Sebelas orang ditangkap secara paksa dan sembilan lainnya mengalami luka-luka ketika warga Desa Wadas, Purworejo memblokade jalan melindungi tanahnya dari penambangan Andesit. Kekerasan yang menyelimuti aksi damai tersebut, menjadi bukti bahwa negosiasi dengan polisi sama saja seperti “percakapan antara golok dengan leher.”
Bagi masyarakat urban, mendengar ayam berkokok di pagi hari tentu sangat menjengkelkan. Suara alam ini menandakan fajar mulai terbit, dan kamu mesti bergegas dari tempat tidur juga bantalmu yang jamuran karena tak pernah dijemur, agar tak dianggap pemalas oleh orang sekitar. Belum hilang seluruhnya bayangan mimpi dari benakmu, alarm dari ponsel pula ikut merundung.
Tapi, apakah kamu bisa menyalahkan ayam? Tentu tidak. Sama halnya ketika pemain bola yang tak bisa disalahkan jika bola yang Ia tendang mengenai seseorang di kursi penonton, bukan?
Sehemat pengetahuan penulis, ayam berkokok sebelum fajar karena itu adalah respon mereka terhadap perubahan level cahaya. Coba saja kamu arahkan senter ke ayam yang sedang tidur saat malam hari. Walaupun saya sendiri belum pernah coba sih. (Jangan ayam orang yang jadi target. Penulis gak bertanggungjawab kalau kamu dituduh maling ayam).
Biar begitu, kita mestinya berterimakasih kepada ayam. Dengan kokoknya, dongeng Sangkuriang dan Gunung Tangkuban Perahu menjadi terasa lengkap. Sebab, tanpa kokokan ayam yang dianggap menandakan terbitnya fajar, Dayang Sumbi tak akan menipu Sangkuriang yang ingin menikahinya. Lalu, kejadian Sangkuriang menendang perahu hingga terbalik dan menjadi gunung tidak akan pernah terjadi. Ya meskipun saya yakin sih, Dayang Sumbi tak akan kehabisan akal jika tak ada ayam di dunia ini. Tapi, tetap tak dapat kita nihilkan pula peran ayam dalam dongeng tersebut.
Bahkan di Indonesia sendiri, ada pula lomba kokokan ayam. Ini menjadi ladang bisnis tersendiri bagi sebagian orang. Betapa bermanfaatnya kokokan ayam dalam kehidupan kita.
Tapi coba tebak, makhluk apa lagi yang memiliki respon mekanis seperti ayam, yang berkokok ketika pagi hari? Kalau kamu sulit menemukan jawabannya, bukan salah pertanyaan yang tidak begitu mengerucut. Silahkan telusuri tagar #WadasMelawan. Algoritma sosial media akan mengarahkanmu pada kekerasan polisi terhadap warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo yang menjadi trending di jagad Twitter, Jumat (23/4/2021) lalu.
Berdasarkan kronologi yang ditulis akun Instagram @wadas_melawan, warga dan massa solidaritas berkumpul dan memblokade akses jalan ke Desa Wadas, Purworejo. Hal ini dilakukan karena warga menolak pematokan tanah oleh tim Balai Besar Wilayah Sunga (BBWS) Serayu Opak, guna dibangunnya pertambangan Andesit. Nantinya, hasil tambang tersebut akan menjadi bahan materil untuk pembangunan Bendungan Bener yang letaknya 10 kilometer dari Desa Wadas.
Warga menilai proyek penambangan akan memicu rentannya daya dukung ekologis yang berpotensi meningkatnya bencana, serta hilangnya 27 sumber mata air yang terdapat di desa tersebut. Selain itu, penambangan ini juga akan merampas ruang hidup warga, dimana di dalamnya terdapat komoditas pertanian yang selama ini menopang sebagian besar kehidupan mereka, hingga menjadi penjalin ikatan sosial, dan kebudayaan antar warga selama turun temurun.
