Cara pandang baru diperlihatkan dalam pemilihan rektor yang berusaha memperbaiki permasalahan sebelumnya. Namun, usaha itu dinilai masih belum menyentuh substansi permasalahan

Sejak dicabutnya status Rektor Djaali oleh Kemenristekdikti (9/17), hingga kini, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) belum mendapatkan rektor definitif baru. Pemilihan Rektor UNJ, baru akan dilaksanakan menyusul disahkanya statuta yang baru, guna dijadikan acuan untuk mekanisme pemilihan rektor.

Namun, meskipun statuta sudah diasahkan pada November 2018, isu pemilihan rektor hanya menjadi wacana. Memasuki bulan Agustus 2019, nampaknya UNJ mulai serius melangsungkan pemilihan rektor. Hal itu terlihat melalui poster bertajuk “UNJ Mencari Rektor” berisi timeline pemilihan rektor mulai diunggah di media sosial resmi UNJ.

Kamis, (15/8/19) sesuai yang tertera dalam timeline, dilaksanakan sosialisasi visi dan misi untuk kandidat bakal calon di Aula Latief, Gedung Dewi Sartika, UNJ. Tercatat delapan bakal calon rektor yang  berhasil lolos dalam tahap penjaringan, antara lain Dr Komarudin MSi; Prof Dr Endry Boeriswati MPd; Prof Paulina Pannen PhD; Prof Dr H Muh Nur Sadik MPM, Prof Dr Agus Setyo Budi MSc; Dr Sofiah Hartati MSi; Prof Dr Ir Ivan Hanafi MPd; dan Dr Awaluddin Tjalla MPd. Pada kegiatan itu, setiap kandidat diberikan waktu 20 menit untuk memaparkan visi dan misi masing-masing.

Hafid Abbas, ketua senat UNJ mengungkapkan, para kandidat dijamin bersih dari praktik yang menyimpang. Sebab, senat sudah mengajukan KPK untuk memantau proses pemilihan rektor berjalan kondusif. Menurutnya, KPK akan berperan sebagai benteng agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Salah satunya, praktik politik uang untuk menggalang dukungan dan keterlibatan partai politik yang marak terjadi di beberapa kampus di Indonesia. Sejauh ini, ia mengaku belum melihat gelagat itu di para calon di UNJ. “Jangan sampai ada yang seperti itu (bermain dengan partai politik). Kasihan juga kan kalau sampai dipenjara,” terangnya.

Selain itu, Hafiz Abbas menjelaskan, bahwa setiap kandidat sudah menunjukkan kesiapanya dalam menjadi rektor UNJ yang baru terlihat pada pemaparannya. Ia mengungkapkan, secara umum delapan bakal calon rektor itu, cukup memenuhi kriteria yang disusun para senat.

Kriteria itu, tertuang dalam rekomendasi untuk para calon rektor agar memperhatikan enam komponen. Pertama, strategi peningkatan reputasi akademik UNJ dengan indikator peningkatan  Program Studi terakreditasi  sangat baik di tingkat Nasional dan tingkat ASEAN. Kedua, menjadikan UNJ sebagai pusat unggulan dan rujukan standar dibidang kependidikan pada tingkat Nasional.

Iklan

Ketiga, meningkatkan reputasi Sumber Daya Manusia UNJ dengan indikator, jumlah dan kualitas dosen bergelar profesor meningkat. Jumlah dan kualitas penelitian kontribusinya terhadap PNBP hingga 65 milyar rupiah. Keempat, meningkatkan reputasi lulusan yang berjiwa entrepreneur dan mampu berkarya secara professional.

Kelima, menciptakan UNJ yang bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sehingga, terpenuhinya fasilitas pembelajaran dan penelitian, suasana linngkungan yang hijau, nyaman, dan bersih. Terakhir, meningkatkan kerjasama internasional dengan mendatangkan mahasiswa asing, pengiriman dosen ke luar negeri, dan mendatangkan Guest Lecturer dari universitas bereputasi.

Minim Substansi

Kriteria tersebut menjadi acuan bagi para bakal calon rektor UNJ dalam meramu visi dan misinya. Namun, acuan tersebut justru membuat visi dan misi setiap kandidat cenderung sama. Di sisi lain, paparan visi dan misi para bakal calon dinilai tidak menunjukkan substansi terkait persoalan pendidikan tinggi.

Para calon kandidat tidak merumuskan visinya dari kesadaran tentang masalah, kata Irsyad Ridho, dosen Sastra Indonesia, mengamati fenomena itu.

Ia menilai bahwa identifikasi permasalahan menjadi penting. Misalnya tingkat literasi bangsa yang rendah, yang sudah terbukti melalui riset. Hal tersebut dilandasi pendidikan formal yang gagal. Sementara, UNJ sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) harus melihat itu sebagai masalah besar dan harus mengambil tanggung jawab mengatasinya. ”Ada masalah besar apa? Itu yang harus diidentifikasi terlebih dahulu,” terangnya.

Kaum akademisi itu semestinya bisa berpikir visioner. Tidak sekadar urusan bagi-bagi bonus ini itu, seperti keseluruhan janji yang ditawarkan para bakal calon. “Seolah memberi iming-iming anak kecil,” katanya. Selain itu, visi yang substansial tidak selesai dengan perdebatan teknis bagaimana cara membawa reputasi lembaga ke tingkat regional atau internasional.

“Jangan sampai visi itu hanya jadi bombastis semata. Alias kata-kata kosong yang kemudian ditempel di dinding,” kata Irsyad Ridho.

Penulis: Muhamad Muhtar

Reporter: Muhamad Muhtar

Iklan

Editor: Uly Mega S.