartit (perundingan dua pihak) dengan pihak perusahaan maka pekerja akan kembali masuk kerja pada tanggal 23 Januari 2020. Namun, saat pekerja sudah memenuhi timbal balik ke perusahaan tersebut, ternyata banyak pekerja yang mendapatkan tindakan balasan perusahaan seperti Surat Peringatan (SP), skorsing, sampai pemotongan gaji.
Padahal serikat pekerja membenarkan mogok kerja yang mereka lakukan adalah mogok kerja yang sah. Karena gagalnya perundingan dan sudah lewat 30 hari juga tidak ada itikad baik perusahaan. “Serikat pekerja sudah ada risalah pemogokan dan sudah memberitahu Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) akan melakukan mogok kerja kembali,” ucapnya.
Pekerja Telah Mogok Kerja Sejak 2017
Sejak 2017 serikat pekerja melakukan pemogokan. Pemogokan ini didasari atas perubahan upah dan kondisi kerja di PT. AFI. Menanggapi mogok kerja, perusahaan memberikan “uang bonus” kepada pekerja yang tidak melakukan mogok kerja. Padahal, pihak serikat pekerja yang melakukan mogok kerja hanya menuntut haknya kembali. Hasilnya SGBBI yang merasa didiskriminasi oleh perusahaan melakukan perundingan, dan perusahaan berjanji akan memberikan “uang bonus” juga kepada anggota serikat pekerja yang melakukan mogok kerja.
Dalam setahun terhitung dimulai dari awal 2018, serikat pekerja menuntut hak yang sama untuk mendapatkan ‘uang bonus’. Lalu, terjadilah perundingan pada 4 Januari 2019 pihak perusahaan setuju dengan menjanjikan akan memberikan ‘uang bonus’ yang sama kepada anggota serikat pekerja yang melakukan mogok.
Namun, perusahaan berujar tidak dapat memberikan ‘uang bonus’ sebesar 600 juta ke pihak anggota serikat pekerja pada saat itu, perusahaan berdalih sedang dalam masa ekonomi sedang turun. Tetapi pihak perusahaan akan memberikan ‘uang bonus’ kepada anggota serikat pekerja yang mogok dengan catatan perusahaan akan memberikan ‘uang bonus’ secara menyicil 300 juta dan selanjutnya 25 juta hingga Desember 2019.
Kendati demikian, saat anggota serikat pekerja ingin mengambil ‘uang bonus’ pihak bank mengatakan cek yang diberi perusahaan ke pihak anggota serikat pekerja adalah cek kosong. “Kami merasa ditipu oleh pihak perusahaan dan kami tidak akan diam, kami mempunyai bukti-bukti. Kami akan membawa permasalahaan ini ke pihak berwajib. Karena ada unsur kesengajaan, dan penipuan”, tegasnya.
Permasalahan lain yang juga terjadi di PT. AFI adalah adanya pekerja perempuan hamil yang dipekerjakan di malam hari. Hal ini dibenarkan oleh salah satu pekerja perempuan yang sedang hamil Siti Fatimah. Perut yang membesar mengisyaratkan janin yang dikandungnya sudah memasuki usia kehamilan trimester ketiga.
Ia membenarkan bahwa PT. AFI masih mempekerjakan ibu hamil pada shift 3, yaitu dari jam 23:00 sampai 07:00. Dengan waktu kerja yang memberatkan ibu hamil juga beban kerja berat dan tidak pasti. Ini menimbulkan bahaya kepada ibu hamil dan janin yang dikandungnya. “Ibu disana (sambil menunjuk) karena ngangkat plastik kemasan yang beratnya 9-12 kilogram per 1 plastiknya, dan bisa mengangkat kemasan plastik sampai 10 kali atau kadang lebih dalam sehari, pernah keguguran sampai dua kali,” lanjutnya sambil menunjuk seorang.
Seorang ibu hamil ternyata susah mendapatkan izin untuk non-shift. Dengan dalih perusahaan apabila ibu hamil tidak menunjukan masalah kesehatan serius maka tetap dipekerjakan seperti biasa ini, akhirnya ibu hamil susah mendapatkan izin non-shift. “Nah karena itu banyak kasus kan gangguan pada ibu hamil, ada yang sampe keguguran.” Ia menjelaskan susahnya mendapat surat non-shift untuk ibu hamil.
