Sistem parkir baru beserta kebijakan denda toga mengindikasikan ciri UNJ menuju PTN BH. Kita harus menyadari PTN BH dalam praktiknya selalu mencekik mahasiswa.
Kampus A UNJ akan menerapkan sistem parkir berbayar. Dalam praktiknya, Badan Pengelola Usaha (BPU) UNJ bekerja sama dengan vendor pengelola parkir Ardas. Awalnya wacana yang dilontarkan BPU parkir ini akan menggunakan sistem pembayaran tahunan sebesar 50 ribu rupiah.
Meski belakangan BPU mengoreksi wacana tersebut, Kepala Divisi Bidang Pengembangan Aset Badan Pengelola Usaha (BPU), Rahman menyatakan tidak akan ada biaya apapun bagi civitas akademika. Pernyataan Rahman juga didukung dengan munculnya Surat Edaran Nomor 27 Tahun 2023 pada Senin (02/10) yang menyatakan mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, dan warga UNJ lainnya tidak dikenakan tarif parkir.
Pengadaan kebijakan parkir ini dapat ditilik lebih lanjut sebagai motif UNJ yang sedang berjalan menuju PTN Berbadan Hukum (BH). Satu yang mahal dari label Badan Hukum ini ialah pengurangan subsidi dari pemerintah untuk membiayai operasional kampus.
Maka bersamaan dengan pengadaan sistem parkir ini, terdapat beberapa kebijakan baru yang menunjukan UNJ sedang mencari ruang-ruang ekstraksi dana baru. Sebut saja kebijakan kantin Blok M yang mengharuskan pemotongan 3 persen dari penjualan pedagang per hari untuk pihak kampus dan toga wisuda yang hanya dipinjamkan saja.
Kebijakan baru perihal busana wisuda tersebut tertuang dalam ketentuan wisuda 118 yang dirilis 18 September lalu. Hal ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana mahasiswa mendapatkan toga secara gratis. Ketentuan tersebut mengatur denda bila terjadi kerusakan maupun kehilangan yang apabila ditotal, seluruh komponen bernilai sampai Rp550.000.
Meski begitu, sistem denda ini harus ditelisik lebih lanjut. Dugaan penulis, ini hanya siasat kampus dalam menjaring uang mahasiswa. Sekarang kita pikir baik-baik, siapa yang tidak mau memiliki atribut kelulusan tersebut?
Bukankah simbol itu penting, sebagai tanda kita pernah mengarungi dunia perkuliahan? Maka bukan tidak mungkin mahasiswa akan lebih memilih untuk tidak mengembalikan toganya dan membayar denda.
Baca juga: Di Balik Perubahan Kebijakan Busana Wisuda
Kesamaan Watak PTN BH
Berkaca dari PTN-PTN ternama, setelah bertransformasi menjadi BH mereka cenderung semakin memeras uang mahasiswa. Semisal Universitas Indonesia sedang hangat isu tentang uang kuliah yang tinggi, kampus jaket kuning mematok UKT hingga 17 juta untuk mahasiswa. Di Universitas Gadjah Mada (UGM), sempat ramai perihal pengadaan sumbangan pendidikan alias uang pangkal yang rentangnya 20 hingga 30 juta rupiah per mahasiswa.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi kita, Nadiem Makarim memang berharap dengan adanya PTN BH, kampus dapat memiliki pendanaan mandiri dan tidak hanya mengandalkan uang mahasiswa. Masalahnya pengandaian Nadiem sebatas mimpi di siang bolong, sebab kampus sendiri tidak mampu beroperasi tanpa memungut uang mahasiswa.
Nyatanya mayoritas pendapatan tahunan UGM saja didapat dari kantong mahasiswa. Sekitar 1,13 triliun pendapatan UGM berasal dari layanan pendidikan. Sementara anak-anak perusahaan UGM hanya menghasilkan sekitar 183 miliar. Serupa, di Universitas Brawijaya, uang dari kantong mahasiswa masih menjadi mayoritas pendanaan. Pada 2023 saja sekitar 1,04 triliun atau 59% dari sumber pembiayaan UB diambil dari uang mahasiswa. Pendapatan badan usaha yang mereka miliki hanya sebesar 57 miliar.
