Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting : Ari Pranowo
Penerbit : Narasi
Tahun : 2010
Kota : Yogyakarta
Tebal Buku : 140 halaman
“KANDA!…KANDA! Bagaimana (mungkin) anakmu, kamu kirim ke Negeri Belanda.” (hlm.5). Perkataan itu yang keluar dari Ibu Hidjo, Raden Nganten Potronojo, ketika mengetahui bahwa anaknya yang bernama Hidjo hendak dikirim ke Belanda untuk sekolah menjadi insinyur oleh ayahnya, Raden Potronojo.
Raden Potronojo mengirim Hidjo untuk menjadi insinyur lantaran keresahannya. Karena, saat itu keluarganya masih dipandang rendah. Raden Potronojo merupakan saudagar. Tetapi, ia masih dianggap rendah oleh kerabat-kerabatnya yang menjadi pegawai-pegawai pemerintah.
Cerita di atas merupakan sekelumit kisah yang ada di dalam novel Student Hidjo. Terbit pada 1919, novel karangan Marco Kartodikromo berisi kumpulan cerita yang termuat di Harian Sinar Hindia dalam kurun waktu 1918.
Marco sendiri merupakan aktivis pers zaman bergerak. Ia membentuk Inlandsche Journalist Bond (IJB), yaitu perkumpulan jurnalis bumiputera pada 1914. Ia juga membentuk surat kabar Doenia Bergerak pada tahun tersebut.
Dalam novel Student Hidjo, tertuang situasi sosial saat itu. Manusia dibedakan menjadi beberapa golongan, yaitu kaum Penjajah (Belanda), kaum priyayi, dan saudagar. Saat itu, orang-orang pribumi berusaha untuk menjadi orang yang tidak dianggap rendah.
Hidjo disekolahkan di Belanda untuk menjadi seorang Insinyur. Tujuannya agar keluarga mereka dianggap setara oleh kerabat-kerabatnya yang sudah menjadi pegawai pemerintah. Karena, menjadi saudagarpun tidak cukup.
Akan tetapi, Marco mencoba untuk menghilangkan perbedaan kelas tersebut lewat pertautan cinta diantara tokoh-tokohnya. Seperti halnya kisah cinta Raden Ajeng Biroe dengan Raden Wardojo, anak seorang bupati Djarak, juga Raden Woengoe dengan Hidjo.
Perbedaan kelas tidak lagi terlihat saat muda mudi itu memiliki cinta satu sama lain. Lewat proses dialog, mereka sudah tidak memikirkan perbedaan kelas lagi. Selain itu, sikap baik Hidjo juga membuat ia dihormati dan dicintai oleh orang-orang, tidak terkecuali ketika Hidjo berada di Belanda.
Di Belanda, Hidjo diterima dengan baik oleh direktur persero salah satu perusahaan. Mereka sekeluarga sangat senang. Bahkan, Betje seorang anak direktur tersebut mencintai Hidjo. Ia berusaha mendekati Hidjo. Walaupun awalnya sulit, tetapi Hidjo akhirnya luluh dan meladeni Betje.
Selain itu, seorang controuleur Belanda yang bernama Walter menaruh cintanya kepada anak bupati Djaraak. Ia sampai merelakan calon istrinya yang sudah mengandung selama 3 bulan, demi mendapatkan cinta Woengoe. Tetapi, usaha yang dilakukannya sia-sia. Woengoe tetap mencintai Hidjo dan menginginkannya.
Dari kisah percintaan yang ada di Student Hidjo, Marco berusaha membuat manusia itu sama saja. Tidak peduli berasal dari golongan apapun. Jika cinta sudah ada, maka hal apapun menjadi hilang. Sebenarnya, tidak hanya dengan cinta. Orang tua Woengoe dan Wardoyo, seorang bupati Djaraak menyukai Hidjo karena kepintaran dan sifat rajin yang dimilikinya. Hal itu membuktikan bahwa kelas sosial menjadi tidak penting.
Selain gagasan tentang kesetaraan manusia, Marco juga menuangkan gagasan kebangsaannya. Hal itu tertuang pada saat Hidjo tiba di Belanda. Disana, Hidjo dihormati oleh orang-orang Belanda, lantaran Hidjo berasal dari Hindia. Pikiran orang Belanda saat itu ialah orang yang baru datang dari Hindia biasanya membawa banyak uang.
