Oleh: Luqman Abdul Hakim

Skandal Kasus Plagiarisme yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ) memang telah mencoreng nilai-nilai perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang memproduksi pengetahuan serta kebenaran. Plagiarisme adalah sebuah bentuk pengkhianatan terhadap Ilmu Pengetahuan yang sejak zaman modern berlangsung dipercaya sebagai cara manusia rasional mendekati dan memperoleh kebenaran. Namun, permasalahan yang belakangan diangkat oleh media lebih condong memandang bahwa pangkal permasalahan terdapat dalam teknis pelaksanaan kegiatan pendidikan di UNJ yang melibatkan oknum. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Ikatan Alumni UNJ, bahwa kasus plagiarism merupakan tindakan personal dan kasuistik dan bukan bagian dari cermin budaya akademis UNJ.[1] Bagian lain yang diekspose terkait kasus Plagiarisme adalah sosok Rektor UNJ, Djaali, sebagai orang yang bertanggung jawab atas praktik-praktik plagiarisme. Hal ini muncul karena rektor yang sejatinya bertanggung jawab atas bidang akademik, melakukan pembiaran—bahkan sampai titik tertentu melegalkan—praktik memalukan tersebut.[2]

Pernyataan-pernyataan ini tentu tidak memadai jika melihat kenyataan bahwa praktik plagiarisme bukan hanya perkara yang unik dan personal maupun hanya merupakan problem teknis dari salah satu unit Perguruan Tinggi. Seperti yang diakui oleh Ali Ghufron, Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti, bahwa setiap tahun “selalu ada plagiarisme”.[3] Atau silahkan buka laman supriadirustad.blog.dinus.ac.id yang telah menceritakan berbagai pengalaman dan temuannya tentang praktik-praktik plagiarisme di lembaga perguruan tinggi di Indonesia.[4] Landasan ini kiranya cukup bagi kita untuk tidak memandang praktik plagiarism sebagai suatu hal yang personal dan kasuistik, melainkan merupakan problem sistem pendidikan tinggi di Indonesia.

Untuk itu penjelasan tentang kenapa praktik plagiarisme bisa terjadi di UNJ harus dijelaskan agar alasan melawan praktik tersebut dapat ditemukan dalam konteks yang tentu saja relevan dengan kondisi yang riil dialami oleh civitas akademis UNJ. Sebab alasan menolak plagiarisme tidak cukup dilandasi oleh argumen menjaga keluhuran ilmu pengetahuan maupun dalil-dalil universal tentang kebenaran serta argumen moralis tentang kejujuran. Aksi menolak yang muncul dari landasan itu tidak akan menyentuh problem yang riil praktik pendidikan.

Jika kita runut dari definisi plagiarisme adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya orang lain dan diakui menjadi karyanya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. (PERMENDIKNAS No. 17 Th. 2010) Definisi ini mungkin amatlah longgar untuk menjerat siapa saja atau karya ilmiah manapun untuk disebut sebagai plagiat. Tetapi kalimat terakhir tentang mengutip sumber yang tepat dan memadai menunjukkan bahwa munculnya plagiarisme disebabkan oleh masalah teknis. Mengutip sumber adalah pengetahuan dasar soal notasi ilmiah. Problem diatas termasuk pada kurangnya pengetahuan tentang kapan dan bagaimana mencantumkan sumber atau referensi, satu dari 4 hal yang oleh Purwani Istiana (2016) dalam buku “Panduan Anti-Plagiarisme”. Ia menyebutkan hal tersebut sebagai salah satu latar belakang munculnya plagiarisme selain terbatasnya waktu untuk menyelesaikan sebuah karya, rendahnya minat baca, dan kurangnya perhatian dari kampus untuk menuntaskan persoalan plagiarisme. (Purwani, 2016: ). Namun, faktor tersebut pada dasarnya hanya dianggap sebagai kendala teknis, terkait praktik dilapangan yang tidak ideal. Problem tersebut nyatanya bukan sekedar kendala teknis belaka. Salah satu contoh, bisa kita pertanyakan mengapa peneliti atau mahasiswa merasa memiliki keterbatasan waktu untuk menyelesaikan karya ilmiahnya?

Munculnya praktik plagiarisme yang disebabkan oleh keinginan untuk cepat menyelesaikan karya dalam waktu yang singkat atau menyelesaikan dengan waktu yang terbatas bukan sekedar bisa dijawab dengan kemalasan peneliti atau ketidakmampuan mereka merencanakan penelitian–sebab kita tahu ada beberapa penelitian yang memakan waktu bertahun-tahun untuk selesai. Tetapi juga berkaitan dengan sistem pendidikan tinggi kita yang menciptakan batas jangka waktu pendidikan tanpa memperhitungkan beban-beban akademik yang memberatkan (misal; S1 dengan batas 7 tahun dan beban 144 sks). Mahasiswa S1 biasanya baru bisa menyelesaikan beban akademiknya di semester ke 6 atau 7, baru bisa mengambil penelitian. Belum lagi anggapan yang muncul kalau jenjang S1 harus dan bisa diselesaikan 4 tahun yang semakin mendorong mahasiswa untuk cepat-cepat menyelesaikan karya ilmiah terakhirnya. Kenapa hasil akhir penelitian dibatasi oleh kuantitas waktu bukan oleh kualifikasi bahwa karya tersebut telah mampu menjawab rumusan masalah penelitian?

