Pendidikan yang menekankan pada aspek intelektualnya saja, hanya akan menjauhkan siswa dari masyarakatnya.
Masih belum benar-benar pergi dari ingatan kita mengenai carut marut penerapan kurikulum 2013, warisan dari Muhammad Nuh. Program mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Susilo Bambang Yudhoyono ini kemudian diberhentikan oleh Anies Baswedan selaku menteri berikutnya. Namun baru merintis karier seumur jagung, ia harus menyerahkan kursi kepada Muhadjir Effendy. Belakangan, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini menjadi kontroversi berkat full day school yang digadang-gadang menjadi program andalannya. Lantas program pendidikan mana yang cocok diberlakukan di Indonesia?
Winarno Surakhmad, dalam bukunya Pendidikan Nasional Strategi dan Tragedi menyebut sejarah Negara ini ialah sejarah pertentangan. Kekuasaan yang satu dapat diraih dengan menjatuhkan kekuasaan lainnya. Sebab itu tidak ada keberlangsungan kebangsaan yang wajar. Termasuk dalam pendidikan kita.
Refleksi kita hari ini, Indonesia masih belum dapat lepas dari ketergantungan impor pangan. Pejabat pemerintahan silih berganti menjadi tajuk sebagai tersangka korupsi. Di antara masyarakat, masih ada paman yang tega memerkosa dan membunuh keponakannya sendiri. Ketiga contoh ini merupakan gambaran kegagalan Negara menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Klaimnya, perubahan demi perubahan yang menghiasi kebijakan pendidikan ditujukan untuk mengikuti perkembangan zaman. Demi terpenuhinya sumber daya manusia Indonesia yang mampu menjawab tantangan global. Kebijakan pendidikan kini tak kalah elastisnya dari karet. Menyesuaikan kebutuhan pasar. Sudah tentu telah melukai cita-cita dari para pendiri bangsa.
Kita bisa melihat bagaimana keteguhan seorang Ki Hajar Dewantara untuk dapat menyelenggarakan pendidikan untuk seluruh rakyat Indonesia. Di mana kala itu, pendidikan oleh kolonial hanya sebatas untuk mereka orang Belanda, keturunan Belanda, atau kaum priyai saja. Selain itu, pendidikan yang diberikan juga tak lebih dari sekadar politik etis. Ditujukan demi mendapat tenaga kerja ahli yang berbiaya murah saja. Kurikulum yang dibuatpun berkiblat pada pemikiran barat. Hal itu, menurut bapak pendidikan Indonesia ini, hanya dapat membuat pribumi berjarak dengan masyarakat.
Ki Hajar pun pada 1922 mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan bagi pribumi. Bagi pemilik nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, pendidikan bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah saja. Ia menamakannya Tri Sentris Pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya saling berkaitan untuk terbangunnya pendidikan yang baik.
Seirama dengan nawacita Sukarno, sebagai presiden pertama Indonesia, yakni membangun nasionalisme. Menurutnya, pendidikan memiliki kedudukan strategis dalam mewujudkannya. Sebab itu, untuk membangun nasionalisme dalam pendidikan, kebudayaan menjadi penting dan tak dapat dipisahkan.
Pentingnya kebudayaan nasional juga disampaikan oleh guru besar Universitas Negeri Jakarta, Prof. Soedijarto dalam acara diskusi pendidikan di ICW Agustus lalu. Menurutnya, kebudayaan nasional merupakan keseluruhan cara memandang dan cara bertindak masyarakat bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan baik politik, ekonomi, IPTEK, dan sosial budaya.
Keragaman Budaya
Di Negara ini, ada macam-macam klub sepak bola, yang kebanyakan berdiri atas nama daerah. Sebut saja Persib Bandung dan Persija Jakarta. Keduanya memiliki pendukung fanatik, yang siap sedia hadir dalam tiap laga. Namun, baik Viking maupun The Jak, keduanya dapat duduk berdampingan ketika menyaksikan pertandingan dari tim nasional. Tak lagi mengenal kedaerahan, semua demi mendukung negaranya.
Seperti itulah gambaran keragaman budaya di Indonesia. Sukarno sendiri memandang keragaman budaya yang ada di Indonesia merupakan energi pemersatu, dan bukan sebagai biang perpecahan. Bukankah sejarah sudah menjawabnya sekiranya 88 tahun lalu. Momentum Sumpah Pemuda mampu menyatukan seluruh rakyat dengan melantangkan: Satu Indonesia.
Namun bila bicara lembaga pendidikan semacam sekolah, tentu ruang yang ada tak cukup untuk peserta didik mengenal seluruh budaya yang ada di Indonesia. Di sinilah peran masyarakat dalam Tri Sentris Pendidikan Ki Hajar. Bersama masyarakatlah, kebudayaan itu dapat menjadi sebuah pelajaran sekaligus wadah praktek yang paling efektif.
Maka apabila sepintas kita kembali mengingat kebijakan full day school karya Muhadjir, bukankah justru menjauhkan peserta didik dari masyarakat? Tentu akan banyak pola yang diubah ketika menahan lebih lama peserta didik di dalam sekolah. Bagaimana sang anak nantinya dapat bersaing dengan global apabila ruang geraknya hanya sebatas di dalam pagar sekolah saja.
Sudah tentu kebijakan yang baru sebagai wacana ini dapat menggambarkan kondisi pendidikan Indonesia di mana semua serba tersentralisasi. Pada teorinya, sentralisasi memang tidak akan menemui masalah yang rumit, hanya saja dalam prakteknya, sentralisasi justru menjadi ajang penyeragaman sumber daya manusia Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Dalam UUD 1945, kita mengenal kalimat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa di sini tentu bicara tentang seluruh isi Indonesia. Bukan tentang ibu kota atau kota-kota metropolitan lainnya saja. Sebab itu, pemerataan pendidikan sudah seharusnya menjadi agenda utama. Namun pada implementasinya, kita masih mendengar bangunan sekolah yang hampir roboh di Banten, yang bahkan tak seberapa jauh dari pusat pemerintahan. Lantas, apa kabar dengan pelosok?
Maka agar sentralisasi di pusat tidak semena-mena, sudah seharusnya dinas pendidikan di daerah mengambil alih. Bukan untuk berdiri sendiri, melainkan melepas belenggu sebagai pelaksana teknis saja. Yakni dengan menjadi ujung tombak perumus pendidikan yang disesuaikan dengan kondisi dan tentu budaya yang ada di daerah tersebut. Sehingga fokus pemerintah tidak hanya memburu standar internasional bagi sekolah-sekolah kota, melainkan membangun dan memenuhi kebutuhan pendidikan di seluruh daerah.
Latifah