Memperingati Dies Natalis Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ke-52, Didaktika mengadakan Diskusi Publik “Kompetisi Kontra Edukasi” sekaligus meluncurkan majalah edisi 46 Pemisahan Dikti dari Kemendikbud (9/6). Diskusi bertempat di Aula Daksinapati Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP).
Dalam acara itu mengundang Irsyad Ridho, dosen prodi Sastra Indonesia dan Samadi, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Masalah Kemasyarakatan Lembaga Penelitian (Lemlit). “Proses pendidikan berasal dari persoalan kebudayaan, ada hubungannya dengan politik. Bicara soal konteks penelitian maka akan ada aliran pendidikan” ungkap Irsyad Ridho.
Irsyad mengatakan jika merunut dari sejarahnya, terdapat empat aliran pendidikan. Pendidikan liberal, pendidikan instrumental, pendidikan emansipatoris dan pendidikan progresif. Keempat aliran pendidikan berorientasi pada setiap zamannya. Pendidikan Liberal muncul setelah revolusi perancis, pendidikan instrumental tumbuh ketika zaman kolonialisme atau kapitalisme. Sementara pendidikan emansipatoris dan pendidikan progresif terjadi setelah kemerdekaan.
Pria berkacamata tersebut menganggap Indonesia menganut keempat aliran pendidikan ini. “Cara meramunya terkadang aneh, namun terkadang juga bagus,” ujarnya. Penggunaan aliran pendidikan di setiap kampus ditentukan oleh apa bidang keilmuannya. Seperti bidang keilmuan humaniora lebih condong menggunakan pendidikan liberal.
Menurutnya sekarang adalah zaman pascamodern. Dimana terdapat modifikasi ketika kita melihat sesuatu. Sebagai analogi, jika mobil dulu hanya dilihat sebagai kendaraan, maka pada zaman pascamodern ada hasrat dimana mobil memiliki nilai status diri seseorang. Hal ini juga terjadi pada pendidikan, dimana pendidikan dijual seperti halnya mobil. “Pendidikan telah kehilangan roh awalnya, pendidikan masuk dalam aliran instrumentalistik demi ekonomi,” jelasnya.
Ia menambahkan, semestinya sekolah dilihat sebagai hak publik yang wajib disubsidi. Namun pendidikan di Indonesia nyatanya ditentukan oleh pemerintah bersamaan dengan pasar atau pemilik modal. “Kompetisi hanya dijadikan alat privatisasi,” tegasnya.
Lain halnya dengan Samadi, ia menerangkan penelitian di UNJ sudah wajib sejak 2011. Penelitian saat itu dinilai buruk. Sekarang, penelitian harus dibuat berdasarkan satu pandangan dengan Dikti. Ada kendala pada dosen senior yang agak sulit mengikutinya. Penelitian menjadi sedikit sehingga 60 % dana tidak terserap.
Menurutnya perpindahan kemendikbud ke kemenristek, berdampak pada dana penelitian menjadi semakin kecil. Dikti menyarankan peneliti untuk mencari dana lewat sponsor. Namun hal ini sulit dilakukan oleh dosen yang tidak kreatif.
Samadi menolak jika penelitian hanya dianggap sebagai pesanan pemilik modal. Lemlit mengadakan penjaminan mutu, fungsinya menjamin hasil penelitian dapat dipertanggung jawabkan. Reset pertahun harus dipublikasi dari sanalah akan terlihat dosen yang sungguh-sungguh ketika meneliti.
Berdasarkan data Scopus, UNJ berada pada peringkat 38 perguruan tinggi seluruh Indonesia. Menurut Samadi, UNJ sedang berusaha mengejar ketertinggalannya. Meski untuk itu UNJ butuh waktu.
Naswati