Masa Pengenalan Akademik (MPA) telah usai. Segala macam atribut dan yel-yel sebelum dan selama MPA berlangsung pun punah. Sudah tentu, hukuman-hukuman tidak jelas dan sangat dicari-cari untuk ikut lenyap. Semoga, perasaan merasa dikerjai tidak dilampiaskan kepada maba pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi, saya tidak begitu tertarik berbagai macam atribut dan segala macam tetk bengeknya pada tulisan ini.
Saya tertarik pada dua kata yang selalu terdengar jika saat MPA berlangsung. Kata-kata tersebut adalah “UNJ Satu”. Bagaikan mantera nenek moyang, frasa tersebut tak pernah berubah sejak saya mengikuti MPA beberapa tahun lalu. Atau mungkin frasa tersebut sudah ada sejak konversi Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta menjadi Universitas Negeri Jakarta pada 1999.
Satu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti sesuatu yang tak terpisahkan, erat, solid dan lain-lain. Mungkin ada benarnya frasa UNJ Satu, sebagai satu tempat belajar. Akan tetapi, pertanyaan yang pertama muncul ialah kenapa harus ada slogan UNJ Satu? Bukankah berarti tidak pernah ada kesatuan di UNJ, sehingga harus memunculkan slogan tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mahasiswa seperti apa yang ingin dibentuk UNJ melalui frasa UNJ Satu.
Sejak konversi IKIP ke universitas, UNJ tidak lagi hanya terfokus pada ilmu pendidikan tetapi membuka jurusan non kependidikan. Alhasil, peminat UNJ pun membludak. Sebelumnya, peminat IKIP sangat sedikit. Hal ini disebabkan, sangat terspesifikasinya lapangan pekerjaan bagi lulusan IKIP yakni sebagai guru. Pada masa itu juga, gaji guru dapat dikatakan sangat kecil. Bahkan, Iwan Fals menggambarkan susahnya hidup guru kala itu pada lagu Oemar Bakrie.
Kita kembali pada fokus, setelah konversi IKIP, UNJ mempunyai dua bidang keilmuan. Pertama, ilmu keguruan yang memang sejak didirikannya IKIP dipersiapkan untuk menjadi guru. Kedua, ilmu murni seperti Biologi murni, Kimia murni. Pembukaan keilmuan murni tak lain untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja dan tentu saja agar peminat UNJ meningkat sehingga dapat menambah penghasilan UNJ.
Celakanya, dua keilmuan tersebut tidak dapat melebur menjadi sebuah kesatuan di UNJ, hal itu tidak fokus dijalankan. Pertama, di bidang keilmuan pendidikan kita sangat mundur. Bukan hanya di UNJ, melainkan di Indonesia. Setidaknya itu yang dikatakan oleh Guru Besar Emiritus UNJ H.A.R Tilaar pada diskusi hari pendidikan nasional di UNJ, 30 April yang lalu.
Padahal mantan Pembantu Rektor (PR) I Zainal rafli dan PR I saat ini, Muchlis R. Luddin menyatakan bahwa UNJ tetap berada koridor kampus pencetak guru. Di bidang ilmu murni, UNJ masih sangat jauh di bawah kampus-kampus yang memang bukan bekas IKIP seperti UGM, UI, UNPAD, dan UNAND. UNJ memilih berada di dua kaki, tapi kedua kaki tersebut sangat rapuh. Bahkan, HAR Tilaar pernah mengatakan bahwa UNJ kampus banci karena tidak jelas apa yang ingin dituju, apakah ilmu kependidikan atau ilmu murni?
Konversi sudah hampir 20 tahun, miris rasanya jika UNJ belum satu dalam hal orientasi kependidikannya.
***
Pembahasan selanjutnya adalah mahasiswa seperti apa yang ingin diciptakan oleh kampus dalam konteks UNJ Satu. Menurut pendapat saya, saat pelaksanaan MPA atau selama saya berkuliah di UNJ. UNJ ingin membentuk mahasiswa yang tentu saja berprestasi baik secara kademik maupun non-akademik. Sederhananya, UNJ ingin mahasiswanya mengharumkan nama kampus dengan sederet piala. Akan tetapi, kampus agak risih dengan mahasiswa yang kritis melihat permasalahan kampus.
Dengan kata lain, UNJ ingin mahasiswanya untuk patuh terhadap kebijakan yang sudah tanpa perlu menanyakan reason de etre kenapa kebijakan tersebut ada. Kita bisa lihat dengan mata telanjang, UNJ baru saja membangun dua menara megah untuk perkuliahan. Sebentar lagi UNJ akan membangun lima selanjutnya. Tapi, berapa banyak mahasiswa yang tahu bahwa dana untuk membangun gedung tersebut hasil utang kepada Islamic Development Bank (IDB) dan dibayarkan oleh negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Artinya, dibayar melalui uang rakyat Indonesia.
Berapa banyak mahasiswa yang mengundurkan diri dari UNJ karena tidak memiliki biaya untuk membayar uang kuliah. Kemudian, berapa banyak pula mahasiswa yang tahu bahwa untuk perawatan gedung tersebut, UNJ mesti menaikkan biaya kuliah mahasiswa. Sebab, UNJ belum punya banyak tempat untuk menghasilkan pendapatan sendiri selain dari biaya kuliah mahasiswa.
Jika hanya sedikit mahasiswa yang tahu, artinya UNJ telah berhasil menghegemoni mahasiswa untuk menjadi UNJ Satu yakni sebuah kesatuan mahasiswa yang patuh terhadap kampus. Jika mengacu pada Antonio Gramsci, UNJ telah berhasil menciptakan intelektual tradisional yang (mungkin) ahli di bidangnya masing-masing tanpa memedulikan orang lain. Jika sudah seperti ini, apa masih layak rakyat harus membayar pajak kepada negara yang nantinya didistribusikan untuk mensubsidi UNJ? Jadi masihkah perlu UNJ Satu, tidak memiliki orientasi pendidikan yang jelas dan memisahkan mahasiswa dari permasalahan sekitar?
Virdika Rizky Utama