Judul Buku: Serikat Islam Semarang dan Onderwijs
Penulis: Tan Malaka
Penerbit: Pustaka Kaji
Tebal: 61 Halaman
Cetakan ke: 1, tahun 2011
Berpuluh-puluh tahun sebelum Indonesia merdeka, seorang tokoh pergerakan sekaligus tokoh pendidikan Indonesia ini meneriakkan dengan lantang tentang konsep pendidikan kerakyatan. Ialah Tan Malaka, yang namanya jarang digaungkan pada buku-buku sejarah versi pemerintah. Ialah Tan Malaka, seorang putra Indonesia sejati yang pertama kali menyebut kata ‘Republik’ untuk Indonesia. Dan ialah Tan Malaka, yang tak pernah bosan memekikkan semangat merdeka 100% untuk Indonesia Raya.
Tan Malaka hidup dimana Indonesia pada saat itu masih menjadi tanah jajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, sekaligus masa dimana modal asing yang masuk ke Indonesia begitu gencar. Dalam kondisi seperti ini, Tan Malaka memiliki niat untuk memberikan senjata pada kaum muda Indonesia supaya menjadi kader-kader bangsa yang dapat membawa perubahan berarti bagi diri dan lingkungannya. Senjata yang dimaksudkan bukanlah pistol atau pedang, melainkan pendidikan. Pendidikan untuk rakyat.
Melalui pendidikan, Tan Malaka mencoba untuk melepaskan belenggu ketertindasan yang ia rasakan sedang menggerogoti bangsanya, Indonesia. Lewat brosur ‘Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs’ nya, Tan Malaka memaparkan tentang Sekolah Sarekat Islam (SI School) yang merupakan wujud nyata dari perlawanannya. Ia melawan penjajahan Belanda di tanah Indonesia, sekaligus melawan sistem pendidikan yang menurutnya menciptakan penindas-penindas baru.
Tan Malaka banyak mengikritisi sistem pendidikan kolonial Belanda, terutama mengenai kesempatan mendapatkan pendidikan. Baginya, kesempatan pendidikan harus diberikan seluas-luasnya untuk semua golongan masyarakat. Bukan hanya untuk kalangan elit atau priyayi saja, melainkan untuk anak-anak para buruh dan tani yang kerap luput dari perhatian pemerintah kolonial. Sebab, jika pendidikan bersifat elitis, pendidikan tersebut sangatlah diskriminatif. Sedangkan pendidikan merupakan kunci pembebasan, siapapun berhak mendapatkan pendidikan tanpa memandang apapun.
Bagaimana Konsep Pendidikan Kerakyatan Tan Malaka?
Kekuasaan kaum modal terdiri atas didikan yang berdasarkan kemodalan, sedangkan kemerdekaan rakyat hanyalah bisa diperoleh dengan didikan kerakyatan pula (Hlm. 28). Kutipan kata Tan Malaka ini mengindikasikan bahwa Tan menginginkan kemerdekaan untuk rakyat. Adapun cara mencapai kemerdekaan tersebut ialah melalui pendidikan kerakyatan.
Konsep pendidikan kerakyatan yang Tan Malaka gaungkan berangkat dari tiga poin utama dan dipraktikkan lewat SI School yang didirikannya. Pertama, SI School dimaksudkan sebagai senjata kaum muda Indonesia dalam menghadapi kehidupan pada zaman kemodalan (hlm. 21); Zaman di mana modal-modal sangat gencar di Indonesia yang ditandai dengan banyaknya kemunculan pabrik gula dan perindustrian batik. Tan Malaka mempersiapkan murid-muridnya di SI School agar dapat menafkahi diri dan keluarganya pada zaman tersebut. Kedua, SI School memberikan hak-hak murid untuk berkumpul dan bermain. Hal ini juga merupakan bentuk perlawanan Tan Malaka yang menolak cara pembelajaran di sekolah-sekolah government. Baginya, sekolah-sekolah government hanya menjadikan murid-muridnya sebagai mesin pabrik gula yang terus-menerus bekerja tanpa henti. Ketiga, Tan Malaka, lewat SI Schoolnya mencoba mewujudkan murid-murid yang mencintai dan menunjukkan kewajibannya terhadap kaum kromo. Ia tidak ingin murid-muridnya setelah lulus sekolah, lantas membelakangi rakyat layaknya lulusan sekolah-sekolah government.