Dalam usaha pematokan tersebut, dilibatkan pula kepolisian dengan atribut perangnya, seperti tameng dan tongkat pentungan. Pemblokiran jalan yang tadinya berjalan damai, dihiasi lantunan sholawat dari warga, tiba-tiba menjadi ricuh. Bayangkan saja, bagaimana mungkin aksi damai, yang mana barisan depannya diisi oleh ibu-ibu yang melantunkan sholawat, dapat memulai kericuhan?
Toh warga dan massa solidaritas yang di belakang pun tak akan sanggup memulai kericuhan, karena tak ingin mengorbankan barisan depannya. Jadi, pihak mana lagi yang memulai kericuhan kalau bukan mereka yang memang sudah siap dengan atribut perang?
Kericuhan meletus sekitar pukul 11.30, mengakibatkan beberapa warga serta mahasiswa yang bersolidaritas ditarik dan ditangkap secara paksa. Polisi turut menembakan gas air mata guna memukul mundur massa. Tak cukup sampai disitu, kuasa hukum warga dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta pun turut ditarik paksa.
Sebelas orang ditangkap dan sembilan lainnya mengalami luka-luka. Ini pun belum termasuk mereka yang mengalami sesak napas akibat gas air mata. Jika tulisan ini belum dapat menggambarkan situasi kejadian tersebut, penulis menyarankan untuk melihat sendiri video dokumentasi yang sudah tersebar luas di media sosial.
Kejadian tersebut menambah rentetan kasus perampasan ruang hidup, pelanggaran HAM, dan kekerasan yang dilakukan oleh institusi kepolisian. Belum lama, seorang jurnalis di Kendari, Sulawesi Tenggara, turut mendapat tindak kekerasan berupa pukulan ketika meliput aksi di Kantor BLK Kendari, Kamis (19/3/2021) lalu. Pasca kejadian tersebut, Kapolres Kendari melayangkan permohonan maafnya ke publik.
Sudahlah. Untuk apa minta maaf kalau kejadian seperti ini, masih akan terus terjadi dan berulang? Permintaan maaf saja tak akan menjamin.
Sepanjang tahun 2019-2020, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, anggota Polri terlibat dalam 921 dugaan kasus kekerasan hingga pelanggaran HAM. Kendati demikian, penulis yakin masih ada kekerasan yang terjadi dan tak tercatat dalam data tersebut, entah karena tak terlihat, atau tak ada pelaporan.
Contohnya ketika ada seseorang yang sedang mengendarai motornya, kemudian dianggap menghalangi jalan oleh sebuah mobil berplat nomor yang mencirikan mobil dinas kepolisian, dilengkapi rotator dan sirine yang memekik telinga pengguna jalan di luar mobil tersebut. Tak berhenti sampai di situ, pengendara motor pun dipepet dan diberhentikan secara paksa. Dengan mata melotot dan megap-megap, ia turun dari mobilnya, menghampiri si pengendara motor. Lalu dengan tendangan gledek-nya, ia tendang motor tersebut hingga jatuh.
Saya heran, serial Ronaldowati sudah tamat sejak lama. Namun, romantismenya masih dapat saya rasakan saat itu.
Oh iya, itu pengalaman pribadi penulis saat hendak ke kampus beberapa bulan lalu.
Bukan tak penting membahas pengalaman itu disini. Sebab, saya tetap menganggapnya sebagai sebuah kekerasan yang dilakukan polisi karena menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power). Menurut konstitusi sih, polisi bertugas menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat, dengan kewenangan untuk menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat. Menendang motor orang lain tidak termasuk dalam konstitusi loh, kawan-kawan.
Meskipun demikian, saya merasa agak beruntung jika dibandingkan dengan apa yang menimpa warga Desa Wadas, jurnalis Kendari, atau para demonstran pada aksi #ReformasiDikorupsi dan tolak omnibus law yang menjadi sasaran kebrutalan polisi.