Rabu (26/2), Muhammad Rikhza Mukhlisin datang dengan setumpuk dokumen, dan berwajah lesu. Istrinya, Susmita Dewi, masuk kerja pada shift 3. Istrinya mengalami flek saat ia masuk kerja shift 3. Untuk diketahui usia kandungan sang istri menginjak umur kandungan 29 minggu. Keesokan harinya, mereka memeriksakan janin yang semalam mengalami flek. “Saat saya bilang istri saya kerja shift 3 dokter pun terkejut bagaimana usia kandungan sebesar itu perusahaan masih tetap mempekerjakan ibu hamil pada malam hari,” kenangnya sedih.
Menurut juru bicara Federasi Serikat Pekerja Demokratik (F-SEDAR) yang menaungi SGBBI PT AFI, Sarinah menjelaskan sebenarnya permasalahan ibu hamil yang dipekerjakan malam hari dengan jenis pekerjaan berat sudah menyalahi aturan. Aturan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Ketenagakerjaan sudah melarang pekerja perempuan hamil mendapatkan jenis pekerjaan berat dan bekerja pada malam hari. Banyak keadaan yang tidak ideal dengan ibu hamil namun tetap dipaksakan.
Catatan serikat pekerja terdapat 18 kasus keguguran sepanjang 2019, 3 kasus sepanjang Januari-Februari 2020. Dengan total 15 kasus keguguran dan 6 kematian bayi baru lahir. Ia menilai selain perusahaan berusaha mengangkangi peraturan terkait masalah ibu hamil, PT. AFI juga mewajibkan buruh hamil yang ingin mengambil cuti melahirkan diharuskan menulis surat pernyataan di atas materai. Isinya, bila si ibu hamil ini mengalami gangguan kesehatan kepada janinnya tidak akan menuntut ke perusahaan.
Ia berpikir bahwa perusahaan menghindari tuntutan hukum apabila disuatu saat nanti janin yang dilahirkan terdapat cacat atau meninggal tidak akan menuntut balik ke perusahaan. Dengan mekanisme rumit dan tidak jelas soal cuti, buruh akhirnya tetap memaksakan masuk kerja.
Sebagai diketahui, mengurus surat keterangan dokter (SKD) di PT. AFI berbelit-belit. Pihak perusahaan bekerja sama dengan salah satu rumah sakit, dan pekerja diharuskan mengurus kesehatan disana. Apabila pekerja mengurus kesehatan di rumah sakit lain pihak perusahaan tidak menganggap hal itu. Perusahaan berdalih sudah menunjuk fasilitas kesehatan (faskes) dan tidak menerima faskes selain dari yang sudah ditunjuk perusahaan. Selain itu BPJS Ketenagakerjaan pun tidak ter-cover apabila seorang pekerja berobat ke faskes selain yang sudah ditunjuk oleh perusahaan.
Tidak berhenti di situ, apabila seorang pekerja sakit dan sudah mendapat surat keterangan dokter, si pekerja tersebut juga susah untuk mengurusnya. Seorang pekerja harus meminta tanda tangan leader group, leader, supervisor, manajer lalu baru ke Human Resoursces Devolepment (HRD) agar surat keterangan sakitnya disetujui. “Istirahat kita hanya sejam, dan disuruh minta tanda tangan berbelit, itu juga kalo langsung dapat tanda tangan, kalo tidak bagaimana? Makanya banyak yang malas urus surat izin sakit,” tambahnya.
Pada Kamis (5/3) terdapat 594 pekerja tetap, 3 pekerja alih daya, dan 22 pekerja kontrak yang tergabung dalam SGBBI di PHK perusahaan. Di surat pemecatan yang beredar, perusahaan berdalih bahwa pemecatan itu karena mogok kerja yang dilakukan pekerja adalah mogok kerja yang tidak sah, dan dari pihak perusahaan sudah ada pemanggilan untuk masuk kerja. Padahal menurut serikat pekerja, proses hukum di kepolisian dan Disnaker masih berlangsung. “kami melakukan mogok kerja sah, dan beberapa bukti dokumen terkait risalah perundingan dan pemogokan kami semua siap, kami akan buka semua” tegasnya.
Penulis/Reporter: Misael Evan F.
Editor: Uly Mega S.