Sejak keluarnya Undang-undang Perguruan Tinggi (UUPT) No. 12 tahun 2012, pemerintah mulai menggalakkan kebijakan otonomi kampus bagi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi subsidi pemerintah dan mendorong PTN secara otonom dapat mengatur serta mengelola penyelenggaraan pendidikan tinggi di masing-masing lembaga. Di dalam UU tercatat ada dua jenis otonomi yang diatur, otonomi di bidang akademik dan non-akademik.

Otonomi kampus juga diwadahi dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan pendidikan (PP No. 4 Th. 2014) dalam skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) dan Badan Layanan Umum (PTN-BLU). Dua skema tersebut dalam pelaksanaannya memungkinkan perguruan tinggi negeri mengelola aset yang diberikan negara (PTN-BH) serta membuka kesempatan untuk bekerja sama dengan pihak ketiga, mendapat hibah dan membuka unit usaha. Kedua hal tersebut sudah sejak lama ditolak sebab merupakan ekses dari ratifikasi nota kesepakatan GATS yg dirancang IMF untuk me-liberalisasi sektor jasa, salah satunya pendidikan. Pada akhirnya, pemerintah/negara tidak lagi bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan.

Buntut dari kebijakan otonomi ini adalah seretnya dana yang dimiliki kampus untuk memenuhi kebutuhan operasional. Logika otonomi sejatinya mengedepankan peningkatan kualitas lembaga agar dapat membangun kerjasama dan mendapat dana hibah lewat produk riset yang ideal. Namun, banyak PTN yang lebih memilih jalan pintas untuk meraup dana, yaitu dengan membebankannya kepada mahasiswa.

Alhasil, biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa setiap tahun makin meningkat. Dilansir dari Tirto.id, berdasarkan survei yang dilakukan Bank Indonesia di Yogyakarta pada tahun 2015, terdapat peningkagan biaya kuliah dari tahun sebelumnya sebesar 53% untuk program diploma dan 18% untuk program sarjana. Sedangkan diwilayah lain, peningkatan biaya kuliah juga terjadi meskipun survey yang komprehensif sampai saat ini belum dapat saya akses.

Selain meningkatkan biaya uang kuliah tunggal, PTN juga mencari dana dari sumbangan awal atau yang lebih dikenal sebagai uang pangkal. Dasar dari penerapan uang pangkal di PTN tercantum dalam pasal 8 Permenristekdikti No. 39 tahun 2017. Dalam aturan tersebut, PTN diperbolehkan untuk menarik uang pangkal kepada mahasiswa yang diterima melalui beberapa jalur, yaitu Mandiri, Kelas Internasional, Mahasiswa Asing, dan Mahasiswa yang diterima dari jalur sarjana. Inilah solusi singkat yang diambil oleh PTN untuk memenuhi kebutuhan dananya, bukan dengan peningkatan dan perbaikan kualitas produk unggulan yang dapat menarik pihak ketiga menjalin kerjasama atau memberi hibah.

Jalan keluar yang diambil oleh PTN dengan mengkambing-hitamkan pemerintah yang mengurangi subsidi serta membebankannya kepada mahasiswa memunculkan pertanyaan terhadap kemampuan lembaga PTN mengadopsi skema otonomi (PTN-BH dan BLU). Jika dampak yang muncul malah masalah biaya kuliah yang semakin naik tiap tahunnya, masihkah skema tersebut dipertahankan? Bukannya mendorong kualitas perguruan tinggi, skema tersebut malah semakin mempersempit akses masyarakat untuk dapat menikmati pendidikan tinggi.

Iklan

Evaluasi terhadap kebijakan pendidikan tinggi patut kita tuntut kepada pemerintah agar ke depan seluruh  masyarakat Indonesia dapat memenuhi haknya menempuh pendidikan di setiap jenjang. Regulasi yang mengatur otonomi kampus harus segera direvisi, bahkan dicabut dan diganti dengan sebuah regulasi yang berpihak pada masyarakat, khususnya yang berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. Ini sepenuhnya merupakan amanat konstitusi bangsa bahwa tanggung jawab negara adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

Luqman Abdul Hakim, Ketua FPPI Jakarta