Kekerasan seksual dewasa ini marak terjadi. Namun, seringkali kekerasan seksual dimaknai sebagai hal yang sepele di mata masyarakat. Hal ini kemudian disebut sebagai budaya perkosaan (rape culture). Budaya ini melihat kekerasan seksual sebagai gejala yang sudah dianggap umum dan normal dalam masyarakat, dibentuk dari nilai-nilai sosial yang misoginis dan seksis. Maka, ada stigma lebih besar kepada para korban (mayoritas perempuan) daripada kepada para pelaku (mayoritas laki-laki).
Padahal, kekerasan seksual adalah hal yang sangat serius. Dampak yang dihasilkan bersifat jangka panjang dan benar-benar menekan psikis sang korban akibat terdapat budaya perkosaan. Korban menjadi takut untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialami karena nantinya mereka mendapatkan intimidasi. Perempuan, sebagai kelompok korban yang dominan, memilih bungkam dan memaklumi pelecehan yang mereka alami.
Kekerasan seksual juga terjadi dalam lembaga pendidikan, khususnya di kampus. Agni (bukan nama sebenarnya), mahasiswi asal Universitas Gadjah Mada (UGM) dilecehkan oleh Hardika Saputra, yang juga mahasiswa kampus tersebut saat mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Malapetaka menimpa Agni pada 30 Juni 2017. Ia berniat menemui teman perempuannya untuk membicarakan program KKN, tetapi nahas menimpa dirinya.
Setelah kejadian tersebut, Agni berupaya untuk melaporkan kekerasan seksual yang menimpa dirinya. Upaya pelaporan oleh Agni sering kali terhambat prosesnya. Bahkan Hardika, sang pelaku sengaja merekayasa kasus tersebut agar dirinya terbebas dari jerat hukum.
Handika berkata kepada Dosen Pendamping Lapangan (DPL), Adam Rahardjo bahwa ia khilaf melakukan kekerasan seksual kepada Agni, tanpa menyebutkan bahwa ia bersalah atas kasus tersebut. Ini menandakan bahwa Hardika sengaja mengarahkan anggapan dosen bahwa tindakannya terjadi atas dasar saling suka. Jelas dalam narasi Agni yang dipublikasi oleh BPPM Balairung UGM, sang pelakulah yang bertindak kurang ajar kepadanya.
Ditambah lagi dengan banyak pihak di UGM yang cenderung menekan Agni agar menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan. Mengutip berita di BPPM Balairung UGM, salah satu pejabat di Departemen Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM yang tidak mau disebutkan namanya menganalogikan Agni sebagai ikan asin. “Jangan menyebut ia korban dulu. Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam Bahasa Jawa) pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan,” jelasnya. Tentu pendapat dari mulut pejabat ini bersifat misoginis, dan juga menyalahkan korban karena turut berperan aktif dalam kejadian nahas tersebut.
Kasus kekerasan seksual yang diterima oleh Agni malah tidak ditanggapi dengan serius oleh pihak kampus. Agni juga dituduh sebagai pihak yang bersalah atas kasus yang menimpanya. Hal ini berdampak pada nilai KKN Agni. Agni mendapat nilai C dan ketika ia berusaha untuk menanyakan kepada Ketua Subdirektorat KKN, Djaka Marwasta, ia menolak untuk menjawab. Padahal Agni sudah menjalankan program KKN dengan baik. Namun, Ketua KKN tersebut malah menganggap Agni membuat malu nama kampus karena kasusnya dan juga ia disuruh untuk mengakui kesalahannya.
Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pun pernah diterpa kasus kekerasan seksual. Kasus ini dilakukan oleh dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (P-IPS), Andri Rivellino terhadap seorang mahasiswi berinisial FN pada 2015. Namun, upaya untuk melaporkan Andri malah mendapat tantangan dari sang pelaku. Andri berani melaporkan seluruh elemen di UNJ yang berupaya memenjarakan dirinya, termasuk LPM Didaktika yang meliput serta mengawal kasus ini.
