Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta (IKA UNJ) menggelar Seminar Nasional dengan tema ‘Menggagas Sistem Pendidikan Nasional’ (20/11). Seminar tersebut dibuat dalam rangka merefleksikan 73 tahun pendidikan nasional.

Seminar yang digelar di Gedung Moh. Hatta, UNJ ini menghadirkan tiga pembicara, yaitu Robertus Robert (Ketua Program Studi Sosiologi), Muchlis R. Ludin (Inspektur Jenderal Kemendikbud) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 1993, Wardiman Djojonegoro, serta dimoderatori oleh Retno Listyarti.

Ketiga pembicara ini memaparkan kondisi dan permasalahan pendidikan di Indonesia. Wardiman membuka diskusi dengan memberikan fakta bahwa pada 2014, banyak lulusan sekolah tidak terserap dunia industri. Ia memaparkan riset Bank dunia yang menyatakan bahwa 70% manajer perusahaan sulit mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas.

Riset tersebut dilakukan kembali oleh Bank Dunia pada 2018. Hasilnya tidak banyak yang berubah. Lulusan sekolah masih banyak yang belum terserap oleh dunia industri. Menurut Wardiman, permasalahan ini berakar pada kurikulum sekolah yang belum relevan.

Pria yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan pada masa Orde Baru ini juga mengungkapkan sekolah harus meningkatkan kualitas, bukan hanya kuantitas. “Sekolah masih fokus belajar dan mencetak lulusan yang banyak”, ujarnya.

Solusi yang ia usung adalah program Link and Match. Program tersebut menyiapkan lulusan sekolah dengan dunia Industri. Wardiman berharap, program ini bisa mengubah persepsi mengenai pendidikan. Menurutnya, pendidikan harus memberi bekal yang mengantarkan siswa setelah lulus, yaitu bekerja.

Iklan

Setelah Wardiman, Muchlis kemudian mengungkapkan permasalahan pendidikan Nasional, yaitu ketertinggalan sekolah dan guru. Di era disrupsi, ilmu pengetahuan bisa didapatkan di mana saja dengan mudah oleh siswa. Ia menjelaskan, siswa hari ini dapat mempertanyakan kembali kebenaran hal yang diajarkan oleh guru di dalam kelas, dengan apa yang mereka temukan di internet.

Di sisi lain, lanjutnya, sekolah dan guru yang belum mengikuti perkembangan zaman. “Banyak guru yang kurang update,” ucapnya.

Hal tersebut menurut Muchlis mengakibatkan sulitnya menciptakan hubungan akademik yang baik antara guru dan siswa.

Selain itu, dia juga mempermasalahkan sekolah dan Perguruan Tinggi (PT) yang tergila-gila dengan angka. “Di sekolah, ada ranking. Di PT, ada scopus,” jelasnya. Padahal, menurutnya, angka-angka itu tidak dibutuhkan oleh dunia. “Kebutuhkan dunia sudah jauh di sana, kita masih mengurusi itu-itu saja. Sekolah banyak mengajarkan yang tidak perlu diajarkan,” imbuhnya.

Mantan Wakil Rektor I UNJ ini menjelaskan, di era disrupsi sekolah dan guru harus lebih fleksibel. Maksudnya, sekolah dan guru dapat beradaptasi dan berkolaborasi dengan tuntutan zaman.

Pendapat Wardiman dan Muchlis kemudian diamini oleh Robertus Robert. Robert menjelaskan bahwa sekolah dan PT tidak bisa selalu kontra dengan dunia industri. Kendati Robert juga melihat dari sisi lain mengenai masalah pendidikan di Indonesia. Menurutnya, sekolah gagal dalam menjalankan fungsinya. Pendidikan di Indonesia menurut Robert terlalu banyak berisi penanaman nilai-nilai normatif sedangkan kemampuan untuk mengasah berfikir rasionalnya kurang.

Revolusi 4.0 mengubah banyak hal, termasuk pendidikan. Indonesia akan susah menghadapi revolusi tersebut jika pendidikannya masih banyak mengedepankan nilai-nilai normatif. Namun bukan hanya sekolah saja yang gagal menjalankan fungsinya, bahkan PT juga sama saja menurut Robert. “Pada tingkat PT, individu harus sudah bisa merefleksikan, mengkritik, dan menawarkan kebijakan untuk pendidikan itu sendiri,” ucap Robert. Ia menambahkan, jika pendidikan Indonesia ingin maju, maka harus kembali pada rasionalitas.

Menanggapi apa yang dipaparkan oleh ketiga pembicara tadi, seorang guru bernama Marsyah angkat bicara. Menurutnya, permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah sistem pendidikan yang membuatnya tidak bebas. Ia mengaku susahnya melaksanakan apa yang dipaparkan oleh ketiga pembicara seminar. “Kenyataannya di lapangan, guru itu terkungkung oleh sistem. Guru seakan-akan hanya sebagai pelaksana untuk memenuhi target kurikulum,” tuturnya.//Yulia Adiningsih

 

Editor: Annisa Nurul H.S.

Iklan