Oleh: Panji Gozali*
Sehari setelah peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020, media lini pendidikan ramai lantaran video dokumentasi sekelompok siswi/a sekolah yang ngotot merayakan kelulusan dengan corat-coret seragam di tengah pandemi, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan bulan suci Ramadhan.
Siswi/a yang berasal dari SMAN 1 Kunto Darussalam, Riau, yang mencoreng nama pendidikan itu, menyita banyak perhatian para praktisi pendidikan, tak terkecuali Sumardiansyah, Presiden AGSI (Asosiasi Guru Sejarah Indonesia). Katanya, “Tujuan pendidikan nasional sebagaimana amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, jelas menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi sudah jelas bahwa konstitusi ingin agar pendidikan kita utamanya diarahkan kepada pembentukan nilai-nilai karakter.”
Bagi saya, tujuan utama dari sebuah pendidikan adalah kesadaran. Barulah kesadaran itu yang nantinya menuntun manusia menuju ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Saya agak ragu sebetulnya, apakah wajah pendidikan kita sekarang betul-betul bisa mengarah pada nilai-nilai karakter? Pendidikan yang dibya adalah yang tidak terlepas dari nilai keluhuran: spiritual dan kultural. Mengingat pembelajaran di sekolah nyatanya selalu saja diajarkan sektoral dan cenderung mengejar capaian angka semata, bukan pada elastisitas keluhuran yang terus berjalan—hukum alam.
Ada masanya pendidikan kita memilah-milih antara yang layak terdidik dan yang tidak. Tapi, ada masanya juga masa itu masih kita rasakan sampai sekarang. Saat larangan rambut gondrong dalam kelas pendidikan pertama kali diberlakukan Jepang, tapi anehnya jadi sebuah pembenaran yang diamini bahkan sampai dengan sekarang. PENDIDIKAN KITA TIDAK MERDEKA DARI SEJARAH. Lebih aneh lagi kalau para pendidik malah asik dengan kealpaannya.
Ketika pendidikan menjadi sebuah kiat dagang, saat itulah bangku terjual lebih diprioritaskan ketimbang mutu yang diberikan. Ketika orang-orang lebih percaya pada takhayul pembangunan, saat itulah pendidikan menjadi kebudayaan kursi tua. CILAKA! Kita terombang-ambing dalam kebudayaan yang seolah dibikin baik-baik saja. Setidaknya, satu-satunya penantian panjang yang dilalui wajah pendidikan adalah terbangunnya sebuah MENTALITAS dari yang telah dididik/terdidik.
Lantas, apakah penantian akan datangnya mentalitas itu sudah selesai, belum selesai atau jangan-jangan masih belum dimulai?
Penantian?
Biar sudah turut membaca naskahnya dan turut serta menonton Samuel Becket: Waiting For Godot, lucunya getir. Tidak sekonyong-konyong menginduk gelak tawa pada sebuah komedi, tapi juga rasa sakit pada sebuah tragedi. Tragikomedi!
Dalam kehidupan, nyatanya “kemungkinan” menunggu yang absolut itu sangat kecil tanpa dibalut keyakinan yang kuat. Mungkin juga seperti orang-orang yang menunggu datangnya hari kiamat, atau para narapidana yang menunggu antrean hukuman mati tanpa adanya waktu yang menentu, atau menunggu antrean berobat yang kian tak menentu, atau MENUNGGU PANDEMI COVID-19 BERAKHIR dan perkara tunggu-menunggu lainnya. Badai pasti berlalu, tapi nyatanya tidak pada Vladimir dan Estragon yang menunggu datangnya Godot. Namun sampai di akhir tontonan, justru Godot itu sendiri tidak pernah ada. Becket mengajarkan tentang artinya kesetiaan. Sebuah hakikat yang berbenturan dengan ruang dan di sisi lain juga mencoba melepaskan diri dari waktu. Perkara yang sulit mengingat waktu adalah satuan yang terus berjalan.
