Pemilihan Raya (Pemira) masih minim partisipasi perempuan. Dominasi wacana keagamaan masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk mencalonkan diri menjadi ketua BEM.

Perhitungan suara Pemira UNJ telah usai pada Jum’at (3/2/23). Untuk tingkat Fakultas dan Prodi bahkan sudah selesai perhitungan sejak akhir Januari lalu. Namun, terdapat satu hal yang terasa mengganjal, yaitu partisipasi perempuan dalam Pemira. Untuk tahun ini saja, Pemira BEM tingkat fakultas maupun universitas, tidak ada satu pun calon perempuan.

Dari data yang dihimpun tim Didaktika pada tiga tahun belakangan, di tingkat fakultas sama sekali tidak ada calon ketua BEM yang berasal di kalangan perempuan. Lebih rinci, di tingkat BEM Universitas sejauh tim Didaktika menelisik arsip lebih dari lima tahun ke belakang, tidak pernah ada calon Ketua maupun Wakil Ketua perempuan.

Paling jauh, perempuan hanya mencapai tingkat Prodi saja. Meski begitu, keterwakilannya pun masih sangat jarang. Di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) saja dari 20 orang calon ketua BEM dari 10 Prodi, hanya dua diantaranya saja yang merupakan perempuan. Pada 2022 jumlahnya malah lebih kecil, dari 22 calon hanya terdapat 1 perempuan saja.

Hal serupa juga terjadi di Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Dari 10 Prodi yang dihimpun datanya oleh tim Didaktika, terdapat 13 calon merupakan laki-laki, hanya dua saja yang perempuan. Tak jauh berbeda dari tahun sebelumnya, di mana calon laki-laki terdapat 13 sementara perempuan hanya tiga. Dari ketiganya terdapat dua orang calon yang berhasil naik jabatan, satu diantaranya melawan kotak kosong.

Lebih parah, di Fakultas Ekonomi dari tiga rumpun Prodi, tidak ada sama sekali calon perempuan yang maju. Serupa di 2022, ketiga rumpun tersebut juga tidak memiliki calon perempuan. Begitu pula di tingkat BEM Fakultas, di mana selama tiga tahun ke belakang tidak pernah ada ketua perempuan.

Iklan

Sementara di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) hanya terdapat dua calon perempuan di 6 Prodi pada Pemira kali ini. Untuk Fakultas Teknik (FT) terdapat tiga calon perempuan dari empat Prodi yang tim Didaktika ambil sampelnya. Dua diantaranya melawan kotak kosong.

Angka yang lebih baik ditunjukan FBS, dari 10 Prodi yang kami ambil datanya terdapat jumlah calon ketua perempuan yang lebih banyak. Terhitung pada Pemira kali ini saja, 18 kandidat calon merupakan laki-laki dan 8 sisanya merupakan perempuan. Angka yang besar juga terlihat di 2022, di mana 13 kandidat merupakan laki-laki dan 9 orang kandidat perempuan.

Dominasi Wacana Keagamaan

Dalam penelitian Setara Institute bertajuk Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila pada 2019, mengungkapkan terdapat dominasi wacana dari kelompok keagamaan tertentu di beberapa kampus. Wacana keagamaan yang dikembangkan bersifat eksklusif dan resisten dengan wacana tandingan.

Selanjutnya di penelitian yang sama, dijelaskan pula bagaimana kelompok Islam tersebut menguasai politik kampus lewat BEM. Dalam praktiknya, bahkan di beberapa kampus menghalalkan berbagai macam cara. Termasuk mempengaruhi pemilihan umum di kampus.

Di UNJ, pada 2020 lalu wacana keagamaan dalam BEM membikin perempuan termarjinalkan. Akun instagram BEM FT saat itu menurunkan opasitas wajah pengurus perempuannya. Sementara di BEM FMIPA wajah perempuan pengurus wanita diganti dengan kartun.

Meski dalam klarifikasinya, BEM FT menyatakan telah ada konsensus antara pengurus perempuan perihal penurunan opasitas. Namun, hal tersebut tetap memperlihatkan panggung politik kampus yang bias gender dan penuh wacana keagamaan tertentu.

Soraya Zharani, mahasiswa Pendidikan Sejarah angkatan 2021 turut memberikan pandangannya terkait hal tersebut. Menurutnya, di UNJ masih terdapat pandangan bahwa jika perempuan menjadi ketua akan lebih dominan menggunakan emosinya. Selain itu, stigma bahwa laki-laki lebih berkompeten menjadi pemimpin juga masih laku di UNJ.

Hal tersebut akhirnya berdampak pada internal perempuan yang berpotensi menjadi kandidat Ketua BEM. Soraya menambahkan, para perempuan masih takut untuk maju menjadi ketua BEM.

“Teman-teman perempuan takut kalah atau tidak bisa menghandle kabinet dengan baik,” tutupnya.

Iklan

Sementara itu, Dosen Sosiologi UNJ Yuanita Aprilandini melihat fenomena ini sebagai dampak dari dominannya narasi keagamaan yang konservatif di UNJ. Narasi ini turut dilanggengkan oleh organisasi mahasiswa sehingga menempatkan perempuan pada posisi inferior.

“Perempuan seolah cocok menempati divisi-divisi atau ranah-ranah yang dianggap rapih dan cocok dengan keperempuanan. Misalnya sosial, edukasi, kesekretariatan itu dilekatkan dengan perempuan,” ucapnya pada Senin (13/2).

Baginya, organisasi yang dikuasai golongan konservatif tersebut, pada akhirnya malah mereproduksi domestikasi perempuan. Padahal, dalam kancah kampus, harusnya berbicara soal kesetaraan dan bagaimana memaksimalkan potensi perempuan.

Yuanita juga menganggap perlu adanya pengarusutamaan gender di kampus. Dirinya agak miris dengan keadaan UNJ yang mana kesadaran gender dari laki-laki maupun perempuan masih kurang. Sehingga narasi bahwa perempuan tidak layak memimpin menjadi terus langgeng.

“Harus difasilitasi tentang pelatihan gender agar perempuan berani maju, mereka juga wajib dibekali pengetahuan perihal relasi gender, jadi mereka siap bertanding,” tegasnya.

Sementara itu, sampai berita ini dipublikasikan, ketua maupun wakil ketua BEM UNJ masih belum memberikan tanggapan apapun.

 

Reporter/Penulis: Siti, Izam, dan Zahra

Editor: Asbabur Riyasy