Media sosial akhir-akhir ini, dibanjiri pernyataan “ekspektasi vs realitas”. Banyak orang mengunggah video dengan keterangan tersebut. Video-video tersebut memberikan pesan kepada penonton: apa yang diharapkan, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan. Meskipun kebanyakan bergenre komedi-romantis, setidaknya mampu memberikan pesan yang relevan dengan kontekstual saat ini.
Maksudnya, relevan dengan segala aspek kehidupan sekarang, seperti pendidikan. Menurut Driyarkara, pendidikan ialah suatu proses memanusiakan manusia. Pernyataan dari tokoh tersebut terasa indah dan menentramkan. Merupakan pula suatu pengharapan atau ekspektasi mereka (dan masyarakat) terhadap pendidikan. Atau bahkan terasa utopis, terutama jika disandingkan dengan realitas saat ini?
Belajar dari pernyataan Immanuel Kant, “pengalaman tanpa teori adalah buta. Namun teori tanpa pengalaman hanya permainan kata-kata belaka”. Pengalaman yang dimaksud Kant ialah suatu praksis. Dilihat dari realitas, teori atau landasan pendidikan seolah hanya permainan kata-kata yang berujung kepada utopisme. Tiada praksis, yang ada hanya teori.
Pendidikan ialah proses memanusiakan manusia atau humansasi. Namun, jika dilihat realitasnya, pendidikan yang tadinya digunakan untuk humanisasi justru malah sebaliknya, dehumanisasi. Dehumanisasi yang seperti apa? Pada praktiknya, dengan metode ceramah yang digunakan pendidik, siswa dituntut untuk menghafal materi pelajaran. Untuk tes tentunya.
Mereka harus menelannya mentah-mentah, tanpa harus mengkritisinya. Jurang pendidikan dan drusser terasa dangkal. Padahal drusser merupakan metode pelatihan untuk hewan, bukan mendidik. Maka dari itu, hewan hanya mampu mengerjakan sesuatu yang bersifat statis, seperti duduk, berdiri, dan buang air. Terasa sama saja dengan pendidikan hari ini: menghafal materi kemudian tes; menghafal kemudian tes, dan terus berlanjut seperti itu.
Einstein bahkan mengkritik sistim pendidikan. Kutipannya yang terkenal ialah “setiap orang itu jenius, tetapi jika anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan percaya seumur hidupnya bahwa ia itu bodoh”. Tes dan peringkat kelas, menjadi acuan keberhasilan seseorang di pendidikan. Semua orang yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, harus menyelesaikan masalah yang seragam. Tentu saja hanya orang-orang tertentu yang mampu berkompetesi dengan baik. Orang yang memang memiliki kecerdasan di bidang yang ‘kebetulan’ diangkat permasalahannya dalam ujian.
Selanjutnya, Freire mengonsepsikan pendidikan konvensional sebagai kegiatan menabung. Ia menyebutnya “gaya bank”. Pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung. Pendidik mendepositokan ilmu dan pengetahuannya kepada murid-muridnya yang berperan sebagai bank. Di sini, pendidik berperan sebagai pendongeng dan murid-murid menghafal apa yang diceritakan.
Freire juga menjelaskan betapa lebih buruknya jika murid-murid dikonsepsikan sebagai bejana-bejana kosong. Semakin penuh pendidik mengisi bejana, semakin baik pula seorang pendidik. Semakin patuh bejana untuk diisi, semakin baik pula murid-murid. Begitulah stereotipe yang ada di zaman Freire hidup sekitar tahun 1970-an, bahkan sekarang pun masih begitu.
Apa yang dinyatakan Freire ternyata masih relevan dengan kontekstual saat ini. Buktinya, kegiatan pendidikan dengan konsep gaya bank masih terus berjalan sampai sekarang. Di sekolah, murid-murid diminta untuk menghafal rumus-rumus eksak. Tak perlu mengetahui bagaimana proses mendapatkan rumus tersebut. Hafalakan saja!, seperti alternatif dari proses pembelajaran.
Hal seperti itu berdampak pada murid-murid, mereka cenderung tidak menghargai proses untuk mendapatkan pengetahuan. Sebab sudah disuapi oleh pendidik mereka dan cenderung berpikiran instan. Mengapa harus dicari lagi, ‘kan sudah ada? Pertanyaan seperti itu sering terlontar dari murid-murid sekarang ini.
Manusia tidak sendirinya bersifat manusia setelah lahir. Meminjam pernyataan Bukik Setiawan bahwa “anak bukan kertas kosong.” Pernyataan Bukik tersebut memiliki inti yang sama dengan bejana-bejana yang dianalogikan oleh Freire. Ibaratkan manusia seperti benih jagung tidak mungkin tumbuh menjadi padi, begitu pula sebaliknya. Maka dari itu, pendidikan diharapkan mampu berperan dalam memanusiakan. Arti memanusiakan menurut Driyarkara ialah manusia semestinya mengangkat dirinya sesuai dengan kodratnya. Maka dari itu, pendidikan pun sudah seharusnya tidak ada ‘kepentingan perorangan’. Sebab dikhawatirkan adanya ‘penindasan’ terhadap seseorang demi kepentingan ‘penindas’.
Freire membuat metode “hadap-masalah”––sebagai solusi dari permasalahan––dalam proses pembelajaran menggantikan metode “gaya bank”. Dalam metode hadap-masalah, pendidik dan peserta didik sama-sama berposisi sebagai subjek. Pendidik belajar dari peserta didik, dan peserta didik belajar dari pendidik. Sehingga pendidik dan peserta didik mampu berkembang bersama-sama. Meskipun Freire mengkhususkan metode tersebut untuk pendidikan orang dewasa, metode tersebut sebetulnya sangat baik jika diterapkan untuk semua kalangan. Satu hal yang pasti bahwa tujuan pendidikan adalah mempertajam otak dan memperhalus perasaan.
Lutfia Harizuandini