Gerakan Masyarakat Peduli Desa Wadas (Gempadewa) ajukan tuntutan penghentian pembangunan quarry hingga pengusutan tuntas tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian
Rabu, (09/02/2022) sejumlah 67 orang warga, termasuk tiga belas anak-anak, lima kawan solidaritas, dan satu orang seniman serta seorang dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dibebaskan kepolisian karena tidak terbukti bersalah.
Pasca penangkapan 67 warga tersebut, Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan rilis pers yang dituangkan dalam bentuk empat tuntutan kepada Gubernur Ganjar Pranowo dan Kapolda Jawa Tengah, yaitu untuk menghentikan rencana pertambangan quarry di Desa Wadas, menarik aparat kepolisian dari Desa Wadas, menghentikan kriminalisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas, serta untuk mengusut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di Desa Wadas.
Sementara itu di Wadas sendiri, salah seorang yang namanya tidak ingin disebut mengatakan pada Konferensi Pers tersebut bahwa sampai hari Kamis (10/02/2022) keadaan di Wadas masih mencekam. Beberapa anak sekolahan masih tidak ingin bersekolah, bahkan sampah-sampah bekas aparat pun berserakan di halaman rumah warga.
“Beberapa warga juga ada yang dibawa paksa guna mengukur lahannya, sekitar sepuluh orang aparat bersama mereka”, ujarnya.
Baca juga: Don’t Look Up: Sebuah Satire Untuk Media Massa Hari Ini
Salah seorang warga lain yang juga tidak ingin disebut namanya menyatakan bahwa beberapa orang juga masih ada yang berada di hutan bahkan keluar dari Wadas karena takut terhadap aparat. Dirinya juga menjelaskan bahwa ada anjing pelacak yang dikerahkan guna mengejar warga.
Tidak hanya itu, salah seorang relawan dari Solidaritas Perempuan Kinasih mengatakan bahwa keadaan Wadas benar-benar sepi, warga berlindung di rumahnya masing-masing. Hal ini ditambah dengan aliran listrik dan internet yang tidak dapat berfungsi.
“Saya dapat cerita dari ibu-ibu, anaknya mengalami trauma. Pasokan pangan pun hanya sedikit, kami hanya makan mie instan dan cabai karena tidak ada aktivitas ekonomi beberapa hari ini,” ujarnya.
Dirinya juga menyayangkan belum adanya penarikan aparat dari lokasi kejadian. Padahal, guna menghilangkan trauma dari warga sendiri menurutnya sangat diperlukan penarikan aparat. “Pemerintah juga ingkari janjinya untuk menarik aparat dari Wadas,” tambahnya.
Senada dengan perempuan itu, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta juga mengatakan Ganjar Pranowo telah mengingkari perkataannya, aparat masih bersiaga di Wadas.
“Beberapa warga juga dipaksa menandatangani pengukuran tanah,” ungkapnya.
Trisno Raharjo dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah sempat juga menyayangkan perbuatan aparat yang sudah terlanjur berlebihan. Termasuk juga pemutusan listrik yang seharusnya tidak perlu dilakukan.
Senada dengan Trisno, Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International mengecam tindakan aparat yang mirip seperti pengepungan terhadap anggota terorisme.
“Aparat tidak amankan masyarakat, justru aparat mengamankan pejabat negara dan kepentingannya. Benar tidak ada tembakan, namun salah jika katakan tidak ada kekerasan,” ungkapnya.
Menurutnya, kedatangan aparat bukan untuk menjaga konflik horizontal antar warga, namun hanya mengamankan kepentingan pejabat. Sehingga konflik yang muncul adalah konflik antar masyarakat dan negara.
“Pemerintah hanya mementingkan proyek strategis nasional yang harus disegerakan, tanpa memikirkan partisipasi masyarakat di dalamnya, apa yang dilakukan di Wadas adalah pelanggaran terhadap hak asasi, pelanggaran demokrasi dan pelanggaran hukum” tandasnya.
Zainal Arifin, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyimpulkan kasus ini sebagai suatu potret buram dari reformasi. Dimana masih ada kasus-kasus yang sama seperti zaman Orde Baru.
“Sejak aparat masuk desa itu merupakan suatu bentuk kekerasan, klaim pemerintah yang menyatakan tanpa kekerasan adalah kebohongan. Sangat disayangkan juga pemerintah tetap melanjutkan pengukuran meskipun sudah viral penolakan di media sosial,” ungkapnya.
Dirinya juga mengatakan kelakuan negara sudah dapat dikatakan sebagai tindak represif dan kekerasan terhadap warga negaranya.
Penulis: Izam Komaruzaman
Editor: Yoga Al-Fauzan