Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika menggelar acara Peluncuran Majalah (Rabu, 13/2/19). Acara ini digelar di Aula Maftuchah Yusuf, Universitas Negeri Jakarta. Adapun tema acara yang diangkat ialah “PTN-BH: Masalah atau Solusi?” sesuai dengan laporan utama majalah.
Rangkaian kegiatan ini dibagi menjadi dua sesi. Pertama, Peluncuran Haluan Mahasiswa I, sebagai acara pembuka, dimulai pada 10.00 WIB. Kemudian dilanjut dengan acara inti, yakni Peluncuran Majalah Didaktika edisi ke-48 yang dimulai pada 13.30 WIB.
Setelah berdiskusi bersama peserta di sesi pertama mengenai berita Haluan Mahasiswa I, pada sesi kedua ini, Didaktika menghadirkan dua pembicara. Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Saifur Rohman dan Novada dari Komite Pendidikan Universitas Brawijaya bersedia hadir di sesi ini.
Pembahasan berangkat dari perubahan statuta UNJ. Perubahan ini rupanya berimbas pada beragam aspek di kampus. Salah satunya yakni demokratisasi kampus. “Isi pasal 19 di statuta baru bisa menjadi bom waktu,” tutur Saifur.
Keberadaan pasal itu membatasi kreativitas mahasiswa. Sebab, semua kegiatan organisasi kemahasiswaan dikontrol birokrat. Bahkan pembentukan organisasi kemahasiswaan harus disetujui oleh rektor. Padahal, menurut Saifur, semestinya mahasiswa bebas membentuk atau memilih organisasi yang sesuai dengan potensi dan kemampuannya. Tugas rektor itu memfasilitasi dan mendukung kegiatan kemahasiswaan.
Saifur juga mempersoalkan tentang mahasiswa yang harus netral dan non partisan. Menurutnya, keberadaan pasal ini berimbas pada minimnya kebebasan mahasiswa dalam berserikat dan berkumpul. Itu artinya mahasiswa tidak boleh berafiliasi dengan organisasi apa pun, baik internal maupun eksternal. “Demokratisasi di kampus UNJ gak ada. Idealitas mahasiswa juga bisa jadi gak pernah ada,” ujar Saifur.
Berbeda dengan Saifur, pemaparan Novada berangkat dari bagaimana proses kebijakan Perguruan Tinggi Negara-Badan Hukum (PTN-BH) muncul. Novada menjelaskan perkembangan PTN-BH dimulai pada dekade 1990-an. General Agreement Trade in Services atau GATS menginstruksikan negara anggotanya—termasuk Indonesia—untuk mengubah konsep pendidikan. Dari tanggung jawab pemerintah diubah menjadi tanggung jawab kampus.
Hal positifnya, perguruan tinggi (PT) memiliki otonomi untuk membuka dan menutup program studi tanpa persetujuan pemerintah. Namun, dari sisi pendanaan, PT harus mencari dana sendiri untuk kebutuhannya. Oleh karena itu, PT perlu membuka lahan bisnis agar memperoleh pendapatan lebih. Selain membuka bisnis, tentu juga akan memberatkan mahasiswa. Sebab, biaya kuliah bisa meningkat demi menutupi kekurangan dana PT.
Pandangan pendidikan itu rupanya ditentang oleh berbagai kalangan, termasuk Novada. Sebab, negara tidak lagi bertanggung jawab membiayai pendidikan. “Padahal mencerdaskan kehidupan bangsa adalah janji negara,” tutur Novada. Apabila biaya kuliah mahal, maka pernyataan bahwa pendidikan bukan milik publik semakin dibenarkan. Sebab, hanya mereka yang punya banyak uang yang bisa mengakses pendidikan tinggi ini.
Saat ini, beberapa kampus yang sudah berstatus PTN-BH ternyata tidak dapat mengoptimalkan lahan bisnisnya. Novada menyertakan data pendanaan Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai contoh kerugian PTN-BH. Setiap tahun, ITB mengeluarkan dana sekitar Rp300 milyar untuk kebutuhannya. Namun, pendapatan dari 15 perusahaan ITB hanya menghasilkan Rp17 milyar. Pendapatan perusahaan tidak cukup membiayai kebutuhan ITB. Oleh karena itu, ITB menaikkan biaya kuliah mahasiswanya. “Mahasiswa menjadi korban,” kata mahasiswa lulusan Universitas Brawijaya ini.
Saifur pun menambahkan, kondisi PT ini membuat nilai kewajiban negara tergerus. Kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa mestinya direalisasikan. “Sudah sepatutnya bangsa memperoleh pendidikan dengan kualitas yang bagus dan berbiaya murah,” ujar Saifur. Namun, upaya itu tidak bisa dilaksanakan melalui PTN-BH.
Penulis: Hendrik Yaputra dan Lutfia Harizuandini
Editor: M. Rizky Suryana