Kasus kekerasan seksual kembali terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Kali ini tersangka Y, salah satu mahasiswa aktif di program studi Pendidikan Sejarah. Kasus ini cukup ramai menghiasi laman media sosial. Beberapa akun di Instagram dan Twitter, mengunggah kronologi kejadian serta pernyataan sikap terkait adanya kasus tersebut.
Kasus ini semakin menjadi perbincangan karena adanya isu dugaan penganiayaan yang diterima oleh tersangka. Isu tersebut bergulir karena pihak yang berkaitan dengan korban, sempat memanggil tersangka untuk bertemu. Dalam peristiwa tersebut, berdasarkan isu yang beredar, tersangka menerima berbagai intimidasi, teror, dan tindakan kurang menyenangkan. Meski demikian, sampai tulisan ini terbit, belum ada kejelasan terkait kebenaran adanya tindak penganiayaan tersebut. Begitu pula kejelasan mengenai penyelidikan dan penindakan terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh tersangka Y.
Kecenderungan aksi main hakim sendiri dalam penanganan kekerasan seksual biasanya dipicu oleh adanya informasi yang beredar di media sosial. Kerabat atau kenalan korban yang mendengar kabar tersebut tentu saja marah terhadap tindak kekerasan yang menimpa orang terdekatnya. Seringkali setelah mengalami atau mengetahui adanya tindak kekerasan seksual, korban atau orang-orang terdekat menceritakan kronologi peristiwa lewat unggahan di media sosial. Mereka menyebutnya sebagai tindakan spill the tea untuk memberi efek jera terhadap pelaku tindak kekerasan seksual.
Sebenarnya, tindakan spill the tea maupun main hakim sendiri dianggap bukan langkah efektif. Hal ini justru menjadi catatan bagi penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual. Sebab, alasan korban maupun kenalan korban membagikan pengalaman atau peristiwa kekerasan di media sosial adalah keinginan agar suatu kasus mendapat perhatian yang luas dan ditindak secara cepat. Selain itu, ketidakpercayaan bahwa kasus kekerasan dapat diselesaikan secara adil lewat jalur hukum, juga menjadi alasan dari aksi spill the tea dan perbuatan main hakim sendiri.
Baca juga: Lawan Kekerasan Seksual Melalui Pendidikan
Dalam kasus kekerasan seksual di UNJ, masih adanya korban atau orang terdekat yang memilih untuk spill the tea hingga aksi main hakim sendiri, menyiratkan kurangnya sosialisasi terhadap keberadaan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual (PPKS). Padahal, keberadaan Permendikbud PPKS merupakan upaya dari pemerintah untuk melindungi korban di lingkungan perguruan tinggi. Satgas pun dalam hal ini merupakan lembaga yang diberi tugas untuk melakukan sosialisasi pencegahan hingga menindaklanjuti laporan kekerasan seksual. Jika di lingkungan kampus UNJ masih terdapat kasus kekerasan seksual yang terungkap justru lewat media sosial serta memicu adanya aksi main hakim sendiri, maka disini peran kampus dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual masih belum maksimal.
Perlu juga dipahami bahwa tidak semua korban kekerasan seksual membutuhkan tindakan hukum sebagai solusi dari kekerasan yang ia alami. Kebutuhan awal dari korban kekerasan seksual adalah adanya dukungan dari orang-orang terdekat. Secara psikologis, korban kekerasan seksual mengalami trauma yang cukup signifikan atas apa yang ia alami. Trauma tersebut, seringkali sulit diungkapkan karena bercampur dengan rasa bersalah dan rasa malu. Dalam budaya patriarki yang masih amat melekat, korban kekerasan seksual seringkali juga disalahkan atas perbuatannya yang membuat ia menjadi korban. Oleh karena itu, langkah awal dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah dengan memberikan ruang aman bagi korban untuk mengungkapkan dan menyembuhkan trauma yang dia alami. Peran ruang aman inilah yang sebenarnya menjadi salah satu tugas penting dari Satgas PPKS di perguruan tinggi.
Di sisi lain, pencegahan, penanganan dan penegakan hukum terhadap kekerasan seksual perlu benar-benar menjadi fokus dari pihak yang memiliki tugas dan wewenang. Hal ini diperlukan untuk memberikan rasa keadilan, serta mengurangi tindakan yang merugikan korban, maupun aksi main hakim sendiri yang dilakukan orang terdekat. Seringkali, tindakan spill the tea dan aksi main hakim sendiri justru menjadi bumerang. Pelaku kekerasan yang cenderung tidak mengakui perbuatannya, justru akan balik melaporkan korban atau kerabat korban dengan dalih pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, maupun tindak penganiayaan.
Menutup tulisan ini, sebagai salah satu alumni UNJ, saya berharap pihak kampus semakin berbenah dan menunjukkan itikad kuat dalam menangani kasus kekerasan seksual. Keberpihakan terhadap korban dan meningkatkan peran vital Satgas lebih penting ketimbang pusing memikirkan bagaimana menjaga nama baik. Bukankah jika Satgas yang dibentuk telah berjalan secara maksimal, kasus kekerasan seksual bisa lebih dulu diatasi sebagai laporan, sehingga tidak sampai menjadi isu liar di media sosial? Bukankah dalam Permendikbud PPKS juga ada sanksi bagi UNJ jika terbukti tidak melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual? Saya harap, kedepannya ada langkah nyata dan tulus dari para pemimpin kampus tercinta untuk menciptakan kampus yang aman dari kekerasan seksual.
Penulis: Luqman Hakim*)**)
*Alumni Pendidikan Sejarah angkatan 2012
**Opini ini adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi online Didaktika