Padahal, jelas-jelas ia bersalah atas kasus ini. Andri menggunakan jabatannya sebagai dosen demi melancarkan kekerasan seksual terhadap mahasiswi UNJ. Relasi kuasa juga terdapat dalam kasus ini. Andri melancarkan ancaman kepada FN berupa tidak diluluskannya ia di salah satu mata kuliah yang diampunya.
Kasus terbaru datang dari Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat. Bunga (bukan nama sebenarnya) dilecehkan oleh dosen mata kuliah Prodi Seni Drama, Tari, dan Musik bernama Fabio Yuda. Kekerasan seksual itu terjadi pada tanggal 10 Desember 2019. Bunga yang sedang berada di lingkungan kampus UNP untuk menjalani Ujian Tengah Semester mata kuliah Tari dan Randai, menjadi korban tindakan bejat yang dilakukan oleh Fabio Yuda.
Dilansir dari langgam.id, UNP bereaksi tegas dengan memecat dosen pelaku kekerasan seksual melalui sidang majelis kode etik. Ganefri, Rektor UNP menyatakan bahwa pihak kampus sudah merekomendasikan pemecatan terhadap Fabio Yuda ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Namun, sampai sekarang laporan itu belum diproses oleh Kemdikbud.
Ganefri melanjutkan bahwa Fabio Yuda membawa dokumen-dokumen yang digunakan sebagai tanda keberatan ke mejanya. Namun, ia menolak dengan tegas pengajuan keberatan tersebut. “Sekarang dosen itu mencari pembelaan. Tapi dia tidak ada ampun bagi kami, suka tidak suka ia harus berhenti,” tegasnya.
Sumber mengenai kasus kekerasan seksual juga didapat dari testimoni yang disusun oleh kolaborasi tiga media massa: tirto.id, VICE Indonesia, dan The Jakarta Post. Ada 174 kasus yang berhubungan dengan lembaga perguruan tinggi, dan hampir seluruh testimoni dari korban yang berstatus mahasiswa. Testimoni kekerasan seksual itu tersebar di 29 kota dan berasal dari 79 perguruan tinggi. Fakta menarik ditemukan oleh ketiga media tersebut. Ada juga tujuh penyintas yang gendernya laki-laki. Bisa diartikan dari penemuan tersebut, korban kekerasan seksual tidak memandang gender.
Laporan dari BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI) juga melegitimasi bahwa kekerasan seksual menjadi hal yang serius di lingkungan pendidikan. Ada 21 orang dari 177 responden pernah mengalami pelecehan seksual di UI. Namun, pelaporan tersebut banyak yang urung ditindaklanjuti secara serius karena akan muncul stigma buruk di lingkungan kampus itu sendiri.
Menyusun Regulasi Penghapusan Kekerasan Seksual di Kampus
Hal yang sudah disebutkan di atas menandakan bahwa institusi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi menganggap kasus kekerasan seksual ini merupakan pelanggaran ringan. Laporan dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) yang dikutip dari TEMPO (26/11/2018) menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki regulasi khusus untuk kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun terdapat lemahnya lembaga perguruan tinggi dalam menindak pelaku kekerasan seksual. Sebagai contoh di Amerika Serikat, lembaga yang menaungi kompetisi cabang olahraga antar kampus, National Collegiate Athletic Association (NCAA) pada masa lampau tidak bisa menindak secara tegas mahasiswa yang berstatus atlet yang terbukti melakukan pelecehan atau kekerasan seksual ke mahasiswa lainnya.
Perihal ketidaktegasan NCAA terhadap pelaku kekerasan seksual, ada sebuah kasus yang menimpa alumnus Oregon State University Brenda Tracy di tahun 1998. Kasus itu melibatkan dua pemain American Football asal Oregon State University sebagai pelaku kekerasan seksual di kampus tersebut. Atas kejadian yang menimpanya, Brenda berusaha aktif menceritakan tentang pentingnya melawan kekerasan seksual di lebih dari 80 kampus dan sekolah menengah yang dikunjunginya.
