Permendikbud Ristek PPKS masih dipermasalahkan. Padahal, implementasinya sangat genting hari ini.
Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebagai sarana menciptakan pendidikan yang aman bagi seluruh warga negara pada 31 Agustus 2021 lalu.
Namun dalam perjalanannya, peraturan tersebut mendapat berbagai pertentangan. Beberapa pasal dipermasalahkan oleh beberapa pihak yang menganggap Permendikbud Ristek sebagai jalan masuk bagi liberalisme.
Dalam Webinar Diskusi Publik yang diadakan Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana UNJ bersama LDK Salim pada Selasa (23/11/21), Fahmi Alaydroes, politisi PKS sekaligus anggota komisi X DPR RI mempermasalahkan term persetujuan atau konsensus yang ada dalam pasal 5 ayat 2.
“Frasa ‘tanpa persetujuan korban’ berarti memberi peluang pemahaman dan penerapan apabila kegiatan yang disebutkan pada butir-butir pasal itu dilakukan dengan persetujuan, maka dinyatakan bukan kekerasan dan boleh dilakukan”, ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya konsep persetujuan korban berarti mengesahkan perilaku perzinahan tindak asusila kalangan perguruan tinggi. Lebih lanjut, dirinya menganggap Permendikbud Ristek PPKS ini bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta norma kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Dinar Dewi Kania, Direktur the Center for Gender Studies. Dalam paparannya di diskusi tersebut, Dinar menyayangkan penggunaan term persetujuan karena berkiblat pada feminisme radikal. Alasannya, golongan feminis radikal selalu mengembangkan terminologi soal relasi kuasa-relasi gender yang berakar pada marxisme, sehingga tidak cocok dengan nilai yang ada di Indonesia.
“Konsep tersebut mengacu pada feminisme radikal yang meyakini konsen saja tidak cukup menghilangkan kekerasan seksual”, ujarnya.
Keduanya sama-sama menghubungkan Permendikbud Ristek tersebut dengan pelegalan zina. Bahkan, keduanya menganggap peraturan ini sebagai pintu masuk Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dan liberalisasi.
Tolakan juga datang dari hasil ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan alasan yang sama, yaitu perzinahan yang tidak sesuai syariat dan pancasila. Kembali lagi, frasa persetujuan korban menjadi dasar penolakan atas peraturan ini.
Tidak hanya itu, Aliansi BEM Seluruh Indonesia, melalui pernyataan sikapnya juga meminta revisi atas peraturan tersebut. Mereka menilai, frasa persetujuan korban harus direvisi karena dinilai ambigu dan bermakna ganda.
Baca Juga: Kekerasan Seksual oleh Dosen, Gerpuan UNJ Buka Layanan Pengaduan
Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Sebelumnya, beberapa kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus masih terus terjadi. Terakhir terjadi pada kasus mahasiswi Universitas Negeri Riau (UNRI), dimana korban dilecehkan oleh Syafri Harto, dosen sekaligus Dekan Fakultas FISIP dengan modus bimbingan skripsi pada Rabu (27/10/2021).
Di UNJ sendiri sempat ramai dengan kasus SA, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni yang melakukan tindak ancaman perkosaan pada mahasiswa baru UNJ, Juli lalu.
Kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online (KBGO) juga terulang kembali. Pelaku merupakan Muhammad Ulil, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial yang menyebarkan kontak korban ke grup chat dengan menuduh korban melakukan open BO. Akibatnya, nomor korban terus diteror oleh beberapa orang.
KBGO juga terjadi saat ujian Penerimaan Mahasiswa Baru (Penmaba) tahun ini. Pemilik akun Twitter @kafir_introvert menangkap gambar seseorang yang sedang masturbasi melalui Zoom Meeting saat ujian Penmaba UNJ pada Sabtu (17/7/2021).
Kasus yang sempat menggegerkan UNJ juga terjadi pada 2015 lalu. Ketika itu, Andri Rivelino, dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) melakukan pelecehan terhadap FN saat diminta mengerjakan laporan FIS Mart di kediamannya.
Sementara, akhir-akhir ini isu kekerasan seksual melanda Fakultas Teknik, diduga dosen berinisial DA terhadap mahasiswinya. DA melakukan aksinya dengan mengirim pesan yang tak pantas dilakukan oleh dosen kepada mahasiswinya.
Menanggapi berbagai kekerasan seksual serta penentangan terhadap Permendikbud Ristek PPKS di lingkungan kampus, dosen Sosiologi Prodi Pendidikan IPS, Nova Scorviana mengatakan pentingnya frasa persetujuan korban. Hal ini dikarenakan, dengan adanya konsesus justru korban mendapatkan perlindungan dan keamanan di mata hukum.
“Kita harus lihat juga lebih dalam tentang relasi kuasa dalam kasus pelecehan seksual. Misal dosen dengan mahasiswa, harus dilihat lebih dalam relasi-relasi tersebut untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual”, ujarnya.
Menurutnya, fokus peraturan ini adalah perlindungan bagi korban karena seringnya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Aturan ini, lanjutnya, diutamakan kepada mahasiswa yang tidak bisa berbuat karena adanya relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa.
Sementara, Nisa Nurul dari Gerakan Perempuan (Gerpuan) UNJ membantah tuduhan tentang pelegalan zina. Dirinya mengatakan, tidak seharusnya frasa “tanpa persetujuan korban” diartikan sebagai pelegalan terhadap tindak asusila.
“Pelegalan zina itu logika yang diada-adakan. Kita menganut civil law, sesuatu yang tidak tertulis bukan berarti melegalkannya, karena ada norma-norma di masyarakat. Jadi, di peraturan tersebut tidak ada pelegalan”, ujar Nisa.
Frasa persetujuan korban, menurut Nisa juga sangat penting. Hal ini sebagai pembeda antara sesuatu yang dikatakan kekerasan seksual dan yang bukan kekerasan seksual. Jika menghilangkan frasa tersebut, makna kekerasan seksual pun akan tidak jelas.
“Jika dipaksa digabung dengan tindak asusila, korban menjadi rawan terkena hukum juga”, ujarnya.
Wiwid Sekar Utami, mahasiswa Pendidikan IPS 2020 mengatakan tidak seharusnya Permendikbud Ristek PPKS dikaitkan dengan pelegalan terhadap zina. Menurutnya, peraturan ini sangatlah diperlukan. Berkaca pada kasus-kasus yang meluap di media, membuatnya yakin bahwa perlindungan terhadap korban sangat diperlukan.
“Banyak korban yang akhirnya disalahkan, seperti ‘lagian kamu deket-deket dia’, yang bikin korban takut dan malu melapor”, ujarnya.
Sementara Komarudin, Rektor Universitas Negeri Jakarta menyatakan perlu mengimplementasikan peraturan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Dirinya juga meyakinkan bahwa meskipun ada framing-framing, namun tetap komitmen UNJ mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
“Kita ini lembaga pendidikan, ya harus menegakan marwah dan moral etika itu (pendidikan)”, pungkasnya.
Penulis : Izam Komaruzaman
Editor : Hastomo Dwi