Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa Prodi (PKMP) adalah salah satu kegiatan dari rangkaian penerimaan mahasiswa baru yang sudah berlangsung dari tahun ke tahun.  PKMP menjadi  proker bagi seksi kaderisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Program Studi. Namun, pada teknis lapangannya  para panitia acara PKMP ini sering mengatakan kepada mahasiswa baru bahwa acara ini adalah suatu acara wajib yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa baru guna mendapatkan sertifikat. Panitia PKMP mengatakan bahwa sertifikat acara PKMP penting  untuk pengajuan skripsi.

Padahal, pada kenyataannya menurut Anisa Fathia dan Putri Eka Wulandari, mahasiswa Sastra Indonesia yang baru saja lulus pada tahun 2019 mengatakan Bahwa sertifikat PKMP  tidak digunakan dalam pengajuan skripsi dan sertifikat PKMP  ini hanya hanya berguna bagi mereka yang ingin mengikuti kegiatan organisasi seperti BEM.

Dalam kata lain, poin Kredit Keaktifan Mahasiswa (KKM)  yang didapat dari PKMP hanya sebagai tambahan poin mahasiswa yang sebenernya poin KKM itu dapat diperoleh melalui kegiatan lain. Selain itu,  sertfikat PKMP hanya sebagai penunjang atau poin tambahan,  bukan sebagai syarat wajib untuk skripsi. 

Tujuan PKMP seperti yang dikatakan BEM dan panitianya adalah untuk melatih kepemimpinan mahasiswa baru. Namun, apakah pada prakteknya mereka benar-benar melatih jiwa kepemimpinan seseorang?

Padahal menurut Sonia McDonald CEO & Founder LeadershipHQ dalam sebuah artikelnya menyebutkan bahwa pemimpin tidak dapat diciptakan melalui serangkaian program pelatihan saja . Meskipun pelatihan kepemimpinan dapat mengajarkan berbagai Keterampilan, pengetahuan dan kiat dalam memimpin, namun sebenarnya pelatihan tidak dapat menyertakan sikap kepemimpinan secara natural. Apapun bentuk pembelajaran yang ditawarkan organisasi haruslah didukung oleh kesempatan bagi mereka untuk mengalaminya sendiri, dan peluang tersebut harus diintegrasikan ke dalam program kepemimpinan di organisasi. Dengan mengalaminya sendiri secara langsung, maka para calon pemimpin akan mampu menemukan jalannya sendiri.

Selain itu, acara PKMP yang digaungkan untuk melatih kepemimpinan seseorang, namun dalam prakteknya justru melakukan tindakan seperti Bentakan-bentakan dan penugasan dalam PKMP misalnya seperti membawa alat makan yang warnanya harus sama bagi semua peserta sama sekali tidak menunjukkan esensi dalam melatih jiwa kepemimpinan itu sendiri. Selain itu tak semua orang bisa dimarah-marahi atau dibentak karena dalam beberapa kasus justru hal tersebut menimbulkan trauma.

Iklan

Tak hanya itu acara PKMP yang disosialisasikan secara mendadak yakni H-13 sebelum keberangkatan memunculkan banyak masalah. Salah satunya masalah ekonomi. Biaya pendaftaran PKMP yang tak sedikit dan barang bawaan yang  cukup menguras  kantong, harus peserta siapkan secepat mungkin dengan masa tenggat sebelum keberangkatan. Padahal mahasiswa di UNJ terdiri dari beberapa golongan yang tidak semuanya berasal dari keluarga yang mampu. Namun, panitia seolah tutup telinga mendengar permasalahan yang ada.

Pada saya saat kumpul bersama angkatan Prodi  bersama ketua pelaksana PKMP ia mengatakan bahwa, ia dan angkatannya pun  setahun lalu pernah merasakan hal yang angkatan tahun ini rasakan yakni masalah ekonomi. Ia beranggapan bahwa calon peserta harus mempunyai niatan untuk berangkat dan mengusahakan apa-apa yang menjadi permasalahan yang menghambat calon peserta dalam mengikuti rangkaian acara ini. ia menuntut rasa solidaritas bagi angkatan tahun 2019 untuk membantu temannya yang  memiliki masalah ekonomi untuk mengikuti acara PKMP ini.  Padahal rasa Solidaritas tak hanya ditunjukkan dalam masalah ekonomi saja. Apalagi Jika beberapa pihak keberatan untuk membantu tetapi karena kata ‘solidaritas’ yang digaungkan membuat beberapa orang malu dan minder untuk mengatakan keberatannya.