“Kalau di Negeri Belanda, dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda,” (hlm.41). Hal itu merupakan penggambaran, bahwa bangsa Hindia sebenarnya lebih bermartabat dalam segi moral daripada bangsa Belanda.
Tidak sampai disitu, gagasan tentang kebangsaan juga tertuang dalam percakapan antara controuler Belanda yang bernama Walter, dengan seorang sersan yang bernama Djepris. Percakapan yang terjadi di kapal itu bermula ketika Djepris sedang memaki-maki orang Jawa yang menjadi pembantu kapal.
Dalam percakapan tersebut, Walter memberikan suatu penyadaran kepada sersan Djepris. Walter mengangap bahwa Djepris itu sebagai orang yang lebih keji daripada orang Jawa. Djepris awalnya hanya seorang serdadu. Karena berhasil membunuh banyak orang, akhirnya Djepris mendapatkan pendidikan militer agar bisa membunuh lebih banyak orang lagi.
Walter juga mengatakan bahwa orang Belanda melakukan penindasan karena ketidaktahuannya tentang Hindia. Hal itu terjadi karena orang Belanda tidak ingin bergaul dengan orang-orang Hindia.
Gagasan kebangsaan Marco pada novel ini, merupakan suatu usaha penyadaran bagi orang Hindia. Sebenarnya, orang Hindia lebih bermartabat daripada orang Belanda. Marco terlihat ingin menyampaikan suatu pesan tentang perlawanan rakyat Hindia, karena orang Belanda tidak lebih bermartabat daripada bangsa Jawa.
Selain itu, Marco juga menggambarkan persatuan rakyat Hindia yang tergabung dalam organisasi Sarekat Islam (SI). Saat itu, SI mengadakan pertemuan di Solo.
“Bangsawan keraton Solo, saudagar, priyayi Governement, dan para orang-orang particulier, mereka menunjukan keakrabannya masing-masing. Karena pengaruh Sarekat Islam,” (hlm.105). Bagian ini merupakan penggambaran dari besarnya organisasi SI pada saat itu.
SI berhasil menghilangkan perbedaan kelas. Pada pertemuan tersebut, tidak ada lagi orang yang menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain. Semuanya juga menganggap saling bersaudara. Persatuan tersebut juga menyebabkan Belanda ketakutan sehingga menyiapkan serdadu untuk mengamankan pertemuan tersebut.
Dalam konteks kehidupan masa kini, penulis mengerucutkannya ke dalam pendidikan. Perbedaan kelas sosial juga terasa dalam pendidikan. Bahkan, pembedaan itu terlihat lebih rapih. Dalam dunia pendidikan, perbedaan tersebut terjadi pada akses pendidikan.
Orang-orang yang mempunyai ekonomi yang tinggi, berhak mengenyam pendidikan yang berkualitas. Jika Hidjo menempuh pendidikan insinyur untuk meninggikan derajat keluargnya, maka saat ini manusia menempuh pendidikan untuk mempertahankan kelas sosialnya.
Perbedaan kelas tersebut sudah dilegalisasi dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam hal ini, misalnya Universitas Negeri yang seharusnya melayani masyarakat, kini juga sudah menyempitkan akses bagi orang-orang yang kuliah.
Uang kuliah tinggi, belum lagi adanya pungutan di luar uang kuliah. Hal itu tentu tidak bisa digapai bagi orang-orang yang memiliki ekonomi rendah. Padahal, Marco di dalam Doenia Bergerak mempunyai gagasan “pendidikan untuk semua”.
Novel Student Hidjo ini cocok dibaca, karena memberikan suatu penyadaran tentang kesetaraan derajat manusia. Manusia tidak dinilai dari ekonomi maupun kelas sosial di masyarakat, melainkan dari perbuatan baiknya, seperti Hidjo yang senantiasa berbuat baik kepada siapapun.
Sayangnya, Marco terkesan terburu-buru dalam mengakhiri novel ini, serta terlalu banyak kisah tentang percintaan para tokohnya, dibanding dengan situasi pendidikan pada saat itu./Qori H.
Editor: Hendrik