Iklan

Batas ini sendiri muncul karena kebutuhan kampus untuk meneruskan proses penerimaan mahasiswa baru. Mahasiswa baru adalah daging segar yang sedap diolah, sedangkan mahasiswa tingkat akhir adalah daging busuk yang akan menyebarkan bau tak sedap bagi kampus. Penerimaan mahasiswa baru yang jumlahnya besar adalah bukti bahwa suatu Perguruan Tinggi dipandang baik, tetapi jumlah lulusan yang sedikit adalah aib. Semua dihitung dari segi kuantitas, dan ini bahkan dilegalkan oleh negara dalam mekanisme yang disebut dengan “Akreditasi”.

Lagipula dalam kondisi pendidikan yang telah masuk ke dalam jebakan liberalisasi dan telah ter-komersialisasi, lembaga pendidikan berubah menjadi pabrik penghasil tenaga kerja terdidik. Tengok saja statement pemerintah bahwa dunia pendidikan harus bersinergi dengan kebutuhan pasar atau mari mengkaji UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 dan UU Perguruan Tinggi No. 12/2012, beberapa pasal secara tersirat mengindikasikan bahwa tujuan pendidikan Indonesia memang berorientasi pada pasar. Liberalisasi pendidikan telah membuat lembaga pendidikan menjadi sebuah pasar yang sekaligus menciptakan tenaga kerja untuk kebutuhan pasar.

Proses Liberalisasi Pendidikan ini telah dimulai sejak ditandatanganinya General Agreement on Trade in Services (GATS) oleh negara anggota WTO pada tahun 2005 yang mengatur liberalisasi perdagangan di sektor jasa, salah satunya pendidikan.[5] GATS pada saat itu diterjemahkan oleh pemerintah melalui Perpres No. 77/2007, yang menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing.[6] Meskipun dalam beberapa pasal di UU Pendidikan mensyaratkan prinsip ‘nirlaba’ dalam penyelenggaraan pendidikan, dimana ada logika usaha yang tidak mencari laba?

Liberalisasi pendidikan juga telah mengendurkan peran pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mengeluarkan kebijakan otonomi perguruan tinggi. Otonomi ini memberikan kewenangan bagi Perguruan Tinggi untuk mengelola dan mengembangkan diri secara mandiri, terutama bidang akademik dan pendanaan.[7] Untuk dapat mandiri secara pendanaan, pemerintah mengeluarkan regulasi PTN-BHMN dan BLU agar perguruan tinggi memiliki lahan-lahan ekonomi untuk menunjang kehidupan kampusnya. Namun, kebijakan ini lebih condong ke arah komersialisasi ketimbang memunculkan kemandirian dalam bidang pengelolaan dan pendanaan. Perguruan Tinggi hari ini berlomba-lomba membuka lebar berbagai program pendidikan dan kuota masuk perguruan tinggi agar semakin banyak dana-dana yang dapat digali dari masyarakat. Fenomena ini juga semakin parah karena diiringi dengan makin tingginya biaya pendidikan yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.[8]

Jadi tidak heran, proses penerimaan dibuka lebar dan mekanisme kelulusan dipercepat agar makin banyak calon-calon tenaga kerja terdidik barudan semakin cepat untuk siap didistribusikan oleh lembaga pendidikan. Pendidikan dalam dunia komersil hanya menekankan pada aspek kuantitas penerimaan dan kelulusan, lantas abai terhadap kualitas-kualitas serta proses pendidikan yang ideal. Tak heran muncul permasalahan teknis yang di lapangan melatarbelakangi munculnya plagiarisme seperti yang telah dikemukakan.

Jelaslah bahwa problem plagiarisme di UNJ hanyalah sebuah studi kasus yang mewakili permasalahan pendidikan yang berakar dari masalah sistem pendidikan nasional. Solusi dari hal ini tidak cukup sekedar sanksi administratif, tetapi butuh perubahan dalam sistem pendidikan tinggi secara nasional. Pendidikan yang berorientasi pasar adalah habitat yang ideal bagi plagiarisme. Sebab proses pendidikan tidak lagi menekankan pada proses memanusiakan manusia, tetapi sebatas lembaga penghasil buruh terdidik saja. Maka tak lagi ada jalan lain selain REVOLUSI PENDIDIKAN.[]

Jakarta, 16 September 2017

*) Opini ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab Redaksi Didaktika


 

[1] Tribunnews.com/nasional/2017/09/04/pernyataan-ikatan-alumni-universitas-negeri-jakarta-terkait-isu-plagiarisme/ Diakses pada 16 September 2017

Iklan

[2] Tirto.id/temuan-plagiat-disertasi-di-universitas-negeri-jakarta-cvrZ

[3] Bbc.com/Indonesia/Indonesia-41161834

[4] Didaktikaunj.com/2017/08/masalah-serius-plagiarisme-dari-kampus-ke-kampus/

[5] Sofian Effendi, “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional, “Pendidikan Tinggi di era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang, dan Harapan”, diselenggarakan oleh UIN Syarif Hidayatullah dan Universitas Atmajaya, Jakarta, 2 Mei 2005

[6] http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/kliping/Liberalisasi%20Pendidikan.pdf

[7] M. Imam Zamroni, “Industrialisasi Pendidikan Tinggi”, diunduh dari laman http://journal.uii.ac.id/index.php/Unisia/article/download/171/162

[8] Ibid.,