Agama tidak mengajarkan kekerasan. Manusia yang menafsirkan kalau agama membenarkan kekerasan.
Gerakan radikal dengan mengatasnamakan agama pernah terjadi di Indonesia. Tentu masih ingat aksi terorisme yang terjadi di Bali dan beberapa hotel di Jakarta. Korban yang berjatuhan tidak sedikit. Ratusan jiwa anak bangsa melayang dengan sia-sia. Peristiwa itu kelak membuat sebagian masyarakat Indonesia menjadi serba takut bila ingin berpergian.
Namun, pada akhirnya serangkain kejadian “kekerasan” tersebut bisa diatasi oleh penegak hukum. Sampai saat ini aksi-aksi tersebut tidak muncul kembali di tanah air. Kini kita sudah merasakan kenyamanan ketika berlibur ke Bali bersama sanak keluarga. Dan kita pun bisa tidur nyenyak ketika menginap di hotel-hotel.
Ketika kenyamanan sudah dirasakan tatkala berkunjung ke tempat-tempat rekreasi, ketakuatan justru masih dirasakan ketika melakukan ibadah. Aksi penghancuran tempat-tempat ibadah masih terjadi di Indonesia. Penyerangan tidak berhenti di dunia nyata, di dunia maya juga demikian. Banyak situs-situs islam seperti VOA dan ar-rahmah yang menebar kebencian terhadap golongan tertentu. Situs ini turut memberikan andil dalam membangun opini publik untuk memprovokasi aksi kekerasan.
Ironisnya, mereka menggunakan Al Qur’an dan hadis sebagai alat pembenaran apa yang mereka praktikan: melakukan penyerangan. Mereka menganggap hal itu sebagai bagian dari jihad, yaitu upaya menegakkan kebenaran. Masyarakat menamai sekelompok orang tersebut dengan sebutan “golongan radikal”. (arti kata radikal)
Apa yang dilakukan oleh golongan radikal tersebut tentu akan membuat citra islam menjadi buruk. Islam pada akhirnya dipandang sebagai agama yang tidak toleran, sarat akan kekerasan. Bahkan, Al quran dan hadis dijadikan penyebab aksi kekerasan dan intoleransi tersebut. Tentu beban moral dipikul oleh meraka yang beragama islam yang anti-kekerasan. Karena mereka harus berupaya keras untuk membalikkan citra islam kembali kepada hakikat aslinya, yaitu agama yang membawa keselamatan kepada seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin).
Oleh sebab itu, Prof. Dr. H. Nazzarudin Umar, MA, mencoba memberikan pemahaman baru terhadap agama islam. Melalui bukunya yang berjudul Deradikalisasi Pemahaman Al Qur’an dan Hadis, dia berupaya membalikan stigma islam yang penuh dengan kekerasan dan intoleransi, menjadi agama penuh kedamaian. Caranya dengan mengajak para umat islam untuk memahami Al qur’an dan hadis tidak hanya secara tekstual, tapi juga kontekstual.
Sejatinya ayat dan hadis yang turun tidak terlepas dari keadaan historis-kultural masyarakat. Apa yang dibutuhkan masyarakat kala itu, di saat itu pula firman Allah dan sabda Nabi meresponnya. Inilah yang dimaksud mengartikan ayat al quran dan hadis secara kontekstual. Hal ini penting untuk menghindari pemahaman yang radikal. Analoginya seperti ini, ketika kita berpergian di daerah berpolusi tinggi, kita diperintahkan untuk memakai masker, agar tidak terkena penyakit. Namun, masker menjadi tidak berguna ketika kita berpergian di daerah berudara sejuk. Jadi, ada beberapa ayat dan hadis yang tidak bisa dijadikan acuan tatkal memiliki histori-kultural yang berbeda. Ini bukan bermaksud menihilkan peran ayat al quran yang universal.
Contohnya seperti firman yang menyuruh umat islam dalam berperang. Firman pertama yang memerintahkan untuk berperang terdapat dalam surat al Baqarah ayat 190-191. Dalam ayat tersebut dijelaskan alasan kenapa harus berperang dan bagaimana etikanya. Rasulullah diperbolehkan memerangi mereka yang telah memboikot dan mengusir nabi dari kota Mekkah.
Isinya sebagai berikut:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Mari kita analisis dengannya menjadi dua kalimat, agar lebih mudah memahami. Kalimat pertama,” dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu.” Kalimat tersebut memberikan makna secara implisit bahwa umat islam boleh berperang jika ada yang memerangi. Artinya, dasar berperang dari berperang dalam umat muslim adalah sebagai bentuk perlindungan atau respon pembelaan diri, bukan sebagai pemicu perang (hlm 131).
Kalimat kedua, “..tetapi janganlah kamu melampai batas, karena sesungguhnya Allah tidak menykai orang-orang yang melampaui batas..” . Inilah kalimat kode etik dalam berperang. Kode etik dalam berperang antara lain, tidak boleh membunuh anak-anak, kaum wanita, orang tua, prang sakit atau lemah, dan orang yang meminta berdamai. Dilarang juga merusak rumah dan pepehonan (hlm 129).
Namun apa yang terjadi di Indonesia justru berlawanan dari itu semua. Kelompok orams-ormas islam dengan garangnya menghancurkan sarana dan prasarana umum. Rumah pribadi, warung, dan tempat ibadah menjadi objek penghancuran. Bahkan, orang yang meminta berdamai justru ikut diperangi dengan cara kekerassan juga. Maksud damai disini adalah sama-sama menghargai hak orang lain. Tidak memksakan hak orang lain untuk mengikuti haknya.
Peristiwa radikal bisa diminimalisir jika dalam menafsirkan al quran dan hadis dengan pendeketan histori-kultural. Islam pada dasarnya adalah agama rahmatan lil alamin, agama toleran, agama yang menghormati hak asasi manusia, serta agama emansipatoris. Agama Islam sangat jauh dari aksi-aksi kekerasan radikal. Hal itu sudah sangat jelas tercantum dalam surat ali Imron ayat 159.
Isinya sebagai berikut:
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menykai orang-orang yang bertawakal kepadanya.”
Sejatinya tidak ada satu pun agama yang mengajarkan pemeluknya untuk bertindak anarkis dan melakukan terror. Hidup damai berlaku kasih dan sayang terhadap sesame makhluk ciptaan Tuhan adalah pesan mendasar dari setiap agama. Jika kemudian ada tindakan terror dengan mengatasnamakan agama, maka tidak bijak menuduh agama sebagai biang keladi kekacauan (hlm 396).
Oleh: Yogo Harsaid