Poin –poin ini sangat berorientasi pada rakyat, sekaligus mengindikasikan suatu sistem pendidikan yang humanistik. Konsep pendidikan kerakyatan yang Tan Malaka jalankan pada SI School ini memiliki ciri pendidikan yang juga bersifat ketimuran, artinya pendidikan ala Tan Malaka ini merupakan sistem pendidikan berbasis lokalitas. Lain halnya dengan sekolah-sekolah government yang identik dengan pendidikan gaya baratnya, dan jauh dari budaya lokal.
Namun, Tan Malaka belum menjelaskan secara rinci mengenai bagaimana jalannya SI School tersebut. Ia juga belum memaparkan peraturan-peraturan yang berlaku bagi para murid di SI School. Brosur asli Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs hanya menjelaskan garis besar atas tujuan dan maksud SI School. Mengutip Harry A. Poeze, tebal brosur tersebut bahkan hanya 26 halaman, termasuk 8 foto murid-murid Tan Malaka (hlm. 7). Sehingga pengetahuan mengenai teknis dan praksis SI School masih minim.
Meski begitu, SI School yang didirikan Tan Malaka ini dapat dikatakan telah membuka kesempatan pendidikan yang lebih luas pada kala itu. Di samping ‘Taman Siswa’ yang dibangun Ki Hajar, SI School yang dibangun oleh Tan Malaka ini juga merupakan sekolah berbasis budaya lokal Indonesia.
Realita Pendidikan Masa Kini
Pada tahun 1920-an ketika didirikannya SI School, pendidikan yang dikritisi Tan Malaka kala itu tak jauh bedanya dengan pendidikan masa kini. Pola-pola permasalahan yang ada masih berada pada satu garis kesamaan.
Status. Pendidikan Indonesia tahun 1900-an sangat erat kaitannya dengan status yang disandang oleh seorang individu. Hal ini memunculkan ‘kalangan yang pantas mendapat pendidikan’, yang tak lain ialah hanya golongan elit atau priyayi. Pada zaman ini, kesempatan mendapatkan pendidikan menjadi lebih luas tak terbatas pada status personal, namun akses mendapatkan pendidikan masih belum merata. Pendidikan masih terpusat di kota-kota besar. Sedangkan di daerah pedalaman, pendidikan masih belum mendapat perhatian yang cukup.
Modal ekonomi: uang. Pendidikan ala government yang Tan Malaka kritisi salah satunya karena faktor biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan membuat pendidikan semakin sulit diakses oleh masyarakat Indonesia kala itu. Tak berbeda jauh pada masa kini, meski pndidikan sudah dicantumkan sebagai hak konstitusional warga Negara Indonesia, pendidikan gratis pada negeri ini ialah semacam mitos. Dalam praktiknya, pendidikan membutuhkan banyak modal ekonomi. Utamanya, di Perguruan Tinggi (PT). Hal ini mengakibatkan pendidikan masih bersifat elitis. Siapa yang memiliki modal ekonomi, merekalah yang dapat mengakses pendidikan.
Metode Pembelajaran. Tan Malaka yang memberikan hak kepada muridnya untuk berkumpul dan bermain merupakan bentuk kritik atas metode pembelajaran di sekolah-sekolah government. Tan Malaka menyebut bahwa murid-murid sekolah government bagaikan mesin pabrik gula. Tak ubahnya dengan pendidikan masa kini, di mana para murid sibuk menghafal dan mengerjakan tugas. Belum lagi, para orang tua zaman sekarang kerap memberikan bimbel atau pelajaran tambahan di luar jam sekolah yang membuat anak semakin sibuk. Kritik Tan Malaka yang mengatakan bahwa metode seperti ini tidaklah sehat nyatanya benar. Sebab hal ini melawan kondisi psikologi anak. Tan menyatakan bahwa anak-anak usia sekolah masih suka berkumpul dan bermain, sehingga haruslah diberikan haknya.
Penulis: Annisa Nurul H.S.
Editor: Muhammad Muhtar