Beberapa tahun terakhir politik populisme Islam sedang ramai diperbincangkan. Bermula dari pernyataan kontroverial Ahok perihal surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulaan Seribu pada 2016 silam. Hal tersebut menimbulkan respon tidak terima dari umat Islam, ditandai dengan aksi bela Islam pada bulan Oktober yang menuntut Ahok ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penistaan agama. Aksi tersebut berlanjut. Pada 4 November, digelar aksi jilid kedua yang dikenal dengan Gerakan 411 di depan Monumen Nasional (Monas).
Aksi Bela Islam masih terus berlanjut, pada 2 Desember atau yang lebih dikenal dengan Gerakan 212, massa yang datang lebih banyak ketimbang dua aksi sebelumnya. Aksi itu pun masih membawa tuntutan yang sama. Bahkan aksi tersebut terus berlanjut dalam bentuk Reuni 212 yang digelar pada 2017, 2018, hingga yang terakhir Desember 2019. Padahal setelah aksi 411 tepatnya 16 November. Ahok telah ditetapkan sebagai tersangka, namun mengapa aksi terus berlanjut dengan tuntutan yang sama hingga menjadi ajang reuni berkelanjutan?
Vedi Hadiz yang merupakan penulis buku Populisme Islam memandang apabila populisme Islam dikaitkan dengan aksi bela Islam, maka tidak diragukan ratusan ribu orang yang turun ke jalan tempo hari dimotivasi oleh amarah yang mendalam terhadap pernyataan kontroversial yang di keluarkan oleh Ahok. Ini alasan utama walau tidak bisa dilupakan juga, aksi bela Islam tetap di arahkan kepada kepentingan beberapa elite politik dan kekuatan oligarki. Ditambah aksi tersebut digelar berdekatan dengan pemilihan Gubernur Jakarta yang baru.
Fenomena di ataslah yang coba dibedah Vedi lewat bukunya dengan membandingkan Gerakan Populisme Islam dari tiga negara Turki, Mesir, dan Indonesia. Menurutnya tiga negara tersebut merupakan negara dengan populisme Islam terbanyak. Sehingga politik populis bisa tumbuh subur. Tidak seperti Turki dan Mesir yang lebih berhasil dalam menerapkan politik populis. Turki dengan Partai Keadilan Dan Pembangunan (AKP) berhasil menaikan Erdogan sebagai presiden dengan mengalahkan kaum Kemalis yang sekuler. Mesir pun sama Ikhwanul Muslimin sebagai organ pergerakan Islam berhasil menjadi kekuatan oposisi militan. Terlebih setelah berhasilnya Ikhwanul Muslimin memenangkan 20 persen kursi di parlemen yang membuat Husni Mubarok melakukan reformasi dalam bidang hukum untuk memberantas pergerakan golongan tersebut. Indonesia menurut Vedi, belum mampu menyaingi keduanya. Sebab ketika Orde Baru berkuasa gerakan umat Islam dilemahkan, karena ditakutkan gerakan Islam melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sedang berkuasa.
Bagi Vedi, Indonesia mengambil bentuk yang berbeda dalam mengembangkan politik populisme Islam. Salah satunya, para aktivis Islam mencoba gerakan bawah tanah guna membentuk kader partai Islam yang militan. Hasilnya terlihat pasca Orde Baru lahir beberapa partai bernafaskan islam yang mencoba bertarung lewat politik elektoral. Terlepas dari Demokrasi Indonesia yang disebutnya sebagai ‘demokrasi uang’, tetap saja Populisme Islam tetap bisa menjadi suatu harapan untuk memajukan Umat.
Politik populisme Islam didefinisikan sebagai gerakan politik berbasis massa dengan menyuarakan kepentingan umat untuk melawan penguasa yang dzalim. Dalam wujud barunya, gerakan tersebut lebih banyak digerakkan untuk kepentingan kaum borjuis yang terpinggirkan dengan menfaatkan suara banyak orang. Jadi Politik Populisme Islam sekarang bukan lagi berkutat pada masalah keagamaan saja tapi juga lebih kepada masalah keduniawiaan. Seperti yang terjadi belakangan dalam aksi 212 yang pada akhirnya menjadi kendaraan politik untuk menggaet massa mendukung salah satu calon presiden dalam pilpres 2019.
“Pada level gagasan, sebuah karya mutakhir memerikan karateristik utama populisme sebagai yang bergantung pada gagasan mengenai ‘masyarakat saleh dan homogen’ yang dihadapkan pada ‘pada sekelompok elite’ dan ‘liyan yang berbahaya’.’’ (hlm.45)
Indonesia mempunyai sejarah panjang perihal politik populisme Islam, dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara dengan mayoritas muslim terbanyak. Pada akhirnya menjadi lahan subur bagi politik populisme Islam. Seperti pada zaman kolonial berdiri Sarekat Islam yang menyuarakan persatuan umat Islam untuk melawan penjajah Belanda, belum lagi Nahdahtul Ulama yang berkonotasi dengan orang-orang dari golongan nasionalis, serta Muhammadiyah yang dianggap gerakan reformis pembaruan Islam. Bermacam corak pergerakan politik Islam yang menyuarakan pentingnya persatuan, tetap saja ada beberapa gerakan yang mencoba membentuk negara Islam yang pada akhirnya mengalami kegagalan. Khususnya di Indonesia, Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) menjadi suatu wujud kegagalan politik populisme Islam. Hal tersebut menjadi pelajaran bagi gerakan politik populisme Islam selanjutnya terlebih pada masa Orde Baru yang otoriter dan menerapkan asas tunggal yang akhirnya mengerdilkan Gerakan Islam. Kenyataannya pada masa tersebut tetap ada partai politik yang Islami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) walau hanya menjadi suatu lampiran sistem politik. Karena PPP dibentuk hanya untuk menghindari mobilisasi umat Islam guna melawan pemerintah.
