Setiap tahun, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) meluluskan ribuan Sarjana Pendidikan (S.Pd.). Tetapi, untuk mendapatkan sertifikasi guru tidak cukup dengan S.Pd. saja. Mahasiswa diharuskan mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Program PPG diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, tentang Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa program PPG bertujuan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan/non-kependidikan sehingga mendapatkan sertifikasi guru. Sertifikasi guru dikeluarkan oleh Lembaga Penghasil Tenaga Keguruan (LPTK) sebagai tanda bahwa, guru tersebut merupakan guru profesional.
Selain itu, program PPG juga diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 8. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Program PPG sendiri memiliki berbagai macam jenis. Pertama, PPG Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T). Pada PPG SM3T, peserta diwajibkan mengikuti kegiatan SM3T selama 1 tahun. Program PPG ini sudah dibuka di UNJ sejak tahun 2013 dan menghasilkan 6 angkatan.
Kedua, PPG Pra Jabatan. Program PPG Pra Jabatan diperuntukan bagi calon guru lulusan S1, baik kependidikan ataupun non kependidikan. UNJ telah membuka program tersebut sejak 2017. Terakhir, PPG Dalam Jabatan,yang dibuka 2018. Bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sasaran dari program ini adalah guru yang belum mempunyai sertifikasi.
Akan tetapi, program PPG tidak lepas dari berbagai kritik. Salah satunya adalah Risti Sere Utami, Alumni Program Studi (Prodi) Pendidikan Sejarah 2013. Menurutnya, program tersebut tidak perlu untuk lulusan S.Pd. Ia mengatakan, “sepengetahuan saya, yang dipelajari di PPG itu sudah ada di program Sarjana.”
Selain itu, program PPG membuat lulusan sarjana pendidikan sulit mendapatkan pekerjaan. Ia mengaku pernah ditolak oleh beberapa sekolah karena tidak mempunyai sertiikasi guru. Ia juga menambahkan, seharusnya mahasiswa lulusan S.Pd. sudah mendapatkan sertifikasi guru. Selain itu, ia pun mengeluhkan biaya PPG yang besar, “sepengetahuan saya sampai 10 juta,” imbuhnya.
Senada dengan Risti, Gita Adventi, mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi 2017 ini menganggap bahwa program PPG terkesan mubazir bagi mahasiswa yang sudah menempuh kuliah kependidikan. Menurutnya, mahasiswa yang kuliah di prodi pendidikan sudah memiliki bekal yang cukup untuk menjadi guru.
Ia pun mengantakan, “program PPG ini menjadi jalan pintas bagi mahasiswa prodi non-pendidikan yang tidak mendapatkan pekerjaan, bisa menjadi guru hanya dengan mengikuti PPG.”
Kritik terhadap program PPG tidak hanya terlontar dari mahasiswa. Ubedillah Badrun, Dosen Sosiologi menganggap program tersebut adalah permasalahan. Ia berpendapat bahwa program ini mempersulit lulusan S.Pd. Di sisi lain, mempermudah lulusan non kependidikan. “Jika memang program ini harus, maka dikhususkan untuk lulusan S.Pd. saja,” ungkap Ubed.
Selain itu, Ubedillah Badrun menganggap perlu diadakan survei tentang program PPG kepada mahasiswa. Hal itu bertujuan untuk mengevaluasi program PPG.
Berbeda dengan Ubedillah Badrun, Sofia Hartati Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) mengatakan bahwa yang harus dibenahi adalah kualitas S.Pd., agar mampu bersaing dengan lulusan ilmu murni di program PPG. Ia menambahkan, PPG ini merupakan jawaban dari banyaknya keluhan tentang kualitas guru.
Kendati demikian, Sofia Hartati juga menganggap perlu untuk mengevaluasi program PPG, apabila program tersebut tidak berdampak pada perbaikan kualitas guru. Ia juga menyarankan agar program PPG disatukan dengan program sarjana pendidikan. “Jadi, ketika lulus sudah mendapatkan sertifikasi guru,” ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Khaerul Umam Staff Akademik dan Data Pusat Sertifikasi dan Pendidikan Profesi Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) menyatakan bahwa program tersebut diselenggarakan di UNJ berdasarkan Keputusan Menteri Riset, Tekologi dan Pendidikan Tinggi (Kepmenristekdikti) Nomor 280/M/KPT/2017 tentang Perguruan Tinggi Penyelenggara PPG. Dalam keputusan tersebut, UNJ termasuk salah satu penyelenggara program PPG.
Ia juga mengatakan, bahwa saat ini jumlah mahasiswa program PPG didominasi oleh lulusan sarjana kependidikan. Pada program PPG SM3T, seluruh pesertanya berasal dari lulusan sarjana pendidikan. Begitu juga, peserta PPG pra jabatan mayoritas lulusan pendidikan. “Ilmu murni hanya 1% saja,” ucapnya.
Khaerul Umam menambahkan, mahasiswa tidak perlu khawatir dengan biaya pendidikan. Biaya PPG saat ini masih disubsidi oleh pemerintah, sehingga mahasiswa tidak mengeluarkan biaya pendidikan per semester.
Mengomentari pro dan kontra tentang program PPG, ia menganggap hal itu biasa terjadi ketika peluncuruan program baru. “Lama kelamaan juga akan surut ketika banyak peminat dan banyak alumni yang berhasil,” pungkas Khaerul Umam./Qori Hadiansyah
Editor: Uly Mega S.