Seperti biasa, setiap Sabtu malam kami bertiga selalu berkumpul di warung kopi (warkop) langganan. Membicarakan apa saja kisah dari Minggu sampai Sabtu. Kami membicarakan masalah pekerjaan, perkuliahan, asmara, atau guyonan. Persekawanan kami jarang mengobrol lewat gawai, bagi kami mengobrol secara tatap muka lebih dapat feelnya. Berbicara lewat gawai hanya menatap layar saja. Tanda baca dan emoticon saja rasanya tidak mampu mewakili perasaan seseorang. Malah lebih sering salah paham jika lewat chat. Maksudnya begini, malah jadi begitu. Loh kok, seperti judul puisi siapa ya?
Setiap dari kami pasti sudah memiliki berjuta-juta cerita untuk diceritakan. Kami memiliki semuanya. Pembicaraan yang serius, setengah serius, atau tidak serius sama sekali. Ya, maklumlah. Kalau sabda Reval, “ngapain serius-serius amat sih jadi orang?” Ha! Itu sindiran sekali untukku yang tipikal menganggap segala hal harus dianggap serius.
Biasanya untuk bercerita kami harus melakukan ritual putar pulpen. Kalau pulpen itu mengarah ke salah satu dari kami berarti orang itu yang harus bercerita terlebih dahulu. Kami harus mendengarkan. Harus.
Tapi malam ini, saya tidak punya banyak hal untuk diceritakan. Sebenarnya ada, tapi teralihkan karena ibu. Saya baru saja melihat ibu pulang bekerja, ia begitu lelah. Sehingga pikiranku tidak terlepas dari raut wajah ibu. Ia menggerutu soal warga yang kadang masih membicarakannya bekerja di pabrik.
“Sudah harus capek bekerja, masih harus capek sama omongan orang,” batinku saat teringat kejadian sore itu saat ibu pulang kerja.
Walau saya tidak begitu menyukai ibuku karena beberapa hal, bagaimanapun apa yang aku makan dan aku pakai adalah hasil dari jerih payah ia. Saya memiliki perang dingin dengan ibuku. Persetan! Haruskah saya jelaskan mengapa. Itu hal biasa antara ibu dengan anak perempuannya. Entah itu egois sebagai seorang anak atau perempuan. Tidak tahu juga sebabnya. Tapi terus berlangsung hingga hari ini. Saya terus merawat perang dingin ini, ya, karena memang tidak ada cara untuk membicarakannya.
“Lu kenapa, bro?” suara Dila memecah lamunan saya.
Tidak sadar sedari tadi hanya menatap kosong mi kuah yang sudah disajikan abang warkop. Dari masih panas hingga dingin. Saya mengangguk, sambil berkata, “gapapa,” lalu tersenyum kecil.
“Apa sih, kalau gapapa itu geleng-geleng kepala. Kok lu malah ngangguk?” balas Dila.
Oh, iya. Bodoh sekali. Tidak sadar. Saya menggeleng lalu berkata gapapa. Mengoreksi kepalaku sendiri.
“Halah ada yang lagi ga sinkron, kepala sama mulutnya. Eh apa hatinya?” tanya Reval yang bernada menggoda.
“Apa karena pria itu?” tanya Dila.
“Udah tiga tahun masih aja ditungguin loh,” sambung Dila.
“Woy! Bu..” Reval keburu menyambar, “Oh, pria berambut ikal itu?” Reval menggulung rambut dengan telunjuknya. “Ya, namanya berusaha, Dil,” ia melanjutkannya dan tertawa puas.
“Ah, jangan bahas itu. Kasihan dia harus bertemu bajingan seperti gua!”
Tiba-tiba suasana jadi menjengkelkan. Saya tidak ingin teringat kembali dengan pria itu. Apa yang mereka katakan benar, saya hanya menyerah dengan pria.
“Tidak sepenuhnya karena pria itu, sih. Ini tentang ibu gua,”
“Ceritakanlah kami siap memesan mi instan lagi,” canda Dila sambil mengacungkan telunjuknya. Isyarat ingin memesan.
Mereka tahu jika saya bercerita itu akan panjang sekali. Saya akan menceritakan hal hal dengan detail dan memiliki intro. Terkadang bingung sendiri dengan obrolan saya. Beruntung mereka adalah pendengar yang baik. Jika tidak, saya mungkin sudah ditinggal tidur.
“Baiklah,” jawabku. “Bang, kopikap satu ya, jangan diaduk!” Saya memesan ke abang wakrop.
“Siap, neng!” tengil abang warkop sambil hormat militer kepada saya.
Menunggu kopi datang, saya menyalakan sebatang rokok. Sambil membumbungkan asap ke langit, saya memulai cerita.
Ibu saya adalah orang yang tidak pernah beristirahat dengan cukup. Pukul delapan pagi ia sudah mesti berangkat, pulang kadang pukul tujuh atau sembilan malam. Kira-kira sudah delapan tahun ia bekerja sebagai buruh pabrik konveksi. Buruh kancut merek terkenal. Harga kancut itu di pasaran bisa ratusan, tapi harga upah buruh untuk satu lusin kacut, ya, hanya kisaran dua ribu. Murah banget kan.