Umat Islam yang termarjinalkan pada masa orde baru, khususnya golongan borjuis yang diharapkan dapat membantu ternyata merasakan hal yang sama. Hal tersebut karena sebagian besar bisnis dikuasai oleh Soeharto dan kroni-kroninya membuat bisnis para borjuis Islam mengalami kemandekan, serta organisasi yang sebelumnya mendapatkan pasokan dana untuk operasional kebingungan dan juga mengalami kemunduran.
Politik populisme Islam akhirnya tidak membatasi gerakannya pada benteng pertahanan pedesaan dan jalur elektìoral lebih jauh lagi, juga masuk kedalam sekolah-sekolah formal serta universitas. Khususnya di universitas gerakan tersebut mengalami kemajuan pesat. Akibat cara kerja sistem Usroh atau keluarga dalam Bahasa Arab. Sistem tersebut diterpakan selama periode Orde Baru yang otoriter, di mana senior di universitas mendisiplinkan junior melalui penanaman ajaran Islam. Dengan cara tersebut akhirnya tertanam kepatuhan dan kesetiaan terhadap pemimipin gerakan Islam yang sedang tumbuh.
“Mungkin berguna membuat ilustrasi untuk sosialisasi tersebut dengan sekilas mengacu pada cara kerja sistem yang disebut usroh, yang diberlakukan selama periode Orde Baru yang otoriter di Indonesia.” (hlm.72)
Sistem tersebut berguna bagi pergerakan politik populisme Islam kedepannya. Seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) yang dengan mudah mendapatkan ruang untuk rekuitmen organisasi tersebut. KAMMI juga terkait dekat dengan Partai Keadilan Sosial (PKS) salah satu partai Islam paling berhasil pasca orde baru, dan merupakan komponen gerakan mahasiswa yang aktif dalam demonstrasi anti-Soeharto 1998.
Di akhir pemerintahannya Soeharto sempat membentuk suatu organisasi Islam bernama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia yang (ICMI) dibiyai sepenuhnya oleh Soeharto. Awalnya organisasi ini diharapkan dapat memajukan posisi politik dan sosial ekonomi umat Islam. Namun, hanya menjadi pengumpul massa guna mendukung Golkar ketika pemilu.
Pasca tumbangnya Orde Baru, politik populis Islam seakan mendapat angin segar untuk lebih berkembang. Ditandai dengan lahirnya beberapa partai politik bernafaskan Islam. Seperti Partai Kesatuan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sosial (PKS) yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK).
Namun diantara partai-partai Islam yang baru saja lahir. PKB merupakan yang paling mencolok. PKB sebagai kendaraan politik warga NU, di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid berhasil menaikannya menjadi presiden 1999-2001. meski relatif singkat Gusdur sapaan akrabnya, berhasil menempatkan sekutu-kutu kunci NU pada posisi puncak lembaga dan perusahaan milik negara. Pasca berhasilnya PKB menaikkan Gus Dur sebagai presiden, hingga saat ini belum ada satupun partai Islam yang berhasil mendapatkan pencapain seperti itu.
Akhir-akhir ini banyak orang yang beranggapan bahwa politik populisme Islam sedang mengalami kemajuan, dilihat dari banyaknya aksi Bela Islam. Agaknya hal tersebut kurang tepat karena politik populis seperti aksi bela Islam tidak mengangkat persoalan umat perihal kemiskinan dan kemudahan akses pendidikan dan kesehatan. Justru aksi bela Islam yang diharapkan menjadi motor penggerak politik umat. Dimanfaatkan segelintir orang untuk menyuarakan kepentingannya.
Terlepas dari banyaknya kritik terhadap gerakan politik populisme di Indonesia. Pasca Orde Baru, partai Islam justru tumbuh subur. Begitu juga dengan Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam di luar NU dan Muhammadiyah seperti FPI serta HTI. Meskipun HTI harus dilarang karena dugaan isu terorisme.
Fokus Vedi Hadiz pada konteks historis dan sosiologis pembentuk perkembangan politik Islam. Bukan perilaku politik yang terbentuk akibat budaya atau doktrin Islam. Menjadi kelebihan tersendiri dalam bukunya. Namun Vedi, terlalu luas membahas politik populisme Islam. Sehingga, membingungkan pembaca yang kurang mengetahui perkembangan politik di Mesir dan Turki. Di akhir bukunya, Vedi mengatakan jika saja para pemimpin muslim berfokus pada agenda dan strategi, memajukan umat yang termarjinalkan, bisa jadi politik populisme Islam akan membawa banyak perubahan.
Penulis: Mukhtar Abdullah
Editor: Uly Mega S.