Naif bila Rektorat mengklaim PTN BH tidak akan merogoh kocek mahasiswa. Contoh-contoh yang sudah ada malah memperlihatkan kecenderungan demikian. Tapi kan kebijakan parkir sudah menjadi gratis, perihal toga pun tidak mewajibkan mahasiswa membelinya. Bukankah itu kemurahan hati kampus untuk tidak membebani mahasiswa?
Sayangnya tidak semudah itu, perubahan kebijakan tersebut tidak bisa dibaca hanya sebatas kemurahan hati kampus. Harus dipahami bahwa UNJ sedang menata jalan menuju PTN BH. Tentu penting untuk meyakinkan mahasiswa perubahan status ini tidak akan merogoh kocek mereka.
Apalagi rektorat memiliki janji–sebelum menjalankan periode keduanya–untuk tidak menaikan uang kuliah, meski pada akhirnya mereka tetap menjaring uang kita, lewat pungutan-pungutan di luar UKT.
Posisi Tawar Mahasiswa
Satu pola yang perlu diperhatikan dari kebijakan parkir dan toga ini adalah nihilnya partisipasi mahasiswa. Sebab tidak ada yang mengetahui tentang akan diadakannya sistem baru ini, kita baru mengetahuinya saat mesin-mesin itu telah dipasang. Ihwal yang sama juga terjadi pada kebijakan busana wisuda, di mana rektorat sama sekali tidak membuka ruang diskursus bagi mahasiswa.
Dalam hal ini kampus menempatkan mahasiswa pada posisi pasif. Mereka sama sekali menihilkan mahasiswa dengan tidak melibatkannya dalam setiap pembuatan kebijakan. Mahasiswa sama sekali tidak memiliki posisi tawar di depan pemangku kebijakan. Akibatnya, posisi mahasiswa menjadi rentan tereksploitasi oleh kebijakan kampus yang semena-mena.
Bukan tidak mungkin, di masa mendatang kebijakan parkir itu akan diubah, pun sama halnya dengan kebijakan toga. Dan mahasiswa akan tetap manut-manut saja terhadap hal demikian. Masih ada waktu sebelum nasi menjadi bubur. Faktanya, UNJ akan menjadi PTN BH. Masalahnya, PTN BH pasti merogoh kocek mahasiswa. Solusinya, mahasiswa harus punya posisi tawar di depan kampus.
Mahasiswa harus menyadari posisi mereka di kampus merupakan agen aktif. Sebagai ruang akademik, logika yang menempatkan mahasiswa hanya sebagai konsumen harus dipupus. Mahasiswa harus memiliki posisi tawar di depan pemangku kebijakan.
Melihat sejenak sejarah, Senat Mahasiswa–sekarang setara BEM–dan Dewan Perwakilan Mahasiswa pernah memiliki posisi setara di depan rektorat. Sebelum akhirnya dipreteli lewat kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK). Meski begitu semangat gerakan mahasiswa tidak surut, justru ruang geraknya semakin menyebar, dari lingkar studi, pers mahasiswa, hingga organisasi non-pemerintah.
Bumi berputar, zaman beredar. Kebijakan semacam NKK/BKK mungkin sudah tidak ada. Namun depolitisasi mahasiswa masih terasa lewat korporatisme kampus. Satu hal yang pasti, peduli maupun tidak PTN BH akan terus memeras mahasiswa. Karena itu, dibanding berpangku tangan akan keadaan, membuka ruang-ruang tuntutan itu menjadi penting. Kita tidak ingin kampus ini menjadi semahal UGM maupun UI. Maka transisi PTN BH harus kita sikapi bersama.
Penulis: Izam
Editor: Ihsan