“Makanya jangan anggap remeh dua ribu. Buat dapet segitu aja mesti ngerjain satu lusin dulu,” Reval memotong.
“Benar,” jawabku.
Ia bisa mengerjakan berpuluh-puluh lusinan. Setiap pekerja punya targetannya. Seperti setiap minggu harus dapat berapa ratus lusin. Coba hitung saja sendiri harus berapa lusin kancut agar dapat upah yang cukup untuk kebutuhan hidup.
“Kok pada ga protes ya?” wajah Reval mendadak penasaran.
Saya mengambil napas dalam menjawab pertanyaan ini. “Ya, lalu apa?” “Ibu saya pernah protes karena kesalahan input target orang pabrik. Sehingga gaji ibu yang harusnya dua juta sekian, ini cuman dapat sejuta delapan ratusan,” jawabku sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja.
Ibu saya cukup vokal sebenarnya. Ia akan bergerak jika hal yang berkaitan dengan dirinya terganggu. Jadi ia mendatangi HRD dan bercekcok mulut soal salah input ini. Ibu saya perempuan yang tak mau kalah. Salah saja masih dibela, apalagi benar. Itu prinsip ibu saya.
Tapi saya yang takut kalau ibu saya terlalu vokal seperti itu kepada perusahaannya. Saya teringat kisah Marsinah. Tidak. Tidak boleh. Saya menyarankan ibu untuk menggunakan cara-cara yang lebih halus untuk mengkritik perusahaan.
“Ngomong-ngomong kenapa ibu lu bekerja? Kan ada bapak lu,” giliran Dila yang menyela.
“Oh, makasih bang kopinya sudah mendarat!” tangan saya menyambut kopi yang disodorkan abang wakop. “Soal itu,” sambil menyeruput kopi saya lanjut bercerita.
Ibu saya bukan perempuan yang hanya duduk diam saja di rumah. Kondisi perekonomian keluarga juga saat itu terpuruk. Sialan karena tertipu investasi bodong. Bodoh sekali bapakku sampai gadai tanah untuk investasi itu. Ah, namanya capek miskin. Giliran ada keuntungan yang menggiurkan maunya langsung jor-joran investasi uang. Pengen cepat-cepat kaya.
Karena menggadaikan tanah dan uang gadai raib dibawa lari investasi bodong, kami jadi berhutang ke bank. Saya masih ingat nominalnya sekitar 60 juta. Akhirnya ibu saya keluar dari kenyamanan rumah, dan bekerja di pabrik konveksi kancut dengan rumah saya. Ia bekerja karena sadar suaminya tidak bisa diandalkan. Dari dahulu bapak saya kerjanya angot-angotan. Tidak pernah serius. Prinsip dia tuh, kalau sudah dapat beras seliter ya sudah cukup untuk hari ini. Tidak pernah mencari tiga empat liter, supaya keesokan harinya ga perlu kerja keras lagi. Sudahlah, malas kalau membicarakan bapak saya.
Sejak ibu bekerja, ia banyak mendapat gosip-gosip beredar di kampung.
“Perempuan kok bekerja, kodrat perempuan ya, di rumah keles,” nyinyir bu RT.
“Emang kurang ya dikasih sama suaminya?” tanya bu RW.
“Gimana tuh anaknya nanti ga keurus,” bisik pak Lurah ke istrinya.
Lalalalala. Lilililili. Trilililili.
Ibu perempuan yang tegar. Ia melawan norma masyarakat, kalau perempuan hanya boleh di dapur, sumur, kasur. Ia keluar dan mencari uang atas nasib yang memperlakukannya dengan kejam. Ia tidak pernah meminta belas kasih dari orang lain. Ia berjuang dengan kedua tangannya sendiri. Lalu kenapa orang-orang repot membicarakan perempuan yang sedang berjuang untuk keluarganya.
Ia perempuan yang mencoba keluar dari kehidupan yang menyeretnya ke bawah. Ibu saya adalah seorang perempuan, ibu, dan istri yang mengalami ketidakadilan dari segi ekonomi. Pria, bapak, dan suami tidak cukup memenuhi sandang pangan. Jadi apa salahnya perempuan bekerja. Perempuan masa kini seolah memiliki beban ganda. Menjadi seorang ibu rumah tangga, juga menjadi seorang pekerja.
“Jadi seperti itu. Gua juga ga tahu harus ngomongin apa lagi,” saya menenggak kopi yang sudah mau habis.
“Eh gua abis baca buku tentang perempuan,” sahut Reval.
“Apa, Perempuan yang Dirindukan Surga?” jawabku sambil menyemburkan ampas kopi.
Reval melanjutkan pembicaraannya, “ett, tentang feminisme. Ibu lu feminis kali?”
Saya mencoba mengingat. Sepertinya saya pernah membicarakan ini dengan ibu saya.
“Tidak,” saya menyalakan sebatang rokok lagi.
Saya menghirup asap rokok dalam-dalam, dan menyelesaikan kalimat ibu. “Ibu lebih suka menyebut perempuan sebagai perempuan. Daripada menyebut perempuan sebagai feminis,” saya menirukan ucapan ibu saya yang waktu itu dijawabnya sambil menjemur pakaian.
Kresek, 8 Maret 2021
Imtitsal Nabibah