Rabu (21/8), bertempat di Ruang 104 Gedung Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ikatan Alumni (IKA) UNJ menggelar Forum Diskusi Pedagogik bertema “Pemikiran Pendidikan Bapak Bangsa”. Diskusi ini menghadirkan Jimmy Philip Paat, dosen Program Studi Sastra Perancis dan Yana Priyatna, pengajar pemikiran Bung Karno sebagai pembicara.

Menurut Jimmy Philip Paat, pemikiran pendidikan Ki Hajar, ialah membuat manusia yang tidak bergantung pada orang lain, melainkan bersandar pada diri sendiri.

Melanjutkan tentang konsep merdeka, Jimmy pun mengingatkan bahwa manusia hidup bersama manusia lain. Artinya, kemerdekaan itu bersifat kolektif. “Kemerdekaan individu jangan sampai merusak kemerdekaan individu lain,” katanya.

Masih mengutip Ki Hajar Dewantara, manusia yang merdeka adalah manusia yang berbudi pekerti. Secara definitif, budi adalah bersatunya pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Sedangkan, pekerti adalah tenaga yang mendorong ketiga hal tersebut.

Dosen yang juga aktif sebagai aktivis pendidikan ini juga mengkritik pendekatan behaviouristik yang mengedepankan reward dan punishment. Sebab, menurutnya, hal itu memperkosa kehidupan batin anak. Ia melanjutkan, jangan sampai siswa itu melakukan sesuatu karena paksaan. Ki Hajar Dewantara, lanjutnya, juga mengkritik syarat, hukuman, ganjaran, dan ketertiban dalam pendidikan. Hal tersebut sangat mengganggu gerak manusia dalam pendidikan. “Makanya, ketertiban itu dilanggar karena hadir dari luar diri manusia, tanpa kesadaran,” tegas Jimmy.

Hukuman, berdasarkan paham pendidikan dilakukan untuk mengerti bahwa semua tindakan itu menghasilkan akibat. Bukan berarti mengajarkan tentang hukuman. Hukuman dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, memiliki beberapa syarat. Pertama, harus selaras dengan tindakan yang dilakukan. “Contohnya, siswa yang terlambat dihukum dengan dipulangkan lebih akhir, bukan disuruh berdiri di depan kelas,” kata Jimmy.  Kedua, hukuman harus bersifat adil. Ketiga,  harus segera dilakukan, karena agar siswa mengetahui keterkaitan antara tindakan dan akibatnya.

Iklan

Perihal hukuman, Jimmy mempertanyakan tujuan hukuman yang sering dilaksanakan oleh guru saat ini. Ia mengatakan, “melatih anjing saja tidak boleh dihukum, apalagi manusia?”. Mengutip ungkapan Ki Hajar Dewantara, “hukuman adalah siksaan”.

Kembali menjelaskan pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tindakan kultural, yaitu tindakan memperhalus, memperbaiki, dan mempertinggi ketajaman berpikir anak dan budi pekertinya. Selain itu, menurut Ki Hajar Dewantara setiap manusia memiliki insting untuk mendidik dan mengajar, seperti orang tua kepada anaknya. Namun, menurutnya untuk menjadi guru tidak cukup menggunakan insting saja. Guru juga harus menguasai ilmu pengetahuan tentang pendidikan.

Mendampingkan pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan pemikir pendidikan kontemporer, yaitu Gert Biesta. Keterkaitan kedua pemikir tersebut ada pada konsep ilmu pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara, Ilmu pendidikan tidak dapat berdiri sendiri, dalam arti memerlukan bantuan dari ilmu-ilmu lain. Misalnya, pedagogik, fisiologi, psikologi, etika, estetika, dan ilmu tambo (sejarah).

Menurut Jimmy, hal itu menggunakan konsep interdisiplin pedagogik, sama seperti yang dikembangkan oleh Gert Biesta. “Biesta mengembangkan ini dengan memasukan disiplin psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, filsafat pendidikan, dan sejarah pendidikan sebagi ilmu bantu,” ucapnya.

Tidak hanya mendampingkannya dengan Biesta, Jimmy juga mendampingkan pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan Jean Jacques Ranciere. Jimmy menganggap bahwa keduanya sama-sama menggunakan emansipasi dan kemerdekaan dalam dunia pendidikan.

Sementara, Yana Priatna, memaparkan pemikiran pendidikan Bung Karno yang merupakan cermin kehidupan bangsa di mata Bung Karno. Pendidikan di Indonesia, lanjut Yana, diisi dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda, seperti Muhammadiyah membangun sekolahnya, Nahdlotul Ulama membuat pendidikan pesantren, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) membuat perguruan rakyat. “Hal itu menjadi cermin keberagaman bangsa,” ucap Yana.

Dalam pemikiran pendidikan Soekarno, Yana mengatakan bahwa Soekarno mendahului pendidikan karakter, sebelum mempelajari keilmuan. Yana mengungkapkan, guru juga menjadi bagian penting dari pendidikan. Ia mengatakan, “guru sebagai pembangun peradaban ketika masa-masa krisis terjadi.”

Soekarno juga membangun teori pendidikannya sendiri. Dalam tulisannya yang berjudul “Pemikiran Pedagogik Bung Karno”, Yana Priatna menyinggung trilogi yang digagas oleh Soekarno. Pertama, kesadaran nasional, kemudian kemauan nasional (will) dan terakhir adalah tindakan nasional (daad).

Kesadaran nasional dibangun kepada anak didik agar memiliki kesadaran akan kejayaan masa lalu. Tujuannya, untuk membongkar selubung kepalsuan ideologis kolonialisme dan imperialisme, yang memanfaatkan rakyat Indonesia demi kepentingan kolonial. Setelah kesadaran nasional terbangun, maka kemauan (will) akan terwujud. “Soekarno mengatakan kemauan itu sebagai kemauan nasional (nation will),” ungkap Yana.  

Lalu, tindakan (daad) muncul setelah kemauan (will) terkonsolidasi dalam diri rakyat Indonesia. Yang terjadi, dalam pemikiran Soekarno adalah bangkitnya tindakan, kerja, dan perjuangan. “Ibarat air bah yang sudah tidak terbendung lagi, tindakan itu akan menjebol bendungan sekuat apapun bendungan itu dibangun,” singgung Yana dalam tulisannya.

Iklan

Bung Karno juga banyak dipengaruhi oleh Ki Hajar Dewantara. Hal itu, kata Yana, ditandai dengan pengembangan metode estetika melalui seni sandiwara. Pengembangan metode tersebut diawali ketika Soekarno menghabiskan masa pengasingannya di Ende. Di sana, ia membuat sandiwara Danau Kelimutu. Soekarno memanfaatkan seni sandiwara untuk mengajarkan nasionalisme dan patriotisme. “Saat mengajar di Bengkulu, Soekarno juga memanfaatkan model tersebut,” tutup Yana.

Penulis: Ahmad Qori H.

Reporter: Ahmad Qori H.

Editor: M. Muhtar