Orientasi akademik yang ditekuni mahasiswa berpatok dalam penghambaan hasil. Hal ini disebabkan buruknya pengaruh logika bisnis dalam tata kelola pendidikan.
Mutu pembelajaran yang dihadirkan dosen saat mengajar di ruang kelas luring dan daring tidak menunjukan kualitas baik. Dosen hanya mengorientasikan pembelajaran pada hasil, bukan proses. Ujung-ujungnya, mahasiswa tidak mengerti mata kuliah. Bahkan ketika Kartu Hasil Studi (KHS) sudah dibagikan. Saban hari, kasus ini terjadi di akun Twitter @UNJmenfess. Mahasiswa memilah dosen yang “baik” melalui pertanyaannya di akun Twitter tersebut. “Baik” di sini bukan menyoal kualitas pengajaran dosen, tapi sebatas tidak pelit memberi nilai bagus.
Sepenuhnya, bukan salah dosen yang menjalankan pembelajaran kuliah seperti ini. Nyatanya, dosen-dosen juga terjerembab ke dalam buruknya tata kelola pendidikan universitas. Sehingga, mau bagaimanapun juga, para dosen hanya menuruti bergulirnya sistem tata kelola universitas.
Melansir Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III (LLDIKTI) Kemendikbud 2020, terdapat 7 butir peningkatan tata kelola menuju perguruan tinggi yang bermutu. Salah satunya menyoal kualitas tenaga pendidik yang diatur dalam butir penjaminan mutu dan relevansinya. Isi dari butir tersebut adalah upaya perguruan tinggi dalam membangun budaya mutu melalui sistem pejaminan mutu, sertifikasi, dan penelusuran.
Nahas, upaya membangun kualitas keguruan seperti itu masih jauh dari kata baik jika kasus pemilih-milihan dosen tetap marak terjadi. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang banyak menjebol tenaga pendidik belum menghasilkan tenaga pendidik dengan orientasi jelas. Orientasi tersebut ditentukan oleh upaya tenaga pengajar universitas atau pemangku kepentingan untuk mengatur bagian akademik.
Dalam buku “Gelombang Liberalisme Pendidikan”, Teguh Triwiyanto memaparkan analisis terkait tenaga pendidik yang tidak memiliki orientasi jelas. Secara umum, mutu pendidikan dipengaruhi oleh mutu proses pembelajaran yang mencakup beberapa komponen (mulai dari jenis pendidikan, aktor-aktor yang turut berpartisipasi dalam pendidikan, dan fasilitas pendidikan).
Masing-masing komponen yang di atas harus dikelola dengan baik. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah menjadikan dosen sebagai garda terdepan guna melakukan perbaikan iklim akademik.
Sayangnya hal tersebut malah menjadi pesimis ketika status PTN-BH muncul di tengah perguruan tinggi. Para dosen dipacu terus mengejar capaian hasil indikator Permendikbud Nomor 4 Tahun 2020 lewat portofolio penugasan, guna mendongkrak universitas menjadi PTN-BH. Selayaknya angin semilir yang mendorong layar perahu, Tri dharma perguruan tinggi sekedar menjadi instrumen PTN agar cepat menjadi PTN-BH.
Baca juga: Masih (Layakkah) Bermimpi Jadi Guru
Selain tetek-bengek PTN-BH, gaji dosen juga bisa dibilang kurang menyejahterakan. Mengutip The Conversation (11/10/22), seorang dosen UGM angkat bicara terkait nominal gaji yang harus diterima.
“Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2019, seorang dosen PNS lulusan S2 yang baru meniti karir (golongan IIIb) mendapat gaji pokok sebesar Rp 2.688.500. Mereka yang masih berstatus CPNS bahkan hanya bisa membawa pulang 80% gaji pokok tersebut.”
