Pembredelan dan kekerasan terhadap Pers Mahasiswa kian marak. Pers Seluruh Indonesia mengadakan diskusi Publik mendorong pembuatan Memorandum of Understanding (MoU).

Posisi Persma di kampus menghadapi situasi yang problematis. Tak jarang, lantaran kritik yang dilayangkan kepada kampus, Persma menjadi sasaran intimidasi. Karenanya Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional mengadakan diskusi publik bertajuk Kekerasan Terhadap Pers Mahasiswa pada Jumat (21/8/2022), melalui aplikasi Zoom Meeting. Tujuan diskusi ini adalah memberi wadah kepada seluruh mahasiswa mengkaji isu-isu kekerasan terhadap Persma dan menemukan solusinya bersama dengan Dewan Pers.

Menanggapi isu-isu kekerasan yang sering terjadi di kalangan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Adil Al Hasan, Ketua advokasi PPMI Nasional mengatakan bahwa kasus yang sering terjadi biasanya: pembekuan dana, pembubaran, pembredelan, kriminalisasi, dan penyensoran.

Mengambil data dari persma.id mengenai kekerasan yang terjadi di Persma; 13,8% mendapat pemukulan, 34,5% mendapat intimidasi, 6,9% mendapat ancaman Drop Out (DO), 1,7% mendapat perundungan, 3,4% mendapat ancaman pembunuhan, 3,4% kekerasan seksual, 3,4% pembekuan organisasi, 3,4% pembubaran aksi, 3,4% pembekuan dana, 3,4% mendapat sensor, 5,2% mengalami penculikan, 6,9% mengalami kriminalisasi.

Adil melanjutkan, maraknya kekerasan yang terjadi membuat Persma merasa takut untuk sekedar memulai kerja-kerja jurnalistiknya. Mereka merasa bahwa Persma harus tunduk kepada kampus dan tidak memberitakan isu yang akan mencederai nama kampus. “Beberapa Persma tidak tahu bahwa seharusnya Persma memiliki posisi sejajar dengan institusi kampus,” tegas Adil.

Menanggapi hal tersebut, Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan bahwa karya jurnalistik yang dibuat oleh Persma memiliki nilai yang sama dengan karya jurnalistik buatan media nasional. “Masalahnya, Persma ini masih dalam tahap belajar, jadi sering dipandang sebelah mata atau tidak profesional,” ungkapnya.

Iklan

Sasmito Madrim melanjutkan, dari sisi hukum Persma masih belum memiliki regulasi pengamanan yang kuat. Baginya hal ini penting demi mendukung proses pembelajaran bagi anggota Persma. Ia menyarankan Dewan Pers untuk membuat MoU supaya membuat Persma sejajar dengan pers nasional pada umumnya.

Dari sisi akademik, Diah Al Uyun, anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan bahwa kehadiran Persma dalam kampus penting adanya dalam kebebasan akademik. Karena memiliki cara kerja yang berfokus pada pengumpulan data. Sayangnya, kebebasan akademik hanya dianggap milik dosen dan birokraksi kampus. “Harusnya itu milik seluruh civitas akademik,” pungkasnya.

Ia menyatakan bahwa lingkup akademik kampus tidak terbiasa menemui perdebatan dimana yang satu membalas yang lain dengan data. Justru yang ada malah membalas data dengan ancaman DO, ini adalah tindakan yang licik. Kampus malahan terlihat menyangkal kecacatannya sendiri.

Ninik Rahayu, anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Penelitian mengapresiasi diskusi ini. Ia berharap agar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) aktif dan responsif mengikuti diskusi demi menyusun regulasi perlindungan yang tepat bagi Persma. Ninik melanjutkan, Dewan Pers mendukung pembuatan MoU yang dapat melindungi kerja-kerja Persma tanpa ancaman pembredelan ataupun kekerasan.

 

Penulis: Riyas

Editor: Qori