Dilansir dari USA Today Network, Brenda mengatakan bahwa isu kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak bisa lagi ditolerir oleh siapapun, baik dari NCAA maupun dari jajaran akademik di kampus. “Ini (kekerasan seksual -red) adalah isu yang berhubungan dengan hidup-dan-mati, NCAA punya peluang untuk mengatasi kekerasan seksual,” tegasnya.
Ia juga mengadakan petisi untuk menuntut ketegasan NCAA dalam mendiskualifikasi atlet pelaku kekerasan seksual dari kompetisi serta mengeluarkannya dari kampus, yang ditandatangani oleh lebih dari 150.000 orang pada 2016.
Berdasarkan investigasi dari USA Today Network, dari 35 universitas terbukti 531 mahasiswa melakukan kekerasan seksual sejak Januari 2014. Dari angka tersebut, 47 mahasiswa berstatus student-athlete yang bermain di kompetisi NCAA Divisi I dan terbanyak dari cabang olahraga American Football (30 orang). Mereka menemukan kurang lebih 33 atlet sejak tahun 2014 yang ditransfer ke tim olahraga lainnya saat dinyatakan sebagai pelaku kekerasan seksual oleh pengadilan.
Data ini didukung oleh salah satu temuan media tersebut terhadap atlet bola basket yang terbukti melakukan kekerasan seksual yang melakukan transfer ke kampus lain. Brandon Austin, sang atlet bola basket yang juga pelaku berpindah dari Providence University ke Oregon University untuk menyiasati hukuman dari kampusnya. Tim ofisial bola basket Oregon Ducks, termasuk sang pelatih Dana Altman tidak bereaksi untuk menolak Austin meski ia melakukan kekerasan seksual di kampus sebelumnya.
Karena itu, NCAA kemudian memahami betapa bahayanya kekerasan seksual di kampus. Sering kali student-athlete yang melakukan kekerasan seksual ini mendapat keuntungan dari statusnya sehingga penanganannya, baik dari kampus maupun lembaga penaung kompetisi olahraga tidak serius.
Maka dari itu, NCAA membuat Commission to Combat Campus Sexual Violence yang dibentuk pada 2016 sebagai upaya untuk menangani budaya perkosaan yang terjadi di kampus, terutama menghukum atlet yang terbukti melakukan kekerasan seksual serta berupaya untuk melarang mereka bergabung di tim olahraga kampus manapun. NCAA juga bekerja sama dengan crisis center, baik dari pihak independen maupun pihak kampus serta terhubung dengan lembaga bantuan hukum untuk memberikan advokasi serta rehabilitasi bagi korban kekerasan seksual.
Kembali lagi ke Indonesia, regulasi kekerasan seksual mulai diterapkan di beberapa kampus. Salah satu contohnya di Universitas Indonesia. UI menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk kasus kekerasan seksual melalui buku saku. Ligwina Inge Nurtjahyo (Fakultas Hukum) dan Saraswati Putri (Fakultas Ilmu Budaya) adalah orang di balik penyusunan buku saku tersebut.
Saraswati Putri, dilansir dari The Conversation mengatakan perguruan tinggi di Indonesia harusnya berinisiatif membuat panduan untuk korban pelecehan seksual di kampus mengingat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) belum disahkan.
“Selain panduan pelaporan, kami juga mensyaratkan SOP ini bekerja dengan maksimal kalau ada gugus tugas yang dapat bekerja, ada suatu wadah terpadu yang disebut sebagai crisis center (pusat krisis) khusus untuk kekerasan seksual,” tegas Saraswati, seperti dilansir dari The Conversation. Ia melanjutkan bahwa crisis center akan menjadi pusat yang sinergis, mulai dari memberikan pendampingan psikologis dan hukum sampai ke pemberian edukasi dan mendata kasus kekerasan seksual di kampus.
Di Indonesia sendiri secara resmi belum ada crisis center di perguruan tinggi khusus untuk korban kekerasan seksual. Crisis center yang ada baru sebatas melalui pihak independen di kampus, seperti HopeHelps di UI dan Study and Peace (SPACE) di UNJ. Padahal, crisis center ini penting untuk menuntut pihak kampus mengakui sekaligus menangani budaya perkosaan.
Penulis: M. Rizky Suryana
Editor: M. Muhtar