Tak hanya itu, salah seorang panitia juga pernah mengatakan kepada seorang calon peserta bahwa calon peserta itu harus berusaha untuk mencari dana untuk biaya pendaftaran dan keperluan untuk membeli barang bawaan acara PKMP ini dengan meminjam uang kepada saudaranya atau menggunakan uang tabungan yang ada atau juga dengan pergi bekerja. Jelas hal ini adalah hal yang salah karena panitia sudah bertindak terlalu jauh menyerang hak pribadi seseorang

Sangat disayangkan, apabila dari tahun ke tahun panitia sudah mengetahui Kendala yang menghambat keikut sertaan calon peserta PKMP adalah masalah ekonomi, seharusnya itu dijadikan sebagai bahan evaluasi agar kedepannya mereka bisa mensosialisasikan acara ini jauh-jauh hari, agar calon peserta pun dapat mempersiapkan kan biaya pendaftaran dan barang bawaan yang diwajibkan. Alih-alih menuntut rasa solidaritas teman-temannya untuk membantu dengan cara patungan yang dinilai kurang etis, apalagi saran untuk meminjam kepada saudara atau bekerja yang juga terlalu bersifat pribadi.

Panitia yang hampir sebagian besar berasal dari BEM harusnya mampu menerima kritikan, saran dan memperbaiki acara dari evaluasi yang terjadi pada tahun lalu. Bukannya malah membiarkan masalah yang biasa terjadi dari tahun ke tahun terus terjadi di tahun berikutnya. Panitia harusnya belajar dari evaluasi acara yang sebelumnya agar kedepannya bisa membuat acara yang lebih baik dan harusnya mereka lebih terbuka untuk menerima kritikan yang dilontarkan mahasiswa baru bukannya menolak dan seolah menjadi ‘anti kritik’.

Kesimpangsiuran panitia dalam menyampaikan pentingnya acara PKMP ini dibarengi dengan pemaksaan-pemaksaan yang sedikit tidak masuk akal membuat mahasiswa baru bertanya-tanya, apakah memang benar acara ini adalah acara yang diwajibkan oleh pihak Universitas atau hanya program kerja dari BEM sendiri?

Panitia kurang mensosialisasikan tentang sertifikat PKMP yang katanya amat sangat penting untuk skripsi nanti, namun dalam hal ini penulis menilai bahwa acara PKMP sama sekali tidak berhubungan dengan akademik seperti skripsi. Kepada mahasiswa baru harusnya panitia menyampaikan dengan sebenar-benarnya bahwa pentingnya acara ini apabila memang dibutuhkan untuk pengajuan skripsi nanti agar mahasiswa baru tidak kebingungan dan bisa mengikuti acara ini karena kemauannya sendiri tanpa ada unsur pemaksaan karena  pemaksaan panitia seperti menyuruh bekerja berhutang adalah suatu tindakan yang menyalahi aturan dan saran seperti patungan guna membentuk solidaritas angkatan sama sekali tidak sesuai.

Acara pelatihan kepemimpinan mahasiswa harusnya menjadi ajang yang baik untuk melatih jiwa kepemimpinan seseorang. Namun apabila acara ini dimasukkan unsur-unsur yang sama sekali tidak membentuk jiwa kepemimpinan seseorang harusnya mendapatkan evaluasi dari peserta, panitia atau dari pihak Universitas itu sendiri guna menciptakan acara yang baik agar tujuan awal dari acara ini dapat tercapai. Hal-hal dalam penugasan yang dirasa tidak perlu harusnya juga dihapuskan dan yang terpenting adalah sosialisasi yang dilakukan secara tidak mendadak dan menekan mahasiswa baru.

Penulis: Nafisah

Editor: Uly Mega S.

Iklan