Kenaikan harga kedelai membuat produksi rumahan tempe tahu tercekik. Hal tersebut membuat mereka memutuskan untuk mogok produksi di akhir tahun 2020.

Harga kedelai sejak Oktober 2020 terus melonjak. Pada awal Oktober harga kedelai sekitar Rp7.200. Namun di akhir desember harga kedelai melonjak hingga mencapai Rp9.200 per kilogram. Kenaikan harga kedelai tersebut tentunya membuat produsen tahu dan tempe gelisah. Sebab, kedelai menjadi bahan baku untuk pembuatan tempe dan tahu.

Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kedelai Indonesia sepanjang semester I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

Ketergantungan impor tersebut menjadi hal yang disinyalir membuat harga kedelai naik di Indonesia. Sebab, dilansir dari Bloomberg, Fitch Solutions menaikkan proyeksi rata-rata harga kedelai tahun ini menjadi sebesar US$9,4 per bushel, untuk 2021 dan 2022 sebesar US$9,55 per bushel, sedangkan untuk 2023 dan 2024 sebesar US$9,45 per bushel . Hal tersebut, tentu berdampak kepada kenaikan harga kedelai di Indonesia, sebab AS dan beberapa negara Amerika Selatan seperti Uruguay dan Argentina merupakan salah satu importir terbesar kedelai di Indonesia.

Hal tersebut tentu langsung berdampak kepada pengrajin tahu dan tempe di Indonesia. Yanto, laki-laki paruh baya, salah satunya. Ia merupakan produsen rumahan tahu tempe di gang masjid Al-Falah kecamatan Pasar Minggu. Dirinya mengatakan, dampak dari kenaikan harga kacang kedelai membuat produksi dagangnya menurun.

Dalam sehari biasanya Yanto bisa memproduksi sebanyak 90 kilogram tempe per hari. Namun, karena harga kedelai yang melonjak, sudah sekitar dua bulan ini, ia hanya memproduksi 70 kilogram tempe dan tahu per hari. “Itu juga 70 kilogram ga habis kadang-kadang,” tuturnya.

Iklan

Selain itu, karena harga kedelai yang terus naik dan tak kunjung stabil. Ia mulai khawatir dengan nasib industrinya. Ia mengatakan, ada beberapa pekerjanya yang harus ia rumahkan. “Beberapa masih ada yang kerja. Yang kerja tetap saya kasih uang dan kasih makan. Sekarang mah di situasi seperti ini yang penting bisa makan dan gaji pekerja,” ungkap Yanto.

Kenaikan harga kedelai juga meresahkan Rohim, lelaki usia 37 tahun yang sudah 15 tahun menjadi pengrajin tahu dan tempe. Rohim mengaku sangat kesulitan karena omset yang menurun, menyebabkan ia kebingungan menggaji pekerjanya. “Iya kalo mau di rumahkan ya mereka punya keluarga, saya kasian juga. Tapi kalau kayak begini terus juga, jualan nggak untung, saya binggung gaji pakai apa,” kata Rohim.

Rohim mengatakan, beberapa siasat dilakukannya dalam menghadapi kenaikan kedelai. Salah satunya memperkecil ukuran tempe dan tahu yang ia produksi. Namun, ia justru mendapat cibiran dari konsumen. Akibatnya, justru semakin sedikit orang yang membeli tahu dan tempenya.

Akhirnya, Rohim, beserta beberapa anggota Koperasi Pengrajin Tempe Indonesia  (KOPTI) DKI Jakarta akan melakukan mogok produksi dari tanggal 31 Desember hingga 2 Januari. Rohim berharap dari mogok produksi tersebut pemerintah dapat menggubris keresahan yang dialami oleh rakyat. Sebab menurutnya, para produsen tahu dan tempe sudah taat terhadap aturan pemerintah. “Pemerintah nyuruh kita ganti dari kayu bakar ke gas kami nurut kok. Seharusnya, sekarang pemerintah mempedulikan kami, dengan menstabilkan harga kedelai,” serunya.

Perihal mogok produksi, KOPTI DKI Jakarta, melalui surat edaran, pada 28 Desember 2020, menuntut :

  1. Pemerintah agar membuat skema tata niaga kedelai yang saling menguntungkan. Meninggat pelaku usaha UKM tempe dan tahu jumlahnya cukup besar, yakni 5000.
  2. Pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak tahun 2006. Swasembada kedelai bukan berarti anti impor. Tapi hal tersebut ialah upaya penyeimbangan.
  3. Pemerintah agar segera mengevaluasi hasil produksi kedelai lokal yang selama ini setiap tahunnya data statistik produksi kedelai lokal rata-rata mencapai 800 ton sampai 900 ton/tahun, analisa kami jumlah ini jauh api dari panggang (tidak sesuai).

Reporter: Ridwan Alsyirad dan Uly Mega Septiani

Penulis: Uly Mega Septiani

Editor: Qory Hadiansyah