Kamis (29/9), Historia, situs web bermuatan artikel sejarah, menyelenggarakan diskusi bertajuk “1965: Sejarah yang Dikubur.” Diskusi menghadirkan Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia sebagai moderator beserta John Roosa, sejarahwan dari Universitas British Columbia, Kanada sekaligus penulis buku dalih pembunuhan massal dan Grace Leksana, sejarahwan dari Universitas Leiden, Belanda sebagai pembicara.

Bonnie membuka diskusi dengan menegaskan bahwa narasi sejarah tentang peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 hanya menggunakan narasi Orde Baru, tidak menerima narasi sejarah alternatif tentang peristiwa ini.

Narasi sejarah yang dibuat pemerintah menuduh PKI sebagai satu-satunya pelaku utama kudeta. Sementara itu, narasi sejarah alternatif membahas peristiwa pasca-G30S yang menghilangkan paksa orang-orang yang dituduh PKI, melibatkan pihak militer sebagai pelaku utamanya. Narasi sejarah alternatif ini menurut Bonnie pembahasannya ditolak di ruang-ruang publik.

Diskusi bertajuk 1965: Sejarah yang Dikubur di kanal YouTube Historia

John Roosa berkomentar soal narasi sejarah Orde Baru. Menurutnya, pemerintah gemar melakukan propaganda narasi sejarahnya melalui film yang menampilkan kekerasan, seperti film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang setiap tahun ditayangkan di televisi. Ia menolak hal tersebut.

Tidak ada perspektif sejarah yang mendukung kekerasan. Saya tidak bisa memahami orang-orang yang membenarkan kekerasan,” tegasnya.

Lebih lanjut, John Roosa juga menyinggung soal simposium yang membuka pintu rekonsiliasi antara dua narasi sejarah yang bertanding di ranah publik. Kedua narasi sejarah coba dijembatani oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada 18-19 April 2016. Simposium tersebut bertajuk “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan.”

Iklan

Di simposium tersebut hadir salah satu anggota keluarga korban peristiwa G30S, Agus Wijoyo (ketika itu menjabat sebagai Gubernur Lemhanas) menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh ayahnya (Sutoyo). Meski begitu, simposium tersebut menurut John tidak menemui titik temu. Malah bagi orang-orang yang menentang narasi sejarah alternatif sebagai isu kebangkitan PKI. Hal ini kemudian membuat John gerah dengan hasil simposium tersebut, namun tetap mengapresiasi usaha dari Agus Wijoyo untuk membuka tabir sejarah Peristiwa G30S.

Hal yang dilakukan oleh Agus Wijoyo sebenarnya hal yang progresif. Ia bilang tidak perlu takut untuk membuka masa lalu,” ucapnya. Senada dengan John, Bonnie mengatakan bahwa isu kebangkitan kembali PKI yang berhembus setelah simposium menjadi penghalang bagi terbukanya narasi sejarah alternatif tentang peristiwa G30S.

Diskusi kemudian beralih ke Grace Leksana yang menulis disertasi mengenai memori kolektif peristiwa pasca-G30S di salah satu desa di Malang, Jawa Timur. “Saya meneliti orang-orang yang terlibat dalam membantu pembersihan (kepada orang-orang yang dianggap simpatisan PKI -red) dan membahas posisi mereka setelah pembersihan tersebut,” ujarnya. Ia menegaskan posisi yang didapat setelah membantu pembersihan salah satunya menjadi sekretaris desa dan pamong desa, dan menurutnya hal itu digunakan untuk melegitimasi narasi sejarah a la rezim Orde Baru yang sarat dengan normalisasi kekerasan.

Ia menambahkan, normalisasi kekerasan tersebut diutarakan oleh seorang hansip yang diwawancarai oleh dirinya. Hansip tersebut mengatakan bahwa ia membantu operasi pembersihan simpatisan PKI supaya terdapat jaminan untuk desanya, meski sebagian anggota keluarganya terkena operasi tersebut dan dihilangkan secara paksa.

Grace juga mengatakan bahwa meski terdapat operasi pembersihan, warga di desa penelitiannya tetap hidup berdampingan. “Ketika wawancara, ada yang menyebutkan bahwa PKI sebenarnya salah, namun yang ditangkap malah orang-orang yang bukan PKI. Setelah itu, mereka tetap menerima keberadaan keluarga korban (yang dituduh PKI –red),“ sambungnya.

Sehubungan dengan narasi sejarah alternatif yang disinggung dalam diskusi ini, tentang peristiwa G30S, Bonnie kemudian mengarahkan diskusi ke penolakan narasi sejarah tersebut di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya narasi sejarah alternatif tentang G30S seringkali ditolak untuk dibahas di ruang-ruang publik. Terdapat persekusi terhadap diskusi yang membahas narasi kekerasan pasca-1965, termasuk juga penarikan buku-buku bermuatan narasi tersebut.

Untuk itu, Grace mengusulkan bahwa perlu adanya pembahasan tentang narasi tandingan atau alternatif sejarah mengenai G30S secara terbuka, sampai di tingkat desa. “Perlu adanya percakapan tentang sudut pandang lain dari peristiwa ini, melalui pengalaman korban-korban yang tertuduh di desa, tanpa harus dilarang dan dipersekusi oleh negara,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa negara ikut berperan membuka akses untuk riset arsip-arsip tentang peristiwa G30S yang tersembunyi.

Bonnie juga mengatakan bahwa upaya rekonsiliasi harus melibatkan negara, seperti yang dilakukan oleh Afrika Selatan pasca-apartheid. “Idealnya, perlu sosok Nelson Mandela, korban apartheid yang kemudian dijadikan pemimpin di negaranya. Namun, di negeri ini susah, orang-orang yang dituduh PKI malah didiskriminasi,” keluh Bonnie.

Sementara itu, John menyinggung soal sejarah G30S yang perlu dibangun dari perspektif kemanusiaan. Dengan melihat penyiksaan dan penghilangan paksa korban yang tertuduh PKI sebagai bentuk kekerasan yang seringkali diglorifikasi oleh negara. “Pemerintah perlu membuka akses bagi keluarga yang ingin mencari jenazah anggotanya yang dihilangkan paksa sebagai bentuk tanggung jawab,” tandas penulis buku Dalih Pembunuhan Massal ini.

Penulis/Reporter: M. Rizky Suryana

Iklan

Editor: Faisal Bahri