Warga Kampung Bambu terkena penggusuran, meski begitu uang ganti rugi yang mereka terima masih tidak sepadan
Warga Kampung Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara dikagetkan dengan adanya alat berat dan aparat gabungan tiba di kampung mereka, pagi hari Selasa (11/10/22). Penggusuran ini menyusul proyek pembangunan Stasiun KRL Temporary di Kawasan Jakarta International Stadium (JIS), Jakarta Utara.
Sementara itu, Zeva Siahaan, warga Kampung Bambu menyatakan menolak penggusuran tempat tinggalnya. Baginya, dana ganti rugi dari pemerintah tidak sesuai dan masih kurang mencukupi.
“Dana yang dikasih kecil, rentangnya hanya 700 sampai 2 jutaan per rumah,” ungkapnya saat ditemui tim Didaktika di lokasi.
Padahal sebelumnya, saat warga bertemu dengan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono di Hotel Mercure, Ia menjanjikan akan adanya ganti untung yang layak. Bahkan, kamar mandi, toilet hingga tanaman pun dihitung.
Hitung-hitungan yang dilakukan pun hanya asal-asalan. Bahkan tidak ada tindak pengukuran yang dilakukan oleh pihak Kelurahan Papanggo secara resmi. “Mereka hanya menomori rumah, tidak pernah ada pengukuran, semuanya asal tembak,” ungkapnya.
Selain itu, dari pihak kelurahan sendiri, tidak pernah ada audiensi dan diskusi kepada warga. “Mereka tidak pernah mau tau apa yang kami inginkan,” ungkapnya.
Seingat Zeva, sekitar seminggu yang lalu, warga diundang ke kelurahan untuk menandatangani surat supaya mendapat dana kerahiman.
“Waktu itu beberapa warga ‘ditakut-takutin’ mereka malah tidak akan dapat uang kalau tidak tandatangan, makanya kebanyakan warga setuju,” ungkapnya.
Beberapa hari setelahnya, Surat Peringatan (SP) 1 dari PT. Kereta Api Indonesia (KAI) turun, untuk warga agar segera membongkar bangunannya. Setelah itu SP 2 dari KAI turun pada 5 Oktober, dilanjutkan SP 3 yang keluar tanggal 6 Oktober, dimana memberikan warga waktu hingga Senin (10/10/22) untuk segera membongkar rumahnya.
“Mau ga mau kita terima, karena kita tau kita orang kecil,” ujar Zeva.
Sementara itu, perwakilan warga dari Kampung Bambu, Ferry Y. Kalele sempat mengadukan kasus ini ke Komnas HAM. Saat munculnya SP 3 oleh KAI, dirinya mengirimkan surat kepada Komnas HAM untuk mendorong penghentian sementara rencana penggusuran, karena masih ada warga yang keberatan atas kompensasi ganti rugi.
Surat dari Komnas HAM pun turun pada Selasa (11/10/22), yang isinya meminta pihak yang berwenang—PT KAI dan Walikota Jakarta Utara—untuk menunda penggusuran dan melakukan pendekatan persuasif kepada warga yang masih menolak.
“Saya sempat kasih surat itu ke Lurah dan humas PT KAI, tapi mereka tetap tidak bergeming,” ungkap Ferry.
Baca Juga: Produksi Ruang dan Perjuangan Merebut Hak atas Kota
Tidak sampai situ, Ferry juga sempat melayangkan surat keberatan kompensasi ganti rugi ke kantor gubernur pada 6 Oktober lalu. Namun, masih belum ada kejelasan dari mereka.
Selain Zeva, keluarga yang keberatan dengan kompensasi ganti rugi adalah keluarga Abbas. Bu Abbas, wanita paruh baya istri dari Pak Abbas masih terus menolak rencana penggusuran rumahnya karena uang ganti rugi yang tidak manusiawi.
Keputusannya untuk menolak sebenarnya merupakan dampak dari pengalaman kelamya di masa lalu. Ia sempat menjadi korban penggusuran tanpa kompensasi Taman BMW tahun 2008. “Saya sudah rasakan penggusuran di Taman BMW, saya tidak akan digusur lagi tanpa kompensasi yang layak,” ungkap Abbas.
Dirinya hanya menginginkan ganti untung yang layak. Apalagi yang Ia dengar, ada beberapa warga di Kampung Bambu yang dapat nominal besar, namun dirinya dan kebanyakan warga mendapat ganti rugi yang sedikit.
Paling tidak, bagi Abbas nominal yang diberikan pemerintah sama dengan saat penggusuran Kampung Bayam yang mencapai puluhan juta. Baginya, uang kompensasi 2,9 juta tidak lebih untuk biaya bongkar rumah dan hidup sebulan.
“Kami tidak ada niat menghalangi pembangunan, kami hanya ingin lebih dimanusiawikan,” ungkap Abbas.
Sementara saat dikonfirmasi tim Didaktika, Lurah Papanggo Tomi Haryono tak terlalu memikirkan warga yang menolak. Baginya hal itu merupakan hak mereka dan kami hanya bisa menunggu saja sampai mereka terima.
Terkait dengan surat dari Komnas HAM, Tomi tidak terlalu ambil pusing karena dirinya merasa tidak merampas. “Tanah ini milik KAI, kami hanya mengambil kembali tidak mencuri,” ungkap Tomi.
Mengenai biaya kompensasi yang dinilai terlalu rendah pun, Tomi tidak tahu menahu karena baginya kompensasi itu tanggungjawab KAI.
Penulis: Izam Komaruzaman
Editor: Asbabur Riyasy