Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik (FT) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) 2020 mengunggah foto pengurus di akun Instagramnya. Namun, foto anggota perempuan disamarkan dalam unggahan tersebut. BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) juga melakukan hal yang hampir sama, yaitu mengunggah foto kepengurusan tahun 2017, namun foto pengurus perempuan diganti dengan karakter animasi Jepang (anime).
Akun Instagram @space.unj mengangkat isu tersebut dengan mengatakan bahwa, BEM FT dan FMIPA UNJ melakukan praktik diskriminasi gender. Noval Auliady salah satu anggota Study and Peace (SPACE) UNJ mengatakan, alasan menyebarkan praktik tersebut, agar mahasiswa UNJ mengetahui bahwa praktik diskriminasi gender masih ada di kampus ini. Harapan Noval, masyarakat UNJ tidak melegitimasi segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan berdasarkan identitas, khususnya gender.
Jihan Aulia Zahra, mahasiswi Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia UNJ 2016, merasa kecewa dengan BEM. Menurut Jihan, BEM seharusnya dapat menaungi semua gender, baik laki-laki ataupun perempuan. Karena BEM, merupakan organisasi yang seharusnya mengedepankan kesetaraan, tanpa diskriminasi, entah itu agama atau gender.
Menurut Jihan, diskriminasi gender yang ada di beberapa BEM fakultas di UNJ terjadi karena adanya pemikiran yang cenderung satu arah di dalam organisasi. Baginya UNJ merupakan universitas yang mahasiswanya beragam. Sehingga BEM sudah seharusnya menjadi ruang bebas dan tidak di kuasai oleh satu wacana tertentu saja.
Pihak UNJ akhirnya angkat bicara mengenai kasus ini. Shandy Aditya, selaku Staff Pengembang Wakil Rektor III (WR III) bidang Kemahasiswaan mengatakan mahasiswa harus membedakan antara kepercayaan pribadi dan image di muka publik sebagai pelayan mahasiswa (BEM). Agar UNJ tidak mendapatkan image yang tidak seharusnya. Solusi dari pihak UNJ, BEM FT dan BEM FMIPA perlu membuat klarifikasi terkait kasus tersebut yang akan di-screening terlebih dahulu oleh WR III.
Menanggapi hal tersebut dalam klarifikasi yang dibuat oleh BEM FT, mengatakan tidak ada foto yang disamarkan, melainkan diturunkan opacity-nya. Selain itu, di dalam klarifikasi tersebut, BEM FT mengatakan penurunan opacity itu sudah sesuai kesepakatan dengan anggota perempuan.
Senada dengan Jihan, Rayhan Rizka mahasiswi Prodi Pendidikan Sejarah angkatan 2017, mengomentari surat klarifikasi yang dibuat oleh BEM FT. Menurutnya, diturunkan opacity foto bukanlah jawaban yang sedang dipersoalkan. “Poinnya adalah mereka sama-sama berusaha untuk menghilangkan eksistensi perempuan,” ujarnya.
Selain itu ia pun menambahkan, Seharusnya mereka (red- BEM) membaca lagi apa beda dari feminisme, patriarki, dan seksisme. “Karena, jika emang mereka bilang gak ada seksisme, kenapa penawaran foto yang opacity-nya diturunkan hanya ditunjukkan hanya kepada pengurus perempuan saja. Apa itu gak seksis namanya?” papar Rizka
Untuk menjawab kekecewaan tersebut, tim Didaktika (12/02) mencoba menemui Ibrahim Kautoni Baurekso. Namun, ketika kami ke sekretariat BEM FT, ia sedang tidak ada. Akhirnya kami menemui wakil ketua BEM FT Zezen Zaenudin, ia mengatakan tidak bisa berkomentar terkait klarifikasi tersebut. “Saya takut melangkahi Ibrahim Kautoni selaku ketua BEM FT,” tuturnya.
Ketika kedua kali tim Didaktika datang ke sekret BEM FT (13/02), Ibrahim juga tidak ada di tempat. Lalu, tim Didaktika meminta untuk bertemu dengan ketua BEM FT, namun hingga saat ini, belum ada balasan.
Tim Didaktika juga menemui Cecep ketua divisi sosial politik BEM FMIPA, ia mengatakan bahwa foto tersebut tahun 2017, jadi ia merasa tidak berhak untuk memberikan tanggapan.
Wacana Konservatif dan Praktik Diskriminasi Gender
Mahasiswi FMIPA Prodi Ilmu Komputer, Tasya Nurfitria, angkat bicara mengenai isu diskriminasi gender di BEM FMIPA. Baginya tidak ada diskriminasi gender dalam BEM FMIPA. Karena, menurut Tasya memang perempuan di FMIPA rata-rata beragama Islam dan beberapa di antara mereka megang teguh ajaran agama (Islam) mereka. “Jadi, biasanya itu balik ke personal masing-masing, mau atau tidak menampilkan muka mereka,” tutur Tasya, ketua kaderisasi Lembaga Legislatif Mahasiswa Ilmu Komputer periode 2018-2019.
Ia juga menambahkan, bahwa di FMIPA sejak Masa Pengenalan Akademik (MPA) sudah ada pengenalan semacam mentoring keislaman.
Hesti, mahasiswi FMIPA prodi Pendidikan Kimia, membenarkan bahwa pada masa pengenalan akademik sudah ada kegiatan mentoring keislaman. Namun, menurutnya hal tersebut tidak bersifat memaksa, “yang mau ikut aja, kalau tidak mau lanjut tidak apa.”
Ia sendiri akhirnya ikut melanjutkan mentoring keislaman, karena menurutnya dalam kegiatan mentoring keislaman mengajarkan kebaikan. Selain itu, ia juga ingin memperdalam ilmu agamanya. “Karena aku ngerasa makin kesini aku makin jauh dari agama,” ucap mahasiswi angkatan 2018 tersebut.
Menurut penelitian Setara Institute dengan judul Wacana dan Gerakan Keagamaan di Kalangan Mahasiswa: Memetakan Ancaman atas Negara Pancasila, menunjukkan adanya kelompok islam militan yang ekslusif. Wacana keagamaan yang dikembangkan oleh mereka bersifat eksklusif, mendukung dan memperjuangkan formalisme syariah Islam di kampus, sehingga cenderung intoleran terhadap non-muslim dan resisten terhadap wacana keagamaan kelompok lain.
Dalam penelitian tersebut juga dijelaskan bagaimana kelompok islam militan yang ekslusif tersebut mulai menguasai organisasi intra kampus. Di beberapa kampus dilakukan dengan aneka strategi politik, bahkan dengan menghalalkan segala cara (Machiavellis). Misalnya, dengan merekayasa aturan Panitia Penyelenggara Pemilu Mahasiswa yang juga mereka kuasai. Sehingga calon Ketua BEM hanya satu (tunggal) dari kelompok mereka dengan cara melakukan politisasi aturan mengenai syarat dukungan yang sulit dipenuhi bakal calon dari kelompok lain. Bayangan mereka mengenai kontestasi politik mahasiswa seperti daarul harb (wilayah peperangan), sehingga kebohongan, rekayasa, dan strategi curang-manipulatif menjadi ‘halal’ untuk digunakan.
Dalam jurnal penelitian oleh Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNJ berjudul Studi Kebijakan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UNJ dalam Perspektif Gender, Wardah Nisa, Eka Wahyuni, dan Giantina Komalasari mengemukakan bahwa penyebaran gagasan keislaman dalam BEM dan LDK berpotensi menyebabkan adanya diskriminasi gender. Yakni, melalui kebijakan gerakan setengah tujuh pulang dari LDK yang akhirnya diterapkan di BEM, perempuan diberikan pemahaman bahwa perempuan memang ditempatkan di rumah. Sehingga secara tidak langsung memberikan pandangan bahwa memang perempuan tidak boleh terlalu banyak ikut campur di ranah publik.
Dalam penelitian tersebut juga, menyebutkan bahwa pembenaran atas kebijakan ini semata-mata untuk melindungi mereka dari kejahatan lelaki pada malam hari. Karena pemahaman yang diberikan itulah, kemudian perempuan tidak menyadari hak-haknya untuk mengaktualisasi diri, mendapatkan kesempatan serta hak yang sama dengan laki-laki.
Penulis/Reporter: Uly Mega S.
Editor: Annisa Nurul H. S.