Pagi ini (14/02) matahari belum terik menyinari langit Monumen Nasional (Monas). Cuaca mendung pagi itu berlawanan dengan semangat membara para petani Pegunungan Kendeng yang menolak pembagunan pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.
Para petani sudah melakukan aksi sejak Senin (12/02). Lalu, Selasa (13/02), para petani akhirnya bisa menemui Moeldoko, yang merupakan Staff Kepresidenan. Kemudian aksi ditutup pada Rabu (14/01) di Monas dengan membawa tumpeng sebagai rasa syukur petani karena masih bisa menikmati hasil taninya.
Berdasarkan Press Rilis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, aksi ini merupakan bentuk kekecewaan petani terhadap Ganjar Pranowo. Gubernur Jawa Tengah ini tidak kunjung mengusulkan kepada Kementerian Energi Sumber Daya Manusia (ESDM) untuk menetapkan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai karst atau kawasan yang rentan mengalami kerusakan alam.
Jika menilik mandat Presiden Joko Widodo tertanggal 2 Agustus 2016, ia mengamanahkan Kantor Staff Kepresidenan (KSP) untuk mengkoordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian ESDM untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) di pegunungan Kendeng Utara. Kajian ini meliputi Kabupaten Rembang, Kabupaten Blora, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Tuban, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Pati.
Dalam proses KLHS di Pegunungan Kendeng Utara dibagi menjadi dua tahapan. Tahap pertama kajian fokus CAT Watuputih Rembang. Akhirnya, KLHS tahap I sudah diumumkan pada 12 April 2017. Hasilnya membuktikan bahwa kawasan CAT Watuputih merupakan kawasan yang harus dilindungi. Kekecewaan berikutnya adalah masih beroperasinya pabrik semen di kawasan Pegunungan Kendeng.
Sutinah, salah satu petani Rembang, mengatakan alasan ia menolak pabrik semen. Ia berupaya mempertahankan kelestarian alam. Keberadaan pabrik semen dapat merusak tanah dan air. Menurutnya, jika pabrik semen tidak jadi beroperasi, maka pegunungan kendeng akan tetap lestari. Jika Pegunungan Kendeng itu digempur dan diambil tambangnya untuk semen, maka sawah tidak bisa lagi beroperasi karena air akan tercemar. Selain itu, lahan pertanian masih dapat diperdayakan anak, cucu, dan hajat orang banyak. “Petani itu cuma pengen jadi petani untuk menghidupi keluarganya dan orang banyak. Jadi, jangan diusik terus,” tuturnya.
Sutinah juga menambahkan bahwa di Rembang potensi pertanian dan kelautannya bagus. Sudah seharusnya dikembangkan oleh pemerintah agar dapat menambah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Menurutnya, petani menolak bukan hanya sekedar menolak. Ia mengatakan jika bumi digempur dan dirusak terus-menerus, bumi akan rusak. Ia mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan nantinya. Negara hanya bisa menjawab penyebab bencana, namun tidak bisa menanggung akibatnya. “Ujung-ujungnya rakyat yang sengsara,” tambah wanita usia 42 tahun itu.
Mengenai pertemuan dengan Staff Kepresidenan Moeldoko, Gunretno, salah satu petani asal Pati, memaparkan bahwa Moeldoko hanya ingin mendengarkan penjelasan dari para petani terlebih dahulu. Moeldoko akan mengusahakan keputusan yang tidak merugikan berbagai pihak.
Gunretno juga menceritakan bahwa Moeldoko menyampaikan soal pendirian pabrik semen negara yang telah mengorbankan dana sekitar 5 Triliyun. Moeldoko pun menyarankan pengoperasian pabrik semen di Pegunungan Rembang tetap dilanjutkan agar nantinya tidak akan ada pembangunan pabrik semen lagi.
Menanggapi hal tersebut, Gunretno menyatakan bahwa di dalam KLHS ada bagian yang membidangi ekonomi. Pabrik semen meraup 293 hektar tanah yang ada di Pegunungan Kendeng. Pun dijelaskan bahwa kerugian untuk pengoperasiannya per tahun mencapai 3,2 Triliyun. Sebab, itu sebenarnya CAT untuk lahan pertanian.
Menurutnya, petani itu tegas. Sejak lama, mereka yang se-dulur sudah menolak pembangunan pabrik semen. KLHS I dianggap ia sebagai solusi tepat bersama dan hasilnya harus dijalankan bersama. Ini perlu berlanjut ke KLHS II.
Gunretno berharap pemerintah tidak menggunakan aturan-aturan yang sempit. Akan tetapi, harus juga memikirkan kepentingan lain. Dalam hal ini, penjagaan lingkungan harus dikedepankan dan diprioritaskan. “Tanah tidak akan bisa produktif tanpa air. Pegunungan Kendeng merupakan CAT,” katanya.
Aksi hari itu selesai pada pukul 12 siang. Sebagai penutup aksi tersebut semua peserta aksi dengan lantang meneriakan Tolak Pabrik Semen, Kendeng Lestari.
Penulis: Uly Mega Septiani
Editor: BMHL