Pemulihan mental korban harus menjadi prioritas dalam penanganan kekerasan seksual, selain itu saksi dapat menjadi aktor kunci dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
Maraknya kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkup perguruan tinggi, sangat mengkhawatirkan. Kurangnya kesadaran dari setiap warga kampus, seolah menodai citra dari pendidikan itu sendiri. Kampus yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mahasiswa belajar dan memberikan kontribusinya di dunia akademis justru menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual.
Unit Pelayanan Teknis Layanan Bimbingan Konseling (UPT-LBK) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) mengadakan webinar pada Sabtu (19/11/22) dengan judul “Suara Kita” untuk mengedukasi bagaimana pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Dalam webinar pagi ini, UPT-LBK mengundang Yosephine Dian Indraswari, direktur eksekutif Yayasan Pulih sebagai narasumber.
Bagi Dian Indraswari tidak kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.
“Dasar hukum kekerasan seksual di Indonesia sudah banyak berlaku. Diantaranya adalah UU TPKS No. 22 Tahun 2022, bentuk KS di permendikbud No. 30 Tahun 2021, lalu Peraturan Menteri Agama (PMA) 30/2022,” ungkapnya.
Adapun baginya, aspek-aspek kekerasan seksual meliputi pemaksaan dan perbuatan seksual tanpa persetujuan korban maupun kondisi dimana korban tidak mampu dalam memberikan persetujuan. Seperti kekerasan seksual pada anak dan disabilitas intelegensi. Selain itu, jika seseorang berada dalam pengaruh alkohol dan mendapat kekerasan tanpa persetujuan korban maka hal tersebut dapat dipidanakan.
Baca Juga: Hidup Lontang-Lanting dalam Ketidakpastian Nasib
“Kekerasan seksual tidak hanya secara fisik, namun secara verbal. Contohnya, saat teman-teman menjumpai teman yang lain, lalu mengatakan kalimat tidak menyenangkan seperti kulitmu hitam atau badanmu gendut”, ujar Dian.
Korban kekerasan seksual juga cenderung mengalami kondisi freez, atau shock dikarenakan tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga, korban kekerasan seksual sering kali tidak bisa meminta tolong atau mengatakan tidak kepada pelaku.
Dampak yang diterima setelahnya oleh korban kekerasan seksual sangat bervariasi. Korban dapat mengalami penghayatan terhadap kejadian, mengalami kehamilan, jijik, rendah diri, hingga stigma masyarakat yang masih menganggap penyintas atau korban adalah sebuah aib atau kesalahan. Tahapan tersebut diantaranya adalah korban mengalami traumatis, yakni fase shock, penolakan, kemarahan tawar menawar, putus asa dan penerimaan.
Bagi Dian, kekerasan yang dialami oleh korban membuat korban membutuhkan layanan pendamping psikologis. Hal ini dikarenakan, biasanya korban kekerasan seksual merasakan putus asa, bahkan tidak terima atas kondisinya sendiri. Layanan pendamping psikologis berperan penting untuk membantu korban mencapai tahap penerimaan.
“Oleh sebab itu, jika seorang korban mengalami kekerasan seksual dan dilihat oleh seseorang, korban mengalami tekanan yang berlebih jika saksi tidak dapat menempatkan dirinya. Saksi justru dapat mengalami bystander effect, atau kondisi dimana kehadiran orang lain dapat menghambat seseorang untuk membantu sesamanya yang sedang berada dalam kesulitan”, ucap Dian dalam webinar tersebut.
Saksi diharapkan menjadi orang ketiga dalam keberpihakan terhadap korban atau media amplifikasi perasaan korban. Perasaan yang dialami korban perlu diamplifikasi ketika korban sendiri tidak mampu mengungkapkan atau bahkan sekedar mengakui hal yang terjadi padanya. Namun, tidak banyak saksi yang melakukan tindakan tertentu di tempat ramai. Para saksi memiliki kecenderungan untuk diam dengan perasaan ambivalen.
Saksi dapat membantu dengan melakukan intervensi terhadap pelaku dengan menegur secara langsung. Lebih lanjut lagi, saksi juga dapat mendelegasikan tanggung jawab intervensi ke orang lain di sekitarnya. Saksi dapat memanggil petugas keamanan terdekat untuk menindak pelaku atau mengajak temannya atau orang lain di sekitarnya untuk ikut membantu menghentikan perbuatan pelaku.
“Masih banyak saksi yang belum tau caranya bersikap mengenai kekerasan seksual. Dan hak tersebut dapat dilakukan untuk membantu korban terhindar dari perbuatan yang lebih parah,” tutupnya.
Penulis: Laila Nuraeni
Editor: Izam