Dongeng tentang heroisme aparat semasa kecil, kemurahan hati polisi lalu lintas dalam layar televisi, atau banyolan Ambarita yang terlihat dekat dengan rakyat miskin kota, nampak berbalik dari kenyataannya. Polisi tak selugu karakter kartun di spanduk-spanduk penghimbau keselamatan berkendara di pinggir jalan. Lebih pantas memproyeksikan mereka seperti Duryodhana dalam kisah Mahabharata yang angkuh dan arogan.
Padahal, baik rakyat sipil maupun kepolisian, kita sama-sama tahu bahwa kekerasan aparat di lapangan sudah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam Pasal 13 huruf (a), disebutkan bahwa pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia.
Selain itu dalam menerapkan upaya paksa, harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif yang diatur dalam Pasal 24 (e), yakni tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM.
Tetapi, untuk apa menyebutkan pasal-pasal ini jika kenyataannya, polisi selalu saja mengabaikan konstitusi dan tetap melakukan kekerasan kepada sipil?
Pendapat yang menurut penulis menarik untuk menjelaskan alasan polisi cenderung represif, diijelaskan oleh Eko Riyadi, salah satu dosen Fakultas Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Universitas Islam Indonesia (UII).
Tulisannya dalam laman The Conversation, mengatakan bahwa aparat penegak hukum di Indonesia, acapkali menafsirkan perintah undang-undang untuk menciptakan ketertiban umum sebagai landasan penggunaan kekerasan dalam keamanan publik. Menurutnya, aparat di lapangan seringkali menerjemahkan perintah “amankan” dari atasan dengan melakukan represi demi mencapai stabilitas keamanan.
Lebih lanjut, Eko mengatakan, kontroversi muncul karena aparat lebih mengedepankan isu keamanan ketimbang hak-hak konstitusional sipil. Misalnya undang-undang mellindungi hak masyarakat untuk berunjuk rasa. Namun polisi justru membubarkan dan memanipulasi keadaan dengan menuduh demonstran melakukan tindakan melanggar hukum.
Namun, penulis tak sepenuhnya sependapat dengan Eko. Begini, kita tak lagi dapat memposisikan polisi sebagai alat negara. Lebih tepatnya, untuk saat ini, kepolisian hadir sebagai alat pemerintah. Sebab, lihat saja. Siapa yang dilindungi oleh institusi tersebut sehingga UU Cipta Kerja dapat disahkan?
Padahal, undang-undang ini sudah jelas menjadi penyebab munculnya gelombang protes, hingga pemogokan buruh di sejumlah pabrik di Indonesia. Akhirnya, ini bukan lagi masalah perbedaan tafsir polisi di lapangan dengan atasan maupun undang-undang. Lebih jauh, masalah ini bermuara kepada sesuatu yang bersifat politis.
Selain tameng dan pentungan, polisi (sebagai manusia seperti yang lainnya) turut dibekali akal dan nalar untuk memecahkan masalah dan berpikir jangka panjang. Tapi jika perangkat itu tidak dipakai, apa bedanya mereka dengan ayam?
Kalau ayam sih berkokok tidak memikirkan orang sekitar. Sampai mulut berbusa tuk mengultimatum ayam agar berhenti berkokok, juga gak bakal ngerti itu ayam. Ya, itu karena dia hewan. Sedangkan polisi yang notabene sesama manusia, mosok kita bilangin juga gak mempan?
Sekalipun ayam mengerti bahasa kita, ayam mungkin berdalih “loh, berkokok itu kan memang dorongan biologis kami, hey manusia.” Polisi juga punya dalih kalau diminta berhenti memukuli sipil, “loh, mas, ini upaya penertiban kok.” Mirip, ya, mereka?
Jadi, apakah memang dorongan untuk memukul itu muncul secara alamiah dan mekanis dari tubuh personel kepolisian, seperti ayam yang berkokok ketika melihat perubahan volume cahaya? Entah saya yang terlalu pesimis atau memang kesia-siaan ketika sipil meminta mereka agar berhenti memukul. Bukankah itu sama saja seperti manusia yang meminta ayam agar berhenti berkokok?
Penulis: Hastomo Dwi Putra
Editor: Mukhtar Abdullah