Kegetiran komedi pada Waiting For Godot ini membuat saya teringat pada masa Orde Baru yang mendapatkan penghargaan internasional karena sukses swasembada pangan, mengingat kita tertawa di atasnya pasca Reformasi sekarang ini. Atau, bisa juga saat kita tertawa pilu mengingat janji-janji palsu para pemimpin yang nyatanya berbeda dengan kenyataan. Atau bahkan, penantian kita yang murung di tengah Pandemi Covid-19 sambil berandai-andai kenikmatan sebagai seorang manusia yang bebas sewaktu belum diterjang pandemi. Padahal, kita semua sadar betul bahwa alam sekarang sedang memperbaiki sistemnya sendiri di saat manusia mengurung dirinya di dalam rumah.
Waiting For Godot mengajarkan kita bahwa menunggu adalah hal yang pasti dialami manusia selain hidup dan mati. Pergolakan konflik batin dalam diri manusia tentang mempertahankan keberanian yang besar untuk tetap setia menunggu sesuatu. Ini gila!—Dorongan kehidupan yang terus hidup dengan hasrat menunggu sesuatu.
Lantas, sudah seberapa sabar kita dalam penantian hilangnya pandemi? Kesulitan ekonomi, kegatalan ngeluyur, kegemasan membantu sesama dan perintilan-perintilan yang njelimet di dalam kepala tapi meraung lantaran tidak bisa kemana-mana seraya ikut serta anjuran, “Pembatasan Sosial!” katanya, sambil beberapa oknum asik mroyek sana-sini. Apalagi?
Sebetulnya, Pandemi Covid-19 ini adalah momentum bersama bila dilihat lewat sebuah pandangan nasionalisme bangsa. Mengingat nasionalisme dibentuk dari kesadaran kolektif identitas, kesadaran kolektif historis dan gerakan sosial bersama dalam menghadapi ancaman dari luar. Kesadaran kolektif identitas; mengingat kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, berseragam atas satu dasar negara yang sama. Kesadaran kolektif historis; mengingat kita sebagai bangsa yang sedang sama-sama dilanda pandemi. Gerakan sosial bersama dalam menghadapi ancaman dari luar; PSBB, memakai masker, penjagaan jarak, berdiam di rumah, menjaga kebersihan dan lain sebagainya. Secara sadar, bila itu semua diresapi, agaknya bisa menjadi sebuah momentum persatuan nasional. Momentum yang muncul secara alamiah ini istimewa, karena lahirnya bukan merupakan upaya dari luar atau sesuatu yang sengaja diciptakan untuk menjadikan negara semacam kue yang mau dipotong—dipisah.
Lantas, apa kiranya momentum ini sudah kita coba resapi dan terapkan? Mengingat sepertinya banyak masyarakat yang berpangku tangan pada nasib dan menyalahkan takdir, lalu masih tetap setia pada penantiannya dalam menunggu hilangnya pandemi tanpa ada tindakan yang nyata. Wallahualam.
Lakuan Mentalitas I
Pilu—Apa betul di tengah pandemi sekarang kebanyakan manusia itu hidup seperti burung yang sedang dipelihara? Maksudnya; dikurung, disemprot, dijemur dan setelahnya BERKICAU. Entah apa manusia sekarang menenuhi hukum kemungkinan atau tidak.
Jadi teringat beberapa waktu yang lalu, sempat muncul di muka berita soal burung kacer yang hilang di bagasi pesawat salah satu maskapai penerbangan dalam negeri. Konon, harga burungnya mencapai 150 juta. Gila, itu edan buat orang manut seperti saya. Padahal kita sama-sama tahu bahwa para revolusioner tidak memanjeri sebuah kemerdekaan, termasuk kemerdekaan burung, burung yang merdeka.
Lantas sebuah keluarga miskin yang membaca berita itu di salah satu surat kabar, ngotot membeli sebuah burung yang dimirip-miripkan dengan gambar yang ada di koran. “Burung palsu ini, kalau dikembalikan ke pemilik burung yang kehilangan itu, bisa bikin kita untung. Sekarang satu hari itu ada 25 jam, yang satu jam itu KOMISI!” kata si lelaki yang memegang koran.
“Jangan! Kita dosa. Apa artinya untung kalau pakai cara yang bikin buntung?” istrinya menanggapi.
“Hei jeng, yang mau kita tukar ini bukan burungnya. Tapi keberuntungannya. Burung palsu dan asli, identitasnya tetap sama-sama burung toh? Tapi kalau keberuntungan itu identitasnya jelas beda dengan kebuntungan!”
“Sama saja! Beruntung dan buntung itu sama-sama nasib. Sudahlah, KOMISI itu tidak sebanding dengan harga sebuah kemerdekaan burung yang seharusnya terbang bebas!”
Lelaki itu melipat koran lantas membantingnya dan segera berdiri. Tiba-tiba, sang istri langsung saja ditariknya ke kamar, “YANG BEGINI NIH GUA DEMEN!”
Sang lelaki dan istri yang sudah berminggu-minggu mengurung diri di rumah itu akhirnya merdeka, meski kemerdekaannya tidak serta-merta dibarengi bantuan sembako dari pemerintah, komunitas geriliya, dan masyarakat setempat.
“MERDEKA!” kata mereka berdua. Seraya memberanikan diri gagah dalam kemiskinan.
Lakuan Mentalitas II
Ajung, seorang penggemar berat bapak proklamator Soekarno sering bilang “Ber Perih-Perih Kolosok” (maksudnya: Vivere Pericoloso, Remy Sylado mengoreksi dalam Italy Vivere Pericolosamente), di setiap situasi yang gagah dalam kemiskinan. Suatu ketika ditegur anaknya Ujang, “Salah pak. Yang betul itu kata Soekarno ya Vivere Pericoloso.”
“Ah, sama saja. Apa yang kudengar dan enak dilidah, itulah yang bagus buat keluarga kita!” tepis bapaknya sambil mengenang pidato sang bapak proklamator tahun 1964 dulu.
Bertahun-tahun berjalan, Ajung meninggal. Namun hidup mesti terus berjalan. Ujang yang dulu remaja, kini sudah besar dan berumah tangga. Jika dulu bapaknya, Ajung mengidolakan sang bapak proklamator, maka Ujang yang ditempa tiga dasawarsa Orde Baru mengidolakan sang bapak pembangunan, swasembada pangan katanya. Bahkan di era reformasi, nama bapak pembangunan masih harum di sanubarinya.
Tapi sayang, gagah dalam kemiskinan sudah bukan lagi semboyan yang kuat dalam kehidupan keluarganya. Sebab, gagah dalam kemiskinan lambat laun menjadi sebuah lelucon belaka. Bahkan miskin tidak menjadi batasan hidupnya lagi di atas ketiadaan.
Besoknya, Ujang kaget bukan main. Di teras rumahnya, ada banyak paket kotak sembako. Satu dari lingkungan setempat, satu dari komunitas geriliya, satu dari balai bantuan desa dan satu lagi dari salah satu instansi pemerintah. Setelah Ujang cermati dan dilihat satu-satu, Ujang terkejut. “ASTAGA! Di setiap kotak ada nyengirnya!” katanya sambil menyabut foto-foto wajah nyengir para pimpinan instansi/organisasi/komunitas yang ada di tiap kotak sembako dan menempelkannya kembali di depan lemari pakaiannya, “Mwah, FANTASTIS!”
Buaran, 7 Mei 2020
*Alumni S1 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta, Punggawa Teater MOKSA
––––––
Catatan Redaksi: Opini ini menjadi tanggung jawab dari Panji Gozali sebagai penulis. Bila ada kritik maupun sanggahan terhadap opini ini, kami menyediakan hak jawab yang bisa dikirimkan ke email kami (lpmdidaktikaunj[at.]gmail.com) atau berkomunikasi dengan penulis opini ini.