Oleh: *Darmaningtyas

Keberadaan organisasi guru di masa mendatang, terutama paska adanya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjadi sangat penting. Sebab organisasi guru itu dapat berperan besar dalam memajukan profesi guru dan sekaligus juga menjaga martabat guru agar tetap independen. Adapun pentingnya guru membentuk suatu organisasi profesi itu dinyatakan dalam Pasal 41, yang antara lain berbunyi:

  1. Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independent
  2. Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.
  3. Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi
  4. Pembentukan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  5. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru

Bunyi Pasal 41 di atas memperlihatkan suatu amanat nyata, tentang pentingnya organisasi bagi para guru di dalam upaya memajukan profesi, peningkatkan kompetensi, karir, wawasan, perlindungan profesi, kesejahteraan, maupun peran pengabdian kepada masyarakat. Oleh karena peran organisasi guru itu sangat penting, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan organisasi profesi guru tersebut. Jenis organisasi profesi di sini tidak disebutkan secara jelas, sehingga beragamnya penafsiran terhadap bunyi Pasal 41 itu dapat memiliki konsekuensi munculnya banyak organisasi profesi guru.

Hal itu berbeda misalnya dengan era sebelumnya yang memberikan hak yang jelas kepada guru untuk membentuk organisasi, kecuali masuk ke dalam satu organisasi tunggal yang bernama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dan semua tahu bahwa selama masa Orde Baru PGRI merupakan salah satu mesin politik untuk pemenangan Golkar. Beban sejarah inilah yang menyebabkan PGRI sekarang tidak bisa melenggang leluasa, meskipun sebagian besar pengurusnya sudah mencitrakan diri sebagai organisasi yang independent.

Pasal 41 di atas memberikan gambaran mengenai peran yang dapat dimakinkan oleh organisasi profesi guru guna memajukan, melindungi, dan mensejahterakan profesi guru itu sendiri. Sedangkan kewenangan yang dimiliki oleh organisasi guru itu diatur dalam Pasal 42 yang menyatakan, “Organisasi guru mempunyai kewenangan:

  1. Menetapkan dan menegakkan kode etik guru;
  2. Memberikan bantuan hukum kepada guru;
  3. Memberikan perlindungan profesi guru;
  4. Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru; dan
  5. Memajukan pendidikan nasional”.

Bila mencermati bunyi Pasal 42 di atas, maka ada dua kewenangan yang dimiliki oleh organisasi profesi guru, yaitu kewenangan ke dalam (internal) dan ke luar (eksternal). Kewenangan ke dalam adalah menegakkan kode etik, serta melakukan pembinaan dan pengembangan profesi guru, sedangkan kewenangan ke luar adalah memberikan bantuan hukum, perlindungan terhadap profesi guru itu sendiri, serta turut memajukan pendidikan nasional. Kedua peran eksternal itu mengandaikan bila guru menghadapi persoalan-persoalan hukum dengan pihak lain, maka organisasi profesilah yang memberikan bantuan untuk penyelesaian atau perlindungan, sehingga posisi guru tidak makin terpuruk, karena tidak harus sibuk mencari pengacara sendiri, tapi pengacara organisasi lah yang akan memberikan bantuannya.

Iklan

Baca Juga: Trisula Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Tapi bila dicermati rumusan pasal-pasal di atas, sebetulnya apa yang dimaksudkan organisasi guru di sini mengalami penyempitan makna bila dibandingkan keberadaan organisasi guru seperti pada masa penjajahan atau awal-awal kemerekaan Republik Indonesia. Organisasi guru pada masa penjajahan dan awal-awal kemerdekaan lebih bersifat politis, yaitu bagaimana guru dapat memperoleh hak-haknya sebagai guru di tanah jajahan maupun di tanah merdeka. Pada masa penjajahan misalnya, telah muncul Perserikatan Guru Bantu (PGB), Perserikatan Normaal School (PNS), Kweekschool Bond (KB), Hoogere Kweekschool Bond (HKSB), Persatuan Guru Indonesia (PGI, 1932), sebagai lanjutan dari Persatuan Guru India Belanda (PGHB) yang didirikan pada tahun 1912. Pada masa pendudukan Jepang semua organisasi profesi dilarang. Dan setelah merdeka berdirilah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang lair pada tanggal 25 November 1945 (HAR. Tilaar, Pembangunan Pendidikan Nasional 1945 -1995, suatu Analisis Kebijakan, 1995: 296) atau tiga bulan setelah kemerdekaan RI.

Semua organisasi yang berdiri pada masa penjajahan itu tidak hanva sekadar untuk meningkatkan profesionalisme guru, tapi bagian dari dinamika perjuangan kemerdekaan. Sedangkan PGRI sendiri pada awalnya adalah sebagai organisasi serikat atau lebih tepat disebut sebagai serikat guru yang tugasnya adalah memperjuangkan hak-hak guru. PGRI berubah menjadi organisasi profesi baru pada kongres tanggal 24 November tahun 1973 atau setelah masa Orde Baru (ibid).

Sekilas memang seperti tidak ada bedanya antara organisasi serikat dengan organisasi profesi. Tapi secara politis jelas dampakya sangat berbeda. Sebagai organisasi serikat, maka organisasi guru memiliki kemampuan untuk menegoisasikan hak-hak guru kepada pengambil kebijakan. Tapi sebagai organisasi profesi, organisasi guru itu dikerangkengi pada masalah pengembangan profesi saja. Coba simak bunyi kedua pasal di atas, semua lebih menekankan pada pengembangan profesi guru daripada sebagai perjuangan guru untuk memperoleh hak-hak mereka secara layak.

Pasal 43 dan 44 di bawah ini juga lebih banyak mengatur masalah internal guru, kaitannya dengan keberadaan Dewan Kehormatan Guru. Pasal 43 misalnya menyatakan:

  1. Untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan, organisasi profesi guru membentuk kode etik.
  2. Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan

Sedangkan Pasal 44 menyatakan bahwa:

  1. Dewan Kehormatan guru dibentuk oleh organisasi profesi guru
  2. Keanggotaan serta mekanisme kerja dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam anggaran dasar organisasi profesi guru
  3. Dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru.
  4. Rekomendasi dewan kehormatan profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus obyektif, tidak diskriminatif, dan tidak bertentangan dengan anggaran dasar organisasi profesi serta peraturan-perundang-undangan.
  5. Organisasi profesi guru wajib melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan guru sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Menyimak pasal-pasal mengenai organisasi guru dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas bahwa keberadaan pasal-pasal itu tidak akan memberdayakan guru secara politis, tapi justru cenderung memberdayai guru karena guru dikerangkengi ke dalam kotak kecil yang disebut “organisasi profesi” saja. Padahal, sebetulnya guru memiliki kekuatan yang sangat besar secara politis bila mereka memiliki kebebasan membangun organisasi serikat, seperti yang terjadi pada PGRI di awal kelahirannya dulu. Tanpa terbentuk suatu organisasi guru yang kuat, niscaya guru akan kuat pula menghadapi tekanan dari birokrasi tingkat lokal yang secara fisik makin dekat dengan mereka. Apakah untuk membangun organisasi guru yang kuat itu memerlukan agar PGRI yang ada sekarang direformasi kembali menjadi organisasi serikat seperti pada masa awal kelahirannya? Itu adalah pertanyaan yang tidak bisa dijawab “ya” dan “tidak”, tapi jawaban yang memerlukan proses.

*Darmaningtyas, peneliti dan konsultan pendidikan

DIDAKTIKA/Edisi No.32/XXXII/2006