Judul Buku : Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Jawa 1912 – 1926
Judul Asli : An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926
Penulis : Takhasi Shiraishi
Penerjemah : Hilmar Farid
Penerbit/Tahun Terbit : Pustaka Utama Grafiti
Tahun Terbit / Cetakan : 1997 / Cetakan I
Jumlah Halaman : 504 hlm
Takashi Shiraishi dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 menjelaskan secara detail bagaimana awal munculnya pergerakan. Dalam penelitiannya ini, Takashi memfokuskan pada periode pergerakan 1912 hingga 1926 yang juga disebut zaman pergerakan awal.
Awal abad 20 memang menjadi babak baru bagi perlawanan terhadap kolonialisme. Masa diterapkannya politik etis dan masa di mana kata “modern” mulai mendapat tempat di masyarakat. Masa ini pula yang menjadi awal dimulainya pendidikan ala Barat diterapkan di Hindia—meskipun masih terdapat struktur rasial di dalamnya.
Mungkin pertanyaan sederhana yang akan muncul di kepala kita adalah “Apa itu pergerakan?” Takashi mendefinisikan pergerakan sebagai upaya penerjemahan yang kompleks dan dinamis. Ide-ide yang sebelumnya belum dikenal oleh bumiputera kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, seperti veergadeering, organisasi, pemogokan dan media massa. Proses penerjemahan yang dinamis inilah yang menimbulkan gairah— rakyat dapat mengatakan apa yang mereka tidak bisa katakan. Sementara bagi Belanda, gerakan-gerakan bumiputera ini tidaklah asing, mereka menganggapnya sebagai suatu gerakan “Modern” dan bentuk dari kebangkitan pribumi.
Pergerakan di Surakarta
Surakarta menjadi salah satu sentra dari pergerakan rakyat. Hal ini bukan tanpa alasan. Surakarta merupakan salah satu tempat modal-modal asing berkuasa bahkan pada 1910, sebanyak 1.215 ribu pikul gula diproduksi di Surakarta (hlm. 15). Dengan alasan itu juga yang membuat Takashi menamai Surakarta dalam bab pertama buku ini sebagai “Arena.”
Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi pertama yang mengakar di Surakarta, sekaligus tonggak dari perubahan. Mereka berasal dari organisasi “Penjaga” Rekso Roemekso yang saat itu diinisiasi oleh Haji Samanhoedi—sebelum bergabung dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) Tirtoadiesorjo. Masa-masa awal Sarekat Islam (SI) ini ditandai dengan vergadeering-vergadeering serta pendirian afdelling-afdelling di beberapa kota di Jawa.
Sampai pada akhir Perang Dunia I, pergerakan-pergerakan itu bertransformasi mengikuti keadaaan sosial yang berubah cepat. Kebijakan politik Gubernur Van Limburg hingga krisis ekonomi pasca perang dunia pertama juga turut berperan. Antara rentang tahun 1917-1920 banyak tokoh-tokoh pergerakan yang muncul di arena pergerakan, seperti Semaoen di Semarang, Tjokoroaminoto di Surabaya dan Hadji Misbach yang menguasai panggung Surakarta.
Tidak hanya itu, berbagai organisasi pergerakan mulai mengubah keadaan pergerakan Surakarta. Dibukanya Volksraad (DewanRakyat), gerakan Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM), gerakan serikat buruh, dan kebangkitan Personeel Fabriek Bond (PFB) menjadi sebuah pengubah arah pergerakan yang mulanya hanya berupa vergadeering menjadi pemogokan dan demonstrasi.
Salah satu tokoh yang terkenal vokal dalam pergerakan Surakarta adalah Hadji Mohammad Misbach, pedagang batik asal Kauman. Dirinya merupakan Wakil Ketua sekaligus propagandis Insulinde, organisasi pimpinan Ny. Vogel. Sebagai seorang propagandis, Misbach sukses melebarkan sayap Insulinde hingga seluruh Surakarta. Tercatat lebih dari 10.000 petani dan kuli kenceng berhasil masuk Insulinde (hlm. 210).
Misbach juga dianggap sebagai otak dibalik pemogokan petani di beberapa bagian Surakarta. Dirinya bersama Insulinde dianggap sebagai pengobar api pemogokan. Artikelnya yang bertajuk “Djangan Koeatir” menyerang pemerintah Belanda sekaligus sunan yang gagal melindungi petani. Lewat tulisannya, Misbach mendorong para pemimpin kring dan petani untuk melakukan pemogokan walaupun akhirnya membuat dia dipenjara.
Tokoh lain yang muncul di Surakarta adalah Ciptomangunkusumo yang dikenal dengan kampanye “Anti raja.” Dalam setiap tulisan dan gerak-geriknya, Cipto selalu menyerang Kasunanan Surakarta. Ini merupakan bentuk protes terhadap lemahnya politik sunan. Dirinya geram dengan sunan yang seharusnya melindungi rakyat malah hanya menjadi boneka dari pemerintah Hindia.
Berbagai aksi dilakukan oleh Cipto untuk memantik kemarahan pemerintah sekaligus sunan. Bahkan residen Surakarta kala itu sempat menuduh Cipto akan melakukan rencana pembunuhan terhadap sunan walaupun tuduhan tersebut tidak terbukti.
Selain itu, antara tahun 1918 sampai 1919 terdapat berbagai pemogokan buruh yang dilatari oleh perjuangan ekonomi. Berbagai serikat buruh didirikan, seperti PFB, PBT dan Sarikat Postel. Serikat buruh yang sudah lama, seperti VSTP, PGBH dan PPPB pun kembali aktif, dengan pentolan utamanya adalah Soerjopranoto dari PFB yang juga disebut “Raja mogok”.
Zaman Reaksi, Rumah Kaca bagi Tokoh Pergerakan
Antara tahun 1920-1923 merupakan zaman partij atau zaman reaksi—dimana ada aksi pasti ada reaksi. Tahun ini ditandai dengan masuknya beberapa organisasi seperti BO, Insulinde dan CSI di kancah perpolitikan terutama untuk berpartisipasi dalam Volksraad.
Pergolakan politik ini juga paling terasa di Sarekat Islam di mana golongan Komunis atau SI Merah yang dipimpin oleh Semaoen terus berusaha menggerus SI Putih pimpinan Tjokro. Perpecahan ini mengalami penajaman dikarenakan disiplin partai yang diterapkan Sarekat Islam.
Tidak hanya itu, gubernur jenderal yang baru, Dirk Fock yang merupakan seorang liberalis Belanda, dikenal sebagai orang yang cakap dalam meredam pergerakan. Di masa kepemimpinannya, Surakarta menjadi “rumah kaca” yang setiap saat terus diawasi oleh pemerintah Belanda. Dirk Fock juga sempat membekukan kebebasan berkumpul di Surakarta dikarenakan pemogokan yang dilakukan Sarekat Rakyat-PKH serta pergerakan perkumpulan buruh.
Di masa pemerintahan Dirk Fock pula beberapa penangkapan terjadi, tokoh komunis terkemuka seperti Semaoen dan Misbach menjadi korban dari kebijakan politik Fock. Tokoh-tokoh pemimpin pemogokan juga turut diawasi, tidak kurang dari 5 orang Algemeene Recherchedienst mengawasi gerak-gerik pemimpin yang berpotensi melakukan aksi. Di masa ini pula ratusan buruh kereta api dipecat dikarenakan ikut dalam pemogokan.
Masa Akhir
Melemahnya pergerakan di era Fock juga menyebabkan semakin mundurnya semangat untuk bergerak dari para buruh dan petani. Kebanyakan dari buruh tidak melakukan pemogokan karena takut dipecat dan para pemimpin yang selalu diawasi gerak-geriknya pun tidak bisa leluasa mengorganisir aksi.
Masa akhir pergerakan terjadi antara 1924-1926. Beberapa organisasi yang sangat vokal sebelumnya sudah melemah seperti Partai Sarekat Islam (PSI) yang kalah dukungan dibanding Sarekat Rakyat-PKI —serta PKI juga turut melemah karena kehilangan tokoh besar seperti Semaun dan Misbach.
Komunisme yang semakin terpojok dengan kebijakan pemerintah dalam mengatur surat kabar, memerintahkan penguasa lokal untuk lebih ketat mengawasi komunisme dan memblokade sekolah-sekolah yang didirikan Sarekat Rakyat. Keadaan yang semakin menghimpit inilah yang membuat hoofsbeestur PKI untuk merencanakan pemberontakan pada akhir 1925. Pemberontakan di Jawa terjadi pada 1926 yang disusul oleh pemberontakan di Sumatera Barat pada 1927.
Pemberontakan tersebut merupakan akhir dari zaman pergerakan awal—sebuah pondasi menuju kemerdekaan yang seutuhnya. Pergerakan dan proses penerjemahan yang lahir sebagai akibat pergeseran zaman itu harus berakhir mengenaskan dalam usaha untuk merebut kekuasaan dan menciptakan dunia baru yang bebas.
Dalam buku ini Takashi menggambarkan dengan jelas bagaimana ekspresi politik modern melalui figur-figur berbeda latar belakang. Pendekatan yang digunakan oleh Takashi juga merupakan pendekatan kronologis dengan mengurut perjuangan pergerakan dari awal hingga terpotong di tahun 1926. Pemotongan pada tahun tersebut patut disayangkan karena Takashi seolah membuat lubang besar dalam sejarah pergerakan. Sebuah lubang dalam sejarah yang hilang antara 1927 hingga awal Perang Dunia II.
Terlepas dari hal tersebut, buku ini sangat relevan untuk membaca keadaan saat ini. Mengutip perkataan dari Hadji Misbach, “Nah, sekarang njatalah bahwa perintah Toehan kita orang diwadjib-kan menoeloeng kapada barang siapa jang dapat tindesan, hingga mana kita berwadjib perang djoega djika tindesan itoe beloem di-brentikannja,” menggambarkan realita kehidupan sekarang, bagaimana kita sebagai mahasiswa, sebagai seorang yang mengalami pergeseran zaman dan penikmat modernisasi, menjadi wajib kiranya bagi kita untuk berjuang melawan segala bentuk penindasan dan ketertindasan di negeri ini, sebagaimana yang dilakukan tokoh bangsa satu abad yang lalu.
Penulis : Izam K.
Editor : Ahmad Qori H.