Lebih lanjut, “Baru setelah 2-3 tahun, dosen biasanya mulai mendapatkan tunjangan. Berdasarkan Perpres Nomor 65 Tahun 2007, jumlahnya sebesar Rp 375.000 setelah mereka naik jadi Asisten Ahli (AA). Ini merupakan tingkat pertama dari empat jenjang dosen yang proses kenaikannya pun penuh hambatan dan bervariasi di tiap kampus”.
Paling tidak berdasarkan laman di atas, rata-rata gaji dihabiskan untuk urusan mengebulkan dapur rumah tangga atau keperluan dasar lain agar si dosen tetap bernafas. Padahal, keperluan untuk mengembangkan diri si dosen ini perlu, seperti untuk membeli sumber-sumber ilmu pengetahuan. Seiring dengan akses sumber ilmu pengetahuan yang memadai, kualitas pembelajaran dan pengajaran pun juga ikut meningkat.
Negara Jangan Lupa Peran
Selain pekerjaan rumah untuk universitas guna membenahi tata kelola, peran negara juga dibutuhkan di sini. Sebab, sesuai dengan mandat UUD 1945 pasal 31, negara merupakan penyelenggara pendidikan bangsa. Dalam
artian, pendidikan yang diciptakan negara harus mencakup seluruh lapisan masyarakat.
Sayangnya hari ini, pendidikan Indonesia terjebak dalam semangat individualis yang berlandaskan paradigma penilaian kosong sebagai pencapaian. Tak ayal, peserta didik dan tenaga pendidik yang saling sikut menyikut dengan cara joki atau mengerjakan tugas serampangan terjadi. Mereka semua adalah hasil dari penilaian kosong yang dikejar oleh semua orang. Lantas, bagaimana kesejahteraan rakyat bisa dibangun, jika pendidikan harus merogoh kocek mahal supaya dapat memenangkan persaingan nilai, sedangkan masing-masing keluarga punya penghasilan berbeda?
Negara harus tetap melakukan subsidi dana secara maksimal, kembali pada instrumen negara UUD 1945 pasal 31, yaitu 20 persen dari anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Alokasi dana pendidikan disesuaikan dengan daerahnya masing-masing supaya selaras dengan kebutuhannya. Bukan malah pendidikan harus menjalankan logika bisnis yakni mencari uang sendiri (PTN-BH).
Contoh kasus bagaimana akhirnya logika bisnis PTN-BH mengorbankan mahasiswa untuk membayar UKT mahal terjadi di Universitas Indonesia (UI) 2020 silam. Adalah portal berita Economica (24/10/2020) yang memotret fenomena penurunan laporan keuangan UI terkait pendanaan kampus. Kegagalan UI memanfaatkan aset bisnis Daya Makara UI, menyebabkan biaya operasional (di dapat dari pendidikan, pelayanan masyarakat, penelitian, dan lain-lain), sekitar 62%, dijadikan garda terdepan dalam pendapatan kampus. Sedangkan 22% pendapatan UI berasal dari bantuan pemerintah dalam bentuk alokasi APBN dan BPPTN. Lalu, pendapatan lain menyumbang sekitar 16%.
Tentu, kasus kampus yang menyenderkan nasib pendanaan ke mahasiswa menjadi refleksi besar-besaran. Kemungkinan terburuk, hal itu terjadi ketika seluruh PTN resmi menjadi PTN-BH. Jika logika bisnis yang dibangun dalam universitas digencarkan, sedangkan semangat perguruan tinggi hilang, maka tidak akan ada lagi kata “semua orang bisa kuliah”.
Sekali lagi, peran negara sangat krusial dalam membenahi pendidikan. Kembali pada dasar instrumen pendidikan negara Indonesia, UUD 1945. Maka, negara seharusnya fokus untuk menerapkan pendidikan berkualitas yang gratis atau murah. Dengan begitu, peradaban bangsa yang maju akan terbangun dengan sendirinya.
Penulis: Arrneto Bayliss
Editor